Bab 4 (Mature)

14.9K 230 3
                                    

JANGAN VOTE, JANGAN KOMEN, JANGAN DIMASUKIN READING LIST!!!

AWAS MATURE, NON-CON, DUB-CON

-----------------------------------

Egalita

Tanpa rikuh Theo bertelanjang dada, menggeret dua buah koperku di tangan kiri dan kanannya. Mengenakan kaus Theo, aku mengikuti langkah kakak tiriku, merasa asing dengan lingkungan sekitar bangunan apartemen yang kami masuki. Ia membimbingku menuju ke arah lift, menekan angka 33 membiarkan pintu lift menutup dan membawa kami berdua naik.

Rasa penasaran menyelimutiku, melihat desain interior apartemen yang cukup mewah. Aku bertanya-tanya sejak kapan Theo membeli tempat di apartemen mahal ini. Kenapa tiba-tiba Theo merasa tertarik untuk memisahkan diri dari rumah Keluarga Rahardian. Dari ibu, kudengar kalau Theo kini adalah seorang pemilik perusahaan start-up yang sedang booming di negeri ini dan memiliki status sebagai unicorn. Ia membangun perusahaannya ketika masih kuliah di sebuah institut teknologi bersama-sama dua orang kawan kuliahnya.

Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Theo membangun landasan untuk ide bisnisnya itu. Di masa-masa awal dulu, tiga sekawan itu terlihat seperti anak muda brilian penuh ide yang tidak sabar untuk mewujudkan mimpi mereka. Siapa sangka, sepeninggalku rupanya bisnis itu benar-benar naik dan menjadi kenyataan.

Mimpi Theo akhirnya menjadi kenyataan.

Tanpa bisa dicegah, aku merasa bahagia untuknya. Biar bagaimanapun, di atas segala perbuatannya padaku, Theo adalah tumpuan keluarga kami. Kepadanyalah, Dina dan Abel selalu berpaling minta persetujuan. Kepada Theo-lah aku meminta nasihat dan saran sewaktu sekolah dulu, tentang semua hal. Theo adalah pilar kokoh yang menyangga rumah tangga Rahardian ketika papa, mama dan ibuku absen.

Ketika pintu lift terbuka, Theo menunggu hingga aku keluar lalu mengikuti langkahku. Ia berjalan mendahului dan membawaku menuju sebuah kamar di ujung lorong. Ia membuka kunci magnetisnya dan menahan pintu, membiarkanku masuk lebih dulu.

Sesampainya di dalam, aku menjumpai lorong memanjang dengan gantungan jaket dan rak sepatu di sebelah kiri, berakhir di sebuah ruang tamu yang cukup luas.

"Kok aku dibawa ke sini?" tanyaku akhirnya, ketika Theo masih juga belum memberikan penjelasan layaknya orang normal.

Alih-alih pulang ke rumah kami, Theo justru membawaku ke kamar mewah di sebuah apartemen yang sama sekali belum kukenal sebelumnya.

"Di rumah lagi banyak saudara, kamarnya penuh. Kamu nggak akan bisa istirahat di sana nanti. Kamu tinggal di sini." Perkataannya terdengar final tanpa ada ruang untuk berargumentasi.

"Ini apartemenmu?"

"Hm."

Theo membuka pintu kulkas, menuangkan jus jeruk dingin ke dalam dua buah gelas bening. Melirik isi kulkasnya, aku bisa berasumsi kalau apartemen ini memang ditinggali oleh seseorang.

"Kamu... tinggal di sini?"

"Ya." Theo mendorong salah satu gelas jeruknya maju di atas meja konter, menawarkannya tanpa suara padaku, lalu meminum gelas satunya lagi. Matanya tidak beralih sedikitpun, mengamatiku dalam diam, sementara tegukannya menjadi satu-satunya suara yang menggema di ruangan lantai 33 itu.

Sigap, aku berdiri dan menarik dua buah koperku maju, menuju ke pintu.

"Aku tidur di hotel aja."

Theo melepaskan gelasnya, tidak sedikitpun memedulikan benda itu yang kini terguling dan pecah di lantai. Tubuhnya yang tinggi dan tegap kini menghadang tubuhku. Kedua tangannya masing-masing menahan bahuku.

False Idol (Hidden Chapters)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang