Satu

92 3 0
                                    

"Pagi ini lumayan cerah, ya. Bagaimana prakiraan cuaca sore nanti?"

Kang Younghyun tampak fokus memperhatikan layar komputernya. Sambil menahan gagang telepon yang ia letakkan di antara telinga dan pundak, yang masih tersambung dengan seseorang di seberang sana. Gadisnya, Yoon Bomi, merangkap putri pemilik stasiun televisi tempatnya bekerja sebagai weather forecaster. Sesekali, ia melirik kalender kecil di meja kerjanya.

19 Oktober. Hari jadi. Jadwal kencan wajib.

"Entahlah, aku melihat ada pergerakan kumulonimbus dari arah utara. Sepertinya nanti sore akan turun hujan berpetir."

"Begitukah?" sahut Bomi di seberang panggilan dengan nada yang terdengar sedikit kecewa. "Apa tidak apa-apa jika kau meninggalkan adikmu sendirian di rumah nanti? Maksudku, Minkyu masih takut petir, kan?"

"Mungkin tidak apa-apa jika aku menyembunyikan alat bantu dengarnya," kekeh Younghyun asal. "Jangan khawatir, kita tetap jadi pergi kencan sore ini. Aku merindukanmu, setelah berbulan-bulan kita batal berkencan, kau tahu?"

"Kakak macam apa kau ini?" Bomi tertawa. "Baiklah, kurasa kau memang sedang butuh penyegaran setelah bersuntuk-suntuk ria beberapa pekan belakangan ini. Kuharap Ayah benar-benar memberimu gaji lembur yang sepadan atau aku akan menuntut keadilan...."

"Diterima bekerja di tempat Tuan Yoon sudah lebih dari cukup bagiku, Bomi-ya. Aku justru amat berterima kasih," potong Younghyun cepat. "Sudah dulu ya. Lima menit lagi aku siaran. Nanti sore kujemput di parkiran kampusmu, oke?"

*

"Aishhh, menghilang ke mana benda bodoh itu?"

Kim Minkyu bersumpah, ia meletakkan hearing aid-nya di atas nakas sebelah tempat tidurnya sebelum ia tidur siang tadi--jam pulang sekolahnya lebih cepat setiap hari Sabtu sehingga ia bisa tidur siang. Akan tetapi, pada saat ia bangun tadi, ia tidak menemukan benda itu di atas nakasnya.

'Kak Younghyun pasti akan memarahiku habis-habisan kalau tahu aku menghilangkannya,' batinnya gusar.

Perlahan ia melangkah ke luar kamarnya. Tidak ada tanda-tanda kakaknya ada di rumah. Padahal, Minkyu hafal persis, jadwal siaran Younghyun selesai pukul sembilan pagi, dan sehabis itu, kakaknya selalu langsung pulang ke rumah.

Minkyu memasuki dapur sambil terus mencari hearing aid-nya, barangkali terjatuh di kolong-kolong meja makan saat ia mengambil minum sepulang sekolah tadi. Benda bodoh, rutuknya berulang-ulang dalam hati. Ia menjuluki piranti bantu dengar itu 'benda bodoh' karena dengan memakainya, ia merasa bodoh dan selalu menjadi bahan olok-olok teman-temannya di sekolah.

Kendati Minkyu ingin sekali melawan, namun kenyataannya ia hanya bisa diam saat satu sekolah mencemoohnya 'Si Cacat', 'Si Tuli', dan sebagainya, bahkan tatkala teman-temannya bertindak di luar batas dengan melakukan perundungan fisik. Tidak pernah sekalipun ia membalas atau sekadar mengadu kepada guru atas perlakuan tidak menyenangkan yang diterimanya tersebut.

Ia hanya tidak ingin merepotkan Younghyun dalam urusan sekolahnya.

Tidak berhasil menemukan hearing aid-nya di sekitar meja makan, Minkyu berniat mencarinya di bawah pintu kulkas. Namun, secarik post-it yang tertempel di bawah magnet kulkas terlebih dahulu menarik perhatiannya.

19/10.
Aku pergi kencan dengan Bomi (ini malam mingguan pertama kami sepanjang tahun ini, kuharap kau mengerti). Jangan ke mana-mana. Tetap di rumah. Sore ini diprediksi hujan petir.
p.s. Jangan khawatir, alat bantu dengarmu aku sembunyikan sementara.

Younghyun

Minkyu mengerucutkan bibirnya. Dasar budak cinta, pikirnya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, jadwal kencan kakaknya selama ini berantakan juga karena dirinya.

Mulai dari karena ia yang tiba-tiba sakit, ia yang tiba-tiba minta ditemani les drum atau menonton pertunjukan drum, dan masih banyak lagi agenda kencan Younghyun yang digagalkan Minkyu. Jika dihitung-hitung, tidak terhitung banyaknya waktu Younghyun yang dihabiskan untuk Minkyu.

*

Younghyun dan Minkyu adalah saudara seibu. Ketika Younghyun berusia sebelas tahun, ibunya bercerai dari ayahnya--Tuan Kang, lalu menikah lagi dengan lelaki bermarga Kim. Setahun kemudian, ia mendapati kabar ibunya meninggal saat melahirkan adiknya--Kim Minkyu. Tuan Kim yang tidak dapat menerima kenyataan tersebut akhirnya membenci darah dagingnya sendiri dan meninggalkan Minkyu yang masih merah begitu saja di rumah sakit.

Sesungguhnya Younghyun bisa saja memilih untuk tidak ambil pusing dan hidup bahagia bersama ayah kandungnya. Namun, nalurinya sebagai kakak mengalahkan sisi egoisnya.

Betapa keraspun Tuan Kang menghardiknya untuk tidak mempedulikan anak dari mantan istrinya dengan lelaki lain itu, Younghyun seakan keras kepala dan tutup telinga. Demi Tuhan, Minkyu adalah adiknya. Dirawatnya bayi merah nan mungil itu semampunya seorang diri. Kadang ia meminta bantuan tetangga sekitar untuk memberinya pekerjaan--apapun pekerjaan kasar yang sepertinya tidak pernah ada dalam bayangan setiap anak berusia dua belas tahun--demi memperoleh uang untuk sekadar membelikan adiknya susu. Lalu memupuk lagi kesabaran tatkala mendapati kenyataan bahwa adiknya tidak mampu mendengar layaknya orang normal.

*

Minkyu bersyukur, di saat ia justru tidak mengenal kedua orang tua kandungnya, Younghyun hadir sebagai satu-satunya orang yang mengenalkannya pada dunia. Satu-satunya keluarga yang ia punya.

Kak Younghyun berhak untuk bahagia, pikirnya.

Minkyu melangkah kembali ke kamarnya. Dari balik jendela, tampak gerimis mulai merintik. Langit telah sepenuhnya tertutupi awan abu-abu. Hujan sepertinya turun lebih awal dari yang diperkirakan siaran cuaca tadi pagi.

Kalau boleh jujur, Minkyu menyukai dinamika cuaca. Cerah, berawan, berangin, hujan, badai, ia menyukai semuanya. Karena dari situlah kakaknya mempunyai mata pencaharian. Memperoleh uang, dan mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua.

Ketimbang sosok 'orang tua' yang hingga detik ini belum pernah sekalipun bisa ia inderai keberadaannya, Minkyu lebih menghormati cuaca. Ia hanya membenci suara petir yang membuatnya takut.

Suara petir itu menggelegar, persis suara Younghyun ketika marah. Dan Minkyu benci ketika ia membuat kakaknya marah.

Ditatapnya kalender bergambar seekor rubah merah--Minkyu menggambarnya sendiri, menurutnya hewan itu sangat cocok mendeskripsikan kakaknya--yang menggantung di dinding kamarnya. '19 Oktober, berarti hari ulang tahun Kak Younghyun genap dua bulan lagi,' batinnya. Kemudian diintipnya isi celengan ayam yang bertengger manis di meja belajarnya.

Ia harus melakukan sesuatu.

Mengabaikan pesan kakaknya, Minkyu menyambar blazer alma mater-nya, mengambil payung di ruang tamu, dan melangkah ke luar rumah.

*

Bersambung

Stop The RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang