Aku kembali berdiri mematung di depan kamar 211. Entah untuk yang ke berapa kali aku memilih berdiri tanpa berani masuk dan menemuinya. Mataku masih saja mengamati pemilik tubuh renta di dalam sana melalui celah kaca tak begitu lebar di pintu.
Tubuhnya yang semakin kurus. Keriput kulitnya membalut tulang yang mungkin tak lagi kokoh. Aku tak melihat gairah di wajahnya. Sekalipun ada tangan yang mengusapnya–yang membuatku teramat cemburu–masih setia di sisinya. Bola mataku memutar ke kiri, sekadar mengalihkan pandangan saat tangan lembut perempuan itu mulai membelai wajah pucat itu.
"Kamu lagi?!"
Tiba-tiba suara itu mengejutkanku. Sial! Aku bahkan belum sempat menghindar lagi. Mataku terkatup beberapa detik demi menahan diri. Orang itu sudah beberapa kali memergokiku berdiri di depan pintu kamar ini. Aku sempat menghindarinya dengan buru-buru kabur. Aku bukannya jera malah mengulanginya hingga beberapa kali. Kali ini, sepertinya aku tidak bisa lagi lolos darinya.
"Siapa kamu sebenarnya, hah? Penyusup? Mata-mata?" bentaknya.
Lorong di bagian samping ruang rawat inap kelas I itu memang sepi. Dia menyeretku ke sana. Sedari tadi aku sudah berusaha melepaskan cengkeraman tangannya, tetapi gagal. Sambil menyeret lenganku, dia juga mendengkus kasar.
"Siapa kamu?!" tegasnya.
Dia belum melepas cengkeramannya.
"Bisa nggak lepasin tanganmu?" tanyaku sinis.
Kedua mataku menatapnya tajam. Beberapa detik terjadi tubrukan di kedua mata. Tatapanku padanya, bisa diartikan tantangan. Biarpun aku perempuan, aku tidak pernah takut dengan pria mana pun. Apalagi pria sotoy seperti pria di depanku ini. Pria yang selalu saja menangkap basah aku sedang berdiri di rumah sakit ini.
"Kenapa? Kayaknya kamu takut aku bakal lari lagi seperti kemarin, benar 'kan?"
Pria itu kembali mendengkus sambil melepaskan tangannya. Dia lalu tersenyum sinis.
"Apa peduliku kamu kabur?"
"Oh, ya? Trus ngapain kamu seret aku tadi?"
"Hei! Apa kamu nggak sadar, sudah membuat keresahan? Tindakan kamu sudah sangat mengganggu!"
Aku tertawa sinis. Ujung bibirku terangkat sedikit. Sungguh aneh pria ini.
"Mengganggu apanya? Aku hanya berdiri di depan pintu. Just it!"
"Kamu pikir orang di dalam nggak merasa kamu intai hampir setiap hari? Mikir dong!"
Oh, jadi laki-laki dan perempuan di dalam kamar itu tahu dan merasa aku memperhatikan mereka setiap hari. Aku semakin tersulut emosi. Gemetar tubuhku dan gemeletuk gigi-gigiku. Aku kembali menatapnya. Ah, bukan. Lebih tepatnya aku menantangnya.
"Kenapa? Kenapa aku yang harus mikir?"
Pria itu terlihat geram, rahangnya mengeras penanda dia sedang menahan emosinya saat ini. Dan tangannya, mengepal kuat. Belum lagi matanya seperti bersiap menusukku.
"Kamu ... mengganggu ketentraman pasien!" ucapnya pelan, tetapi dengan penekanan emosional.
"Masalah buat kamu?" tanyaku lagi. Aku mengangsur langkah ke depan, meniadakan jarak antara aku dan pria menyebalkan ini.
Selintas aku menatapnya dengan bola mata hampir tak mengerjap. Dia terkejut dengan gerakanku.
"Tidak usah ikut campur dan sok pahlawan. Paham?!" Nada bicaraku kuatur pelan berintonasi tegas.
Terakhir sebelum aku meninggalkannya, aku mendorong kuat-kuat dadanya. Tolakan kedua tanganku berhasil membuatnya mundur beberapa langkah, walaupun tidak sampai membuatnya terjengkang. Namun, paling tidak aku sudah memperingatkan pria sok tahu itu. Aku pun meninggalkannya tanpa menoleh lagi.
Jika saja aku laki-laki, aku sudah tantang dia beradu fisik. Kelancangannya makin overdosis. Memangnya dia siapa, sampai-sampai dia menyeretku dan membentakku seperti tadi.
Dasar pria! Semua pria sepertinya identik. Di otakku, makhluk berakal dan berkelamin jantan itu berlabel buruk. Selain kasar, kupikir perilakunya palsu. Aku bahkan tak percaya ada ketulusan dari sepotong hati yang mendiami tulang rusuknya.
Siang ini, selain cuaca, kejadian barusan benar-benar membuatku gerah. Kekesalanku makin memuncak saat aku meraba saku blazerku, tetapi tak menemukan kunci mobilku. Aku semakin panik ketika aku tak menemukannya dalam saku yang lain juga tasku!
Biasanya aku memasukkan ke dalam saku kananku atau dalam tasku. Aku berusaha keras mencarinya di setiap bagian di dalam tas, tetapi tetap nihil. Wajahku pucat, bagaimana caranya aku kembali ke kantor bersama mobilku?
Aku celingukan di sekitar mobil, lalu berjongkok di sisi pintu, sampai-sampai aku melongok ke bawah kolong mobil barangkali benda yang kucari itu terjatuh di sana atau di sekitar mobil. Aku mendengkus saat semua usahaku sia-sia saja.
Sebelum bangkit, aku terkejut melihat sepasang kaki berdiri di hadapanku. Aku bergeming beberapa saat.
"Nih!"
Mataku membulat tidak percaya, melihat kunci mobil terulur di depan mata. Spontan aku merebutnya sambil berusaha berdiri.
"Dari mana kamu dapatkan ini? Kamu sengaja sembunyikan?"
Aku terus saja memberondong pria itu dengan pertanyaan dan tuduhan-tuduhan. Walaupun pria itu berusaha menyela, tetapi selalu gagal karena aku lebih cepat menyanggahnya.
"Kamuuu!" Pria itu berteriak. Dia menahan kesal dengan mengepalkan tangannya. "Bukannya berterima kasih, seenaknya kamu nuduh!"
Aku terkesiap, mendadak terdiam, dan salah tingkah. Tiba-tiba saja aku menjadi orang yang paling menyebalkan di muka bumi, yang marah-marah tanpa memberinya kesempatan menjelaskan. Kali ini aku benar-benar malu.
Pria itu meninggalkan area parkir. Beberapa langkah sebelum terlalu jauh, aku memanggilnya.
"Hai! Maaf, terima kasih."
Hanya itu. Selebihnya, aku berlari masuk mobil.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Stepbrother
RomanceKisah cinta tidak bisa memilih dengan siapa dia akan disarangkan. tak terkecuali dua anak manusia ini yang tidak bisa memungkiri hubungan keduanya. secara agama mereka bukan aib sehingga harus dipatahkan. karena cinta sejatinya hubungan dua insan.