Chrysan. Berakhir sama.

11 3 2
                                    

“Kalau lelah, bukannya lebih baik menyerah saja?” tanyamu.

“Memangnya semudah itu?” tanyaku.

Hening. Keheningan menyelimuti kami.

“Yang jadi masalah bukan menyerah atau tidaknya, karena jika sudah jatuh hati pada seseorang akan sulit untuk melepasnya,” kataku.

“Jadi, kamu tidak ingin melepasku? Bukannya itu hanya akan membuatmu semakin sakit?” tanyamu, lagi.

“Kamu tahu? Aneh bukan, kita membicarakan hal seperti ini tanpa rasa canggung sedikitpun,” kataku sambil tertawa kecil.

“Yah, mungkin,” katamu.

“Memangnya ada orang yang seperti kita? Membicarakan hal ini walaupun tahu soal perasaan masing-masing. Kamu tahu jika aku menyukaimu, aku juga tahu jika perasaanmu padaku hanya sekadar sahabat. Aneh bukan membicarakan hal ini tanpa adanya rasa canggung sedikitpun?” kataku sambil tersenyum tipis.

Kamu hanya tersenyum, “Iya, aneh juga. ”

Kamu menghela nafas, setelah itu menatapku lekat. Lalu bertanya, “Memangnya, seperti apa aku dimatamu?”

Hening. Lagi-lagi keheningan menyelimuti kami. Aku memandang langit biru disana, sambil berfikir .

“Seperti apa ya? Salah satu sosok yang mungkin berharga buatku. Juga seseorang yang aku anggap dekat,” kataku.

“Emang aku dianggap sedekat apa?” tanyamu lagi.

Aku terdiam lagi, memandang langit biru disana. Lalu menatapmu lekat, setelah itu menggeleng dengan wajah polos, “Entahlah, aku juga tidak tahu. Itu hal yang tidak mudah untuk diungkap dengan kata-kata.”

Kamu tertawa, “Yah, kalau aku jadi kamu juga aku pasti bingung mau menjawab apa,” katamu.

Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

“Hey, kalau boleh tahu, sebenarnya apa yang membuatmu bisa menyukaiku?” tanyamu lagi.

“Apa ya?” kataku, kembali berfikir, “Untuk menyukai seseorang tidak perlu alasan bukan?”

Kamu mengangguk, sambil menatapku lekat. Setelah itu tersenyum tipis.

“Kamu tahu? Sebenarnya, dari awal aku tahu, aku bukanlah yang kamu harapkan. Aku pikir, dengan cara memberitahumu soal perasaanku, aku bisa merasa jauh lebih baik. Membiarkan perasaan itu memudar begitu saja. Tapi, aku lupa jika perasaan itu bukan sesuatu yang pasti. Aku pikir dengan cara memberitahumu perasanku, aku bisa berhenti. Tapi, ternyata tidak. Aku serakah. Aku menginginkanmu lebih dari itu, memberimu sebuah ekpetasi yang aku tahu persis tidak akan pernah sejajar dengan realita. Rasanya, saat menyadari itu terasa menyakitkan,” kataku sambil tersenyum getir.

Lagi-lagi kamu menatapku dengan tatapan seperti itu. Sudah ku bilang bukan? Jangan pernah baik hati padaku.

Aku mengambil nafas sebanyak mungkin, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Setelah itu melanjutkan kembali hal yang ingin aku katakan.

“Sebenarnya, dalam benakku, tidak pernah terpikirkan ‘bagaimana’ aku bisa menyukaimu, atau ‘bagaimana’ perasaan itu tumbuh. Aku tidak tahu. Bahkan, mungkin dalam benakku, menyukaimu seperti ini, tidak pernah terpikirkan olehku. Aku pikir perasaan itu akan berubah seiring waktu. Yang aku yakini, perasaan itu akan memudar seiring berjalannya waktu. Tapi,  Perasaan itu terus tumbuh. Terus,terus,terus,terus,dan terus tumbuh. Pada akhirnya berakhir seperti ini. Aku tahu ... tahu persis,  menyukai kamu hanya dengan diriku sendiri, seperti pisau bermata dua’ yang bisa melukaiku kapanpun. Tapi aku juga tahu persis, jika perasaan suka itu bukan hal yang menyakitkan. Karena itu, aku bersyukur bisa menyukaimu. Karena pada akhirnya, yang membuatku terluka hanya diriku sendiri. Menyukai kamu mungkin memang melukai ku, tapi akan jauh lebih menyakitkan jika aku harus melupakanmu,” aku tersenyum getir. Air mata turun begitu saja dari mataku. Tidak bisa aku bendung lagi.

“Sekarang, kamu tahu bukan? Saat lelah menyerah bukan cara yang terbaik. Saat lelah seharusnya beristirahat. Jika sudah cukup, aku akan melangkah maju lagi. Tidak, bukan hanya berjuang untuk perasaanku, tapi juga berjuang untuk diriku. Aku tidak pernah menyesal menyukai kamu, sebaliknya, aku selalu bersyukur bisa menyukai kamu. Karena setidaknya hal itu bisa membuatku sadar akan banyak hal. Jika aku katakan ‘terimakasih’ apa yang akan kamu katakan?” tanyaku.

“Aku akan bilang ‘maaf’ itu yang akan aku katakan,” katamu.

“Maaf untuk apa?” tanyaku.

“Maaf karena lagi-lagi aku membiarkan kamu sendirian. Maaf, karena aku memintamu untuk menyerah. Dan terimakasih karena kamu sudah menyukai aku dengan tulus,” kamu mengatakannya sambil tersenyum manis, senyum yang aku rindukan.

Jantungku berdetak tidak seperti biasanya. Ia berdetak lebih cepat. Aku menghapus sisa air mata di ujung mataku, lalu tersenyum sambil mengangguk dan mengatakan, “Iya, terimakasih kembali.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CHRYSANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang