Prolog

72 7 0
                                    

"Ijinkan aku melihatnya untuk terakhir kali..." Pinta gadis itu pada pria paruh baya yang kini berdiri di hadapannya menggunakan snelli putih dengan guratan wajah tegas.

Pria itu mengangguk, menyembunyikan wajahnya yang menahan jutaan kesedihan melebihi apapun. Ia membantu gadis tadi turun dari ranjangnya.

Beberapa perawat berusaha membantunya. Tapi, gadis itu menolak. Ia bersikeras berjalan sendiri, meski tertatih, meski ia harus merasakan jutaan nyeri yang menyerang persendiannya, ia tak menyerah. Jantungnya berdetak semakin cepat. Menuntunnya pada orang itu.

Di sana... di ujung lorong rumah sakit, kala itu hujan turun begitu deras di sertai kilatan petir. Gadis itu berdiri terpaku untuk beberapa saat. Menatap seseorang yang berdiri di hadapannya hanya beberapa langkah. Ia ingin mendekat, namun kakinya sulit di gerakkan. Ia hanya mampu berdiri mematung, menatap dalam diam hingga sosok itu membalikkan badannya.

Duaaarrrr....

Petir kencang terdengar nyaring, tak membuat keduanya bergeming. Laki-laki itu menatap heran gadis yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya.

Kenapa sepasang mata itu seolah mengunci gerakannya ? Jantungnya mendadak berdetak cepat, tak seperti biasanya. Perlahan ia meraba dada sebelah kirinya, bersamaan dengan itu nyeri lain menyerangnya. Ia mendongak, memastikan sekali lagi sosok pemilik mata sendu yang kini berjalan perlahan ke arahnya.

Tanpa ia duga, gadis itu menarik tangannya dan membawanya ke dalam pelukan sang gadis.

"Tidak apa-apa... aku baik-baik saja. Terima kasih untuk tetap hidup. Aku akan terus hidup seperti yang kau inginkan." Bisiknya lirih. Gadis itu berbalik, lalu pergi meninggalkan banyak pertanyaan dibenak laki-laki tadi.

"Siapa?"








******

EPIPHANYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang