sayang, ini part empat.

22.3K 3.7K 410
                                    

"Jangan dulu deh, Mel. Protokol kesehatan bisa aja sih dilakuin. Tapi, takutnya nggak bekerja maksimal. Daripada ambil resiko, mending kayak gini aja dulu. Terima take away aja ya. Kalian masuknya tetep shifting biar nggak banyak yang di resto. Aku lagi berusaha cara lain supaya bisa tetep bayar kalian dengan layak. Aku udah umumim di grup buat nggak keluar kalau nggak penting, jadi mengurangi ketemu sama orang asing. Biar pas kerja kalian tetep ngerasa aman."

"Iya, Mbak Di. Makasih banyak ya. Biar nanti tim sosmed gencerin lagi deh konten untuk stay at home dan mastiin walaupun makan di rumah, tetap sama enaknya."

"Yap. Makasih ya."

Aku memijat kening karena mendadak seperti dihantam benda besar. Kalau Covid-19 ini tidak kuga segera hilang, aku tak tahu bagaimana kehidupan ke depannya ini.

Baru mau meletakkan handphone, sebuah pesan baru masuk lagi. Kali ini dari Adnan, editorku. Dia tak kerja sepenuhnya untukku sih, hanya ketika aku memberinya rekaman mentah saja. Karena aku sendiri tidak seaktif itu.

Aku merekam diriku sendiri saat makan, sata tutorial make up, membahas seputar kulit dan cara merawatnya, dan lain-lain. Aku bisa melakukannya sendiri, kecuali mengeditnya. Aku pernah mencoba, dan aku mau muntah saking muaknya.

Pusing, lelah, dan butuh kejelian juga kesabaran ekstra.

Aku mengabari Adnan kalau hari ini aku akan punya satu konten bersama satu-satunya lelaki yang kuharapkan untuk ada di channel-ku. Aku tidak ingin ada Reza Rahardian, Nicholas Saputra, Hamish Daud, Jefri Nichol atau siapa pun. Jivan Maharga sudah segalanya.

Lagipula, konten bersama Tiara entah apa kabar. Salahku sendiri yang mengundurnya tak jelas dengan mengatakan ada masalah. Well, aku tidak sepenuhnya bohong, tetapi giliran aku mengajaknya, dia yang bilang sudah menutup jadwal untuk sebulan ke depan.

Dia kelihatan benar-benar orang sibuk.

"Mbak Ersih lagi ngapain?"

"Nyiapin camilan nanti buat mas Jivan. Jadi bikin konten, kan?"

"Ohiya. Ada masakan, kan? Takutnya dia laper kasihan."

"Ada, Mbak."

"Lighting aku di mana ya, Mbak?"

"Di studio. Udah saya beresin."

Aku meringis.

Jadi, terakhir aku menggunakan alat itu saat me-review makanan artis kalau tidak salah, terus aku mau background yang baru, makanya pakai dapur. Setelah filming, aku lupa membereskan. Kalau ada Bunda, pasti kalimatnya 'kamu nggak kasihan sama mbak Ersih yang beresin barang-barangmu terus?'

"Makasih ya, Mbak Ersihh."

"Iya. Saya mau bikin es lemon dikasih soda. Mbak Di mau nggak?"

"Mau banget, please ...." Setelah mbak Ersih mengangguk, aku berjalan menuju studio miniku yang sebenarnya kamar, tetapi disulap menjadi penuh barang.

Nanti kami akan duduk di sana, eh sebentar, aku ganti kain background-nya deh. Putih aja biar kelihatan lebih bersih, terus ketemu banyak tanamanku. Jadi, aura 'iblis' yang keluar dari kami berdua setidaknya nanti tidak dirasakan oleh yang menonton.

Tubuhku berjengit saat handphone di genggamanku berdering. Aku tidak tahu kenapa tidak pernah bisa meninggalkan benda ini. Selalu membawanya ke mana pun, dan tak jarang kaget sendiri karena getaran dan bunyinya.

Jivan?

Senyumku refleks melebar. Kalau ini bukan indikasi seorang budak cinta, aku tidak tahu apa sebutannya.

komitmen butuh waktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang