8. Pertemuan Tak Terduga

21 12 0
                                    


"Ok! Sekarang bukan waktunya memikirkan yang sedih-sedih. Hari ini kita akan bersenang-senang! Tidak ada yang namanya sedang, galau, merasa bersalah, atau apa pun itu!" tegas Kalya sambil menatap Zora tajam.

Zora menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia menatap Kalya dengan penuh rasa terima kasih. Sejauh ini hanya Kalya yang mampu membuatnya berpikir jernih.

Kematian Rena benar-benar memengaruhinya beberapa hari ini. Dalam hati Zora merasa gundah setiap kali teringat mimpi tentang Rena yang sekarat. Dia merasa ada yang mengganjal di hatinya, seakan ada sesuatu hal familiar yang seharusnya dia tahu dari kematian Rena. Namun, dia tidak tahu apa itu. Itulah yang membuatnya selalu merasa hilang semangat.

Ini sudah tiga hari sejak Zora mengambil cuti. Dia butuh menyegarkan pikiran, itulah istilahnya yang diucapkan Kalya saat mengajaknya keluar. Namun, perasaan tidak nyaman terus saja menggelayuti hatinya.

"Ayo kita naik wahana itu! Sudah sejak lama aku ingin menaikinya." Kalya menunjuk wahana Tornado dengan bersemangat.

Zora tersenyum dan berkata, "Baiklah! Hari ini semua pikiran buruk harus hilang. Setelah ini tidak ada lagi yang namanya galau-galauan!"

Zora merangkul pundak Kalya. Mereka berdua berlari menghampiri wahana yang membuat hampir seluruh penumpangnya menjerit.

*****

"Haah! Rasanya plong!" Zora merentangkan kedua tangan. Perasaan bebas sekarang memenuhi hatinya.

"Jadi? Ke mana lagi sekarang?" Kalya menatap ponselnya dengan sungguh-sungguh. Mencari tempat wisata lain yang mungkin akan mereka kunjungi.

"Kerja," jawab Zora singkat. Kalya menatapnya tidak mengerti.

"Tapi, hari ini masih panjang."

"Aku sudah terlalu lama mengabaikan pekerjaan dan tugasku, Kal. Lagi pula, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Vela nanti kalau aku terus saja membolos." Zora memutar bola matanya dan menunjukkan ekspresi jengkel.

"Baiklah. Kita pulang sekarang, tapi tidak untuk bekerja hari ini." Zora hendak protes, tetapi Kalya menghentikannya dengan tangan yang terbuka. "A, a! Tidak ada protes! Kali ini kamu harus makan enak dan banyak agar besok bisa menghadapi si Mak Lampir Vela itu."

Zora membelalak dengan mulut terbuka lebar saat mendengar ucapan Kalya. Namun, keterkejutan itu diganti dengan tawa mereka.

Zora menyetujui usul Kalya. Dia memang butuh banyak asupan gizi. Kejadian akhir-akhir ini membuat nafsu makannya berkurang.

"Hei! Di mana ponselku?" Zora merogoh tas selempangnya. Beberapa kali menoleh ke sekeliling dengan bingung.

Berkali-kali dia memilah isi dalam tas, tetapi gadis itu masih tidak menemukan benda kontak dan pipih yang sejak tadi dicarinya. Zora mulai panik. Sebagian dari data penting ada di ponsel itu.

"Bagaimana bisa tidak ada?" Kalya ikut melongok ke dalam tas Zora. "Apa mungkin tertinggal di toilet? Kamu ingat di mana saja ponselnya kamu keluarkan?" Zora menggeleng.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Keningnya berkerut. Jari-jarinya memijat kening dengan cepat.

"Anda mencari ini?" Zora berbalik dengan cepat.

Di depannya berdiri seorang pemuda dengan setelan jas lengkap. Tangan kanannya menyodorkan sebuah ponsel pada Zora, sedangkan tangan kirinya berada di dalam kantung celananya. Zora mengerutkan kening. Dia seperti pernah bertemu dengan pemuda itu.

"Te -- terima kasih." Zora menerima ponselnya. Namun, mata coklat gelapnya masih terus menatap pemuda di depannya. "Sepertinya kita pernah bertemu?" Pemuda itu tersenyum. Senyum yang maskulin.

Dark SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang