thn 2000, DASAWARSA

1.5K 165 24
                                    

“Selamat datang di rumah Biru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Selamat datang di rumah Biru.
Sebelum ketuk pintu,
harap senyum dulu—!”

• • •

Pagi ini, Biru bersila di depan televisi sembari menyesap gulali. Belum genap sepuluh menit, netranya sudah ditarik oleh kerumunan ranting yang terlihat begitu semangat mengetuk jendela. Semilir murka angin jua kian menyapu epidermis, ritual pasti sebelum gerimis. Sudah mulai murung di luar, itulah yang dapat ia intip dari balik kamar. Pesan Ibu tadi sebelum ke pasar, televisi harus dimatikan sebelum terdengar gelegar.

"Tapi Kermit belum selesai," bibirnya mengerucut. Dengus kesal pun tak luput. Mari kita salahkan hujan, mengapa ia membumi di kala Kermit ditayangkan? Mungkin hanya itu alasan dia tersenyum hari ini. Sedikit bernyanyi bersama Kermit bisa menghapus refleksi sepi.

"Maji."

Sirah milik Biru bergeser arah. Ia melihat Si Mbah, berjalan tertatah-tatah. Lekaslah Biru membantu memapah. "Tadi katanya Si Mbah sedang sibuk?"

"Si Mbah baru ingat kalau Ibumu pergi ke pasar. Kalau hujan datang, rumah ini bisa gelap pandang. Matikan dulu televisinya," ujarnya, duduk kemudian mengurut pinggang.

Ketika semua telinga jenuh disinggahi bait imajinasi tak berpondasi, Si Mbah satu-satunya insan yang mau meminjamkan telinganya di muka bumi ini. Ia tak pernah menjatuhkan opini, hanya mengikuti ke mana Biru akan membawanya pergi. Sedang bagi mereka, duduk bersebelahan dengan Biru saja seolah-olah kejatuhan beban. Apalagi menjadi seorang teman. Sejak saat itu, Biru lupa caranya memulai percakapan dengan sesama insan.

"Mbah, besok Biru mau ulang tahun!" adu Biru sehabis mencabut kabel. Sayang sekali, semoga kita bisa berjumpa lagi esok pagi ya, Kermit! Begitu tuturnya dalam hati. Hastanya sedikit mengusap hangat kaca televisi.

Si Mbah menepuk sofa yang hampir seluruhnya tertutup kain perca. Biru pun bergegas meruntuhkan raga di sampingnya. "Cucu Mbah sudah besar ya?"

"Sudah! Biru 'kan udah mau sepuluh tahun," Biru mengangkat sepuluh jemarinya. Netra cokelat itu tenggelam, ditelan senyuman. Layaknya sebuah larangan, kesedihan tak boleh lagi digambarkan.

"Biru mau hadiah apa dari Mbah?"

"Biru mau teman!"

Senyum milik Si Mbah nyaris luntur, ia tak mau nyali Biru kembali tersungkur. Berbagai saran mengguyur kepala, hingga ia mampu membentengi kurva miliknya. Kemudian berkata. "Ya, nanti Mbah kasih kamu teman."

"Beneran Mbah?" matanya berbinar. Rasanya seperti menerbangkan layang-layang tanpa senar. Si Mbah tidak mau bahagia Biru kembali buyar. Karena itu ia membiarkan himpunan omong kosong itu keluar.

"Asik, aku punya teman!"

Decit gapura depan menyapu pikiran. Biru berlari ke arah Ibu yang masih menyangking keranjang rotan. Untuk memamerkan hadiah yang akan ia dapatkan. Seorang teman!

Hanya saja, Si Mbah menggeleng rendah. Seolah menitah agar bibirnya berbalik arah. Keriput singgah di dahi, tanda tak mengerti. Ah benar, ia belum mempunyai bukti. Perihal siapa yang menjadi temannya nanti. Terlalu lama bergelut dengan pikir sendiri, tanya milik Pramu mendahului.

"Biru, besok mau Ibu belikan hadiah apa?" hasta Pramu mengusap rikma Biru. Apa saja, asal ia mampu.

"Aku mau gulali kacang."

"Dua ya, Bu," sambungnya.

Pandangan Pramu mengabu. Bibirnya rapat membisu. Ruang pikirnya sibuk mencari tahu. Tak biasanya Biru terburu-buru dalam meminta sesuatu. Kecuali permintaan untuk memiliki seorang teman yang masih belum bisa ia kabulkan.

• • •

Hari beranjak ke fajar. Dada Biru terus berdebar-debar. Rasa senang terus menyambar. Selepas meredupkan damar, ia menghampiri Si Mbah yang tengah membuat tembikar. "Mbah, mana hadiah buat aku?"

"Di atas meja."

Dahi Biru menyempit. "Temanku duduk di atas meja Mbah? Nggak sopan."

Kedua netranya berlari menyusuri ruang yang dimaksud Si Mbah tadi. Sepi. Situasi ini terlalu jauh dari gugusan imaji. "Loh, mana temanku Mbah?"

"Itu."

Diambilnya sebuah kanvas yang tergeletak bebas. Rasa kecewanya perlahan mengibas. Daya pikirnya memang luas, tetapi hal ini justru membuat hatinya tak puas. "Tapi ini bukan teman, ini lukisan, Mbah."

Si Mbah melepas genggamannya pada tanah liat. Mengahampiri biru cepat-cepat, sebelum pikir Biru tak bisa tercegat. "Manusia sering membuat kamu kecewa. Coba kamu berteman sama dia, siapa tau beda."

Tersambunglah kembali sang koneksi dengan maksud baik sang pemberi. Pertiwi, sepertinya bekal ilustrasi ini dapat merajut bayang kuat di memori. "Cantik, Mbah."

"Mau diberi nama siapa?"

"Kata Ibu, nama itu doa. Tapi kata Mbah nama itu cerminan diri kita. Aku bingung, mau kasih nama siapa."

Si Mbah tersenyum halus dibuatnya. Titik kata milik Biru selalu tersimpan ribuan makna. Wajar saja kalau benang sepakat belum terikat di kepala. "Kalau gitu, biar dia saja yang memberi tau namanya."

"Hah? Memangnya dia bisa bicara?"

"Bisa, kalau kamu ajak bicara juga."

Semesta, bukankah bercengkrama dengan istilah maya akan membuatnya mendapat predikat gila? Lantas, mengapa Si Mbah memberinya harap yang kabur muasal serta muaranya? Memang mudah untuk sekadar menerima, hanya saja bagaimana bisa sebuah kanvas dapat meminjamkan telinga serta timbal balik lainnya?

• • •








Catatan kecil di atas meja, dari Hana :

Bagaimana? Lebih mudah diterima
oleh kepala, bukan? Mungkin setelah
bagian pertama ini dipublikasikan,
kalian akan kesulitan untuk menemui
pembaruan cerita Hana dari semesta
manapun. Jawabnya mudah, karena
sudah harus mulai fokus ke sekolah. Doakan, semoga semua rencana saya di warsa ini bisa jadi nyata—!

Ah iya, untuk kalian yang tidak tahu siapa itu KERMIT, dia itu tokoh fiksi dari serial televisi The Muppet Show. Lagu di atas juga jangan sampai kelupaan untuk diputar ya—!

Terima kasih sudah membaca.
Semoga lekas kembali ya, saya.

—Pinguin

(ME)REDUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang