[1] Pertemuan

11 4 0
                                    


Aku memulai hari dengan sebuah tangan yang menggatung di langit kamar. Lalu pemuda murung yang duduk di pinggir jalan dengan kepala lepas dan anak kecil yang terbang mengitari ayunan di taman kecil dekat rumah. Rutinitas pagi ini sudah biasa aku saksikan.

Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika masuk dalam kategori mistis. Contohnya orang-orang menyebut dunia roh, namun nyatanya kita hidup dalam ruang dan waktu yang sama. Lalu poinnya? Tanpa kita sadari roh orang yang telah mati masih berdampingan dengan manusia, meski kebanyakan orang tidak memliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan mereka yang sudah mati. 

Jangankan komunikasi, melihatnya saja mungkin sedikit di antaranya yang bisa. Lalu, sebagai bagian dari yang 'sedikit' ini, aku termasuk kedalamnya.

Namaku Rino Andriani Saputra, dan saat ini seekor, bukan, seorang roh sedang mencegatku dalam perjalanan menuju sekolah. Sebenarnya tidak masalah untuk mengabaikannya, namun ini pertama kalinya aku melihat dalam rutinitas pagiku—seorang kakek yang terus terabaikan ketika berusaha memanggil orang-orang yang melewatinya. Tidak ada satupun yang menghiraukan si kakek. Tentu saja, karena si kakek sudah mati. 

Ah, aku baru sadar kalau tangannya membengkok ke arah yang tidak semestinya.

Pengelihatan ini sudah kudapat dari kecil. Aku tidak begitu ingat bagaimana awalnya, namun yang kuingat jelas adalah bagaimana repotnya orang tuaku untuk mengurus anak yang ketakutan setiap saat dan menangis karena hal tidak jelas. Meski waktu itu umurku bisa dikatakan sebagai anak yang bisa mandiri, aku merasa seperti balita yang tidak bisa apa-apa tanpa orang tua. 

Kehidupan sosialku merosot karena tidak keluar rumah dan hanya berkeliling kota mencari cara untuk menyembuhkan 'pengelihatan' ku ini. Namun nihil, sampai menyerah adalah satu-satunya jalan membuat rasa takutku seperti membeku bersamaan dengan harapan untuk menghilangkan kemampuan ini.

Aku merogoh tas mencari secarik kertas dan menuliskan satu kalimat lalu berjalan perlahan melewati si kakek. Aku memperlambat langkah kakiku di keramaian trotoar dan memposisikan kertas yang kutulis tadi tepat di wajah si kakek. 

Wajah yang penuh luka gores dan bercak darah itu melihat kearahku yang segera kubalas dengan anggukan kecil, seolah mengatakan 'tenang saja, aku pasti datang'.

Dengan begitu aktivitas harianku berjalan kembali seperti biasanya.

**

"Kalau begitu aku balik duluan." Ucap cowok seumuran yang duduk di sebelahku. Dia Mobila Arwan, biasa dipanggil Mob oleh orang kelas.

Waktu menunjukkan pukul 4 sore. Aku masih duduk dalam kelas yang sepi. Beberapa siswa masih terlihat sibuk dengan kegiatan ekstrakurikulernya. Bagaimanapun juga, SMA Petima satu merupakan salah satu sekolah favorit dengan sistem yang mendukung minat siswa dalam penelitian hal yang diminati. Jadi, cukup banyak klub yang didirikan siswa di sekolah. 

Meski begitu, aku tidak bergabung dengan klub manapun. Mulai berbicara dengan orang asing bagiku cukup susah. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan dengan benar perasaan canggung ketika berbicara dengan orang asing. 

Namun satu hal yang pasti. Itu tidak akan membuatku nyaman.

Hal lain yang membuatku terhalang adalah 'pengelihatan'-ku. Misalnya dalam kasus orang meninggal karena serangan jantung dan rohnya berdiri di dekat orang yang masih hidup. Aku cukup kesulitan membedakannya karena mereka juga berkomunikasi layaknya masih hidup. 

Satu hal yang membedakannya mungkin, mereka bisa tembus tembok.

