"Win?"
Pria yang masih berpakaian rapi itu berjongkok di samping tunangannya yang –semutpun bisa menebak– sedang apa di lantai samping kasur mereka.
Bright melemparkan tasnya ke kasur lalu meraih Win yang meringkuk seperti bayi. Bright meraih lengan tunangannya itu dengan pelan, mencoba untuk tidak mengagetkan yang juga sedang terisak itu.
"Hey, sayang," panggilnya sekali lagi, mencoba mendapatkan atensi Win.
Mencoba untuk setenang mungkin agar tidak memperkeruh suasana, Bright mulai meraih penuh lengan Win dan menggenggamnya. Bright menebak-nebak apa yang telah terjadi sini. Ia melihat sekitar kamarnya yang sedikit berantakan, ia memiliki satu skenario yang mungkin telah terjadi.
Win yang sudah satu jam berada di posisi itu, menangis dan meringkuk, perlahan mengangkat kepalanya, mencari asal suara familiar yang ia tunggu sejak tadi. Matanya yang sudah terasa tebal dan berat sekali gara-gara terlalu banyak menangis akhirnya menemukan si pemilik suara yang berjongkok dengan tangannya menggenggam lengan atasnya.
"Bright?" perlahan ia bangkit dari posisinya untuk duduk.
Bright yang mendengar namanya dipanggil tunangannya dengan suaranya yang serak itu terduduk dengan kedua kakinya berusaha melingkar di sekitar tubuh Win yang juga sudah terduduk dengan lutut yang masih ditekuk ke dada.
"Iya, sayang. Ini Bright," ia merentangkan tangannya, meraih tubuh ringkuh yang sedang ketakutan itu.
Dengan sedikit bantuan cahaya dari lampu jalanan di kamarnya, Bright bisa melihat beberapa bagian tubuh Win yang membiru; lengan kiri yang tadi ia genggam, betis kanan dan paha kirinya. Bright menutup matanya dan menghela nafas, ia mengeratkan pelukannya.
Sudah pasti ayahnya datang lagi, menendangi dan memukuli Win tadi saat ia masih bekerja. Marah, sedih, lelah yang ia rasakan sekarang menyatu dengan rasa sayangnya terhadap orang di rengkuhannya itu. Rasa sayangnya itu yang membuat ia berusaha untuk tenang dan memaafkan ayahnya, seperti yang Win minta setiap saat.
"Hey, coba lihat aku sebentar."
Suaranya tercekat, menahan air matanya setengah mati. Tidak, ia tidak boleh menangis, ia harus menjadi sosok yang menguatkan sekarang, untuk Win. Ia melonggarkan pelukannya, semakin longgar pelukannya, semakin tercekat tenggorokannya.
Pemandangan Win dengan wajah memerah karena takut, mata membengkak karena terlalu lama menangis itu menambah kesakitan di hatinya. Ia menutup matanya sambil menarik nafas lagi untuk kesekian kalinya. Ia menarik ujung bibirnya dengan paksa, tersenyum dengan harapan bisa menenangkan pria di dekapannya itu.
"Maafkan aku, ya?"
Pintanya. Nafasnya mulai memendek, semakin sulit untuk menahan tangisnya. Win yang menyadari itu, menggelengkan kepalanya keras-keras. Meraih wajahnya dengan kedua tangan yang jari-jarinya ternyata juga membiru lebam.
"Jangan meminta maaf, Bright. Ini bukan salahmu," ucapnya masih dengan tangisnya. Jemarinya yang terasa sangat sakit setelah diinjak dengan sepatu pabrik ayah mertuanya itu mengelus kedua pipi tunangannya yang mulai dibasahi air mata.
Mereka kembali berpelukan tapi Bright kali ini yang menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Win, kakinya masih melingkar di sekitar tubuh Win, tangannya melingkar erat di pinggangnya. Ia menangis, menyalurkan beribu maaf atas ayahnya yang masih saja belum menyerah untuk memisahkan dirinya dengan Win.
Win mendekap kepala Bright dan menekannya semakin dalam ke lehernya, ia menumpukan pipinya di atas kepala Bright, kakinya yang tadi ia tekuk di dada sekarang ia lingkarkan di pinggang tunangannya. Win juga menangis, sakit; hatinya dan badannya, semuanya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teaser 1: "A Serendipity?" || Brightwin AU ✔️
Romance-ONESHOT- Language: Indonesian This probably is gonna be one of the teasers I will publish before I publish the actual story; A Serendipity? A Bright and Win alternate universe. Where they will go against what broke the promise itself.