Kereta adalah tempat favorit kedua untukku, setelah kamar tentunya. Bila suasana di kos-an sedang tidak mengasyikkan maka aku akan menaiki Commuter Line—kereta listrik yang ada di pusat ibu kota, yang dapat membawamu berkeliling ke 5 kota dengan harga yang sangat terjangkau. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, itu adalah lima kota yang selalu kupandangi hampir setiap harinya dari dalam kereta.
Hari ini pun sama, aku sedang berada di dalam Commuter Line jurusan Bogor-Jatinegara. Karena sekarang bukanlah jam sibuk maka kereta ini terasa lapang, sejuk dan sangat nyaman untuk menyendiri. Aku duduk paling pojok di kursi tengah pada gerbong keempat sembari mendengarkan alunan Bad Guy dari headphone-ku dengan volume yang tidak terlalu tinggi.
"Langit hari ini sangat tidak bersahabat," ucap seorang pria yang tiba-tiba saja duduk di sampingku. Tanpa mengacuhkannya aku kembali berfokus pada benda pipih di tanganku, menelusuri satu per satu room chat dan mengetikkan kata demi kata yang kuyakin sudah tak terhitung banyaknya.
"Apa itu? Kenapa notifikasi ponselmu ramai sekali?" Sekali lagi aku teralihkan dari ponselku oleh pria tadi, tetapi aku tidak meliriknya. Aku menggunakan headphone, dan aku memilih untuk berpura-pura tidak mendengar. Sungguh tidak sopan bukan mengintip privasi orang lain?
"Aku tau kau mendengarku, El." Aku tersentak ketika mendengarnya memanggilku dengan nama itu. Dengan refleks aku pun langsung menoleh padanya dan memberikan tatapan kebingungan.
"Siapa?" Hanya satu kata itu yang dapat keluar dariku yang masi diambang rasa tidak percaya. Orang yang memanggilku dengan nama itu hanyalah teman dunia mayaku, meskipun ada orang lain yang tau nama itu, bukanlah orang yang pernah berjumpa denganku.
Pria itu terdiam dengan senyum simpul yang tidak dapat kuartikan, "Akhirnya aku menemukanmu ...," ucapnya pelan tetapi aku masih bisa mendengarnya dari balik headphoneku.
"Siapa?" Sekali lagi hanya kata itu yang dapat kutanyakan. Badanku sedikit gemetar, bahkan jari-jariku yang menggenggam ponsel terasa lemas. Pria asing di sampingku yang dengan tidak sopannya mengintip isi ponselku bahkan tau nama yang hanya kupakai di dunia maya.
Dengan senyum merekah ia mengulurkan tangannya, "Tamma, namaku Tamma."
Otakku bekerja keras mencari informasi dari segala sudut ingatanku, apakah aku mempunyai teman bernama Tamma? Banyak, ada banyak nama Tamma yang kutahu, Tamma yang mana? Ini sungguh menyebalkan, aku sama sekali tidak dapat memikirkan siapa pun. Tangan yang terulur itu pun ia tarik kembali karena tidak mendapat sambutku.
"Stasiun Sudirman, stasiun Sudirman." Karena kepanikanku bahkan pengeras suara kereta tidak terdengar, sehingga hanya kata 'Stasiun Sudirman' yang dapat kudengar dari kalimat panjang yang selalu dikumandangkan saat akan berhenti di stasiun.
"Sial!" umpatku kesal karena aku berencana turun di stasiun Manggarai, tetapi sudah terlambat. Beruntung ini belum memasuki jam kepulangan kerja, karena jika tidak maka dalam satu menit kereta ini akan penuh jika memasuki stasiun Sudirman—stasiun terpadat saat jam sibuk.
"Kita turun di tanah abang saja, dan memutar kembali ke manggarai," tawarnya tiba-tiba, seolah ia dapat membaca pikiranku dan membuat perasaanku semakin tidak nyaman. Apakah ia seorang penguntit atau pencuri?
"Apa maumu?" tanyaku kesal. Aku mulai memperhatikan pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lelaki itu mengenakan kaus warna hijau tosca, dilapisi kemeja flanel berwarna hijau lumut. Di bahunya tergantung tas selendang berwarna hitam, tidak lupa dengan sepatu Sneakers berwarna hijau juga.
"Mauku? Aku mau kau berhenti menatapku dengan netra cokelatmu itu, aku belum siap bertanggung jawab bila kau jatuh hati padaku," candanya dengan sedikit kekehan yang terdengar dari bibir gelapnya.