Hari semakin sore, begitu juga dengan suasana sekolah yang semakin sepi. Aku memutuskan untuk beranjak dari tempat duduk. Saatnya menepati janji dengan kakek tadi pagi. Sambil meraih hp dari saku celana aku berjalan menyusuri koridor ditemani suara ketukan langkah yang terdengar menggema. 

Kontak rumah muncul paling atas dalam log panggilan lalu tanpa basa-basi aku menekan tombol panggil.

"Halo Rino? Ada apa?" suara dari seberang terdengar lembut seperti biasa.

"Halo bu, sepertinya aku bakal telat lagi hari ini."

"Oh, hal itu lagi?"

"Iya. Aku janji akan menyelesaikannya cepat."

Ibu terdiam sesaat, membuat jeda yang mengubah suasana menjadi berat. Tapi pada akhirnya ia menyerah dengan helaan nafas yang bisa kudengar jelas.

"Ok. Tapi kamu harus tetap hati-hati Rino!" tegasnya.

Aku memutus panggilan setelah mengiyakan pesan ibu. Semenjak rasa takutku akan mereka yang sudah mati hilang, aku mulai berpikir mungkin ada maksud khusus bagiku yang mempunyai pengelihatan ini. Maka dari itu, aku memutuskan untuk memulai komunikasi dengan mereka.

Roh orang yang sudah mati seharusnya pergi ke alam selanjutnya. Begitulah yang kudengar dari orang-orang. Jadi, aku yang bisa melihat mereka sudah menjadi kewajibanku untuk membantu.

Bukankah begitu? Setidaknya aku merasa seperti itu.

Kakek tadi pagi masih berdiri di tepi trotoar dengan tangan bengkoknya. Sementara beberapa orang masih terlihat sibuk berjalan memenuhi trotoar. Aku tidak heran karena ini trotoar dalam kota. Menunggunya sepi akan berujung dengan aku pulang tengah malam. Aku ingin menghindari hal itu. 

Berbekal eraphone, aku mendekati kakek itu dan berdiri di sebelahnya berlagak sedang menelpon seseorang.

"Jadi, apa yang bisa kubantu?" ucapku membuka percakapan.

"Ah, kamu yang tadi pagi. Tolong bantu aku mencari cincin yang hilang." Balas kakek itu dengan wajah sedih.

"Cincin?" balasku bingung.

"Cincin pernikahan. Aku ingin mengembalikannya ke istriku. Cincin itu pernah aku jual karena butuh uang, kemarin aku ingin mengembalikannya tapi berakhir seperti ini."

"Jadi cincinnya hilang di sini.." gumamku pelan, memfokuskan telingaku pada cerita si kakek dengan earphone di telinga.

"Tidak.." balas si kakek pelan.

Aku memandang si kakek bingung dan mendapati tangannya menunjuk ke arah arahku. 

Tidak, lebih tepatnya ke belakangku. Lalu suara seorang cewek terdengar olehku.

"Kamu... dari tadi bicara dengan siapa?".

Dengan gelagat terkejut aku balik badan dan melihat seorang cewek dengan seragam SMA Petima satu menatapku curiga.

"A.... A-aku, a-aku sedang berbicara dengan telpon... ma-maksudku dengan orang di telpon!"

Cewek di hadapanku masih memandang curiga. Sementara itu, aku mengutuk diriku bersama reaksi yang kutunjukkan.

"Dengan earphone yang tidak tersambung?" Tanya lebih jelas.

"Eh?" Aku langsung melihat port earphone-ku yang memang tidak tersambung dengan hp dan sekali lagi mengutuk kebodohanku.

Setelah memastikan sesuatu, cewek di depanku tersenyum jahil.

"Namaku Lilia Enka, kelas 2-F. Aku mencium aroma mistis di sekitarmu." Lanjutnya dengan setengah berbisik.

Aku Tidak tahu harus bereaksi bagaimana, daripada canggung aku merasa seperti kriminal yang tertangkap basah dibuatnya. 

Lalu,  ceritaku dengan Lilia Enka si maniak hal mistis dimulai dari sini.

UnknownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang