Hari ini, Biru bertamu ke taman kota. Ia melabuhkan raga di tapak batas adimarga. Pandangannya melayang kepada dua anak manusia yang tengah berlayar dengan roda di tapak kakinya. Saling memikul lengan, membekap keseimbangan. Terlalu menyedihkan jika hanya dapat menyaksikan namun tak ada harapan untuk merasakan.
Semesta, apa kau bisa menjelaskan pada Biru sehangat apa genggaman tangan seorang teman? Jika iya, tolong kirimkan balasan surat yang selalu Biru tinggalkan di depan halaman. Bangun dari gagasan, Biru menyatukan kedua telapak tangan, laksana dua manusia yang merantai hubungan.
Tiba-tiba, ia merasa punggung tangannya tersinggung. Membuat benaknya sedikit mengapung. Ah, ternyata dia, si pengusir murung.
"Redup?"
Redup tak membalas, dia menarik tautan jemari Biru hingga lepas. Tak ingin imaji Biru kandas, Redup mempertemukan kedua tangan selembut kapas itu dengan lekas.
"Sekarang, kamu nggak perlu bingung kalau mau gandengan. Ada aku, Biru."
Biru tersenyum, indah tapi bodoh seperti geranium. Murungnya dilangitkan, ringan tapi tak punya tujuan. Redup, kamu telah memberikan uluran lengan, satu lampiran, yang maknanya telah jadi dua jabaran.
"Ayo pulang, di sini terlalu ramai," tutur Redup.
Tepat setelah tautan itu berubah jadi erat, Biru tersesat. Tak punya alamat. Terjun dalam dunia duplikat, yang tidak dapat ditebak firasat. Tapi baginya, berkemah dalam teropong imajinasi rakitannya sendiri itu hebat.
•••
Biru telah menjadikan sepetak tanah dalam rumah untuk membasuh lelah. Tumpukan buku cerita yang sudah diterjemah membuat Biru betah, tak mau enyah, meski dia sudah usai berbenah.
"Kamu suka baca buku fantasi, ya?" tanya Redup.
Redup selalu bisa menemukan topik pembicaraan. Lain dengan dirinya yang selalu nyaman membalas dengan senyuman.
Dan, seperti pengamen yang baru terjun ke jalanan, dia membalas pertanyaan. "Lebih tepatnya, aku suka baca buku. Buku apa aja. Nggak cuma buku fantasi, Redup."
Rikma gulita milik Redup turun, laksana air terjun kala kepalanya terayun. Sejenak, Biru tertegun. Tangannya menjangkau karet merah di atas dipan. Kemudian, memberi tinjauan.
"Coba ikat rambutmu."
Redup menurut, meski di dahinya tercetak keriput. Sadar tak sadar, bibir Biru berdenyut. Tak lama, dia berpaling, menyembunyikan bayang merah di pipinya seperti pengecut.
"Cantik, nggak?"
"Cantik."
Netra sepekat lubang hitam milik angkasa tenggelam kala bibirnya menyuratkan fakta. Biru laksana bumi yang kembali menemukan porosnya.
Asik berkemah di dalam kabut imaji, suara derit pintu berhasil mengebumikan raganya yang nyaris terbang tinggi. Disusul dengan warta yang membuat atmanya melompat, netranya dengan cepat berkeringat.
"BIRU, SI MBAH JATUH DI KAMAR MANDI!"
Raganya terhuyung, rasanya seperti jatuh dalam palung. Sempat mematung, Biru lekas mengayun langkah menuju bilik mandi. Darahnya berhenti mengalir dalam nadi. Wejangan Si Mbah mengenai 'manusia tak akan pernah abadi' melintas tanpa direstui.
"Bu, ayo kita bawa Si Mbah ke rumah sakit. Biru nggak mau Mbah kenapa-napa, Bu."
Pramu dengan isakan kecilnya menggeleng, harapan Biru dengan impulsif tercoreng. Jemarinya merayap ke hidung Si Mbah, tangisnya pecah.
"Si Mbah nggak mungkin ninggalin Biru, Bu."
Guyuran tirta di pipi Biru semakin menjadi-jadi. Semesta, Biru tanpa Si Mbah laksana mobil tanpa kemudi.
•••
Ini dia, si pengusir murung.
Catatan, jatuh di lantai :
ngomong-ngomong, waktu pertama
kali lihat foto mbak di atas, langsung
kaget kenapa mirip banget sama
"Redup" dalam bayangan aku. udah
lama sih aku nemuin dia, tapi baru
aku spill sekarang mukanya.untuk mas biru sendiri, udah paham
kan aku pake muka siapa, hehehe.ada pesan? ayo sampaikan.
entah untuk hana, biru, atau redup.; Pinguin
KAMU SEDANG MEMBACA
(ME)REDUP
Poetry⚝ pls. 준호 / JUNHO :: another version of REDUP Birumaji itu selalu berlebihan. Bait-bait kata miliknya seperti barang rongsokan. Tidak ada teman yang mau meminjamkan telinganya untuk menampung cerita khayalan. Bukan sebuah kesalahan jika Biru hobi...