Aku ingat Tuan Ananta memintaku untuk keluar dan ingin bicara mengenai Eka, tapi ...
Aku mengedarkan pandang, mendengarkan sekitar, dan membaui udara sebisaku. Sekuat yang aku mampu.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan Tuan Ananta di mana pun. Apa Beliau bercanda?
Ah, tidak mungkin, kan? Membayangkan orang seserius itu bercanda ... rasanya lebih tidak masuk akal daripada membayangkan Eka memakai gaun. Tapi alasan apa lagi yang ada jika orang yang mengundangku mendadak tidak ada? Beliau bilang akan menunggu, jadi tidak mungkin Beliau pergi duluan kecuali ...
Ah, apa Beliau berbohong? Tuan Ananta sedang....
Pikiranku terhenti saat mendengar ada yang datang. Banyak. Aku menghitung. Enam. Aroma aruna masuk ke hidungku. Enam Aruna datang dalam kecepatan tinggi ke mari. Dan dari berbagai arah.
Apa ... maksudnya ini?
Meski masih bertanya-tanya, aku memutuskan untuk bergerak cepat dan masuk kembali ke dalam pondok. Siapa pun itu, aku yang tidak mau ambil risiko, jadi aku kembali menyelimuti Eka dengan kain. Namun tinggal di dalam pondok juga bukan pilihan. Itu sama saja mengurung diri kami berdua dalam botol kaca tanpa jalan keluar. Jadi aku segera bergegas membawanya keluar pintu belakang. Aromaku mungkin masih akan tersisa di sekeliling pondok, tapi aku tidak menemukan barang apa pun yang bisa dijadikan bahan bakar untuk menghanguskan pondok ini jadi abu.
Lagipula aku tidak mau sembarangan menghanguskan tempat tinggal seseorang jadi abu. Terlalu frontal. Terlalu gegabah. Bisa-bisa, jika ada yang tahu kalau Tuan Ananta punya rumah di sini, akan ada yang curiga perihal kenapa rumah ini dibakar tiba-tiba tanpa alasan yang jelas, sementara hutan di sekelilingnya tidak terbakar.
Kalau mau sekalian saja buat kebakaran hutan. Tapi kekacauan sebesar itu juga pasti mengundang perhatian: sesuatu yang paling tidak aku butuhkan sekarang.
Jadi, tidak. Terima kasih.
Aku memilih kabur saja.
Lagipula belum tentu ada yang tahu bauku di antara para aruna itu, kan? Aruna yang memergokiku tempo hari juga tidak tampak mengenalku sama sekali.
Dan ngomong-ngomong....
Aku menatap Eka dalam dekapan. "Eka, kamu tambah berat."
Selepas kata-kata itu keluar, aku merasakan tubuh dalam dekapanku sedikit bergerak. Tapi tidak ada suara. Syukurlah.
Sepertinya, meski pendengaran Eka sudah berfungsi baik, mulut Eka belum seberapa pulih. Kalau sudah pulih, mungkin gendang telingaku yang harus hancur, berikut pelarian kami yang serba apa adanya ini.
Sebuah ledakan emosi mendadak mengguncang kepalaku.
Berhenti, aku langsung bersandar dan bersembunyi di salah satu pohon besar. Ledakan emosi itu berdenyut-denyut di belakang tengkorakku. Kencang dan berdentam-dentam.
Kemarahan.
Tapi aku tidak marah sama sekali. Belum, setidaknya.
Ah, ya, benar. Kepala ini sekarang bukan hanya milikku. Ini bukan amarahku. Dentam ini tidak berasal dari kepalaku. Memejamkan mata, aku merasakan dentam ini berasal jauh dari dalam diriku, jauh ada di luar ragaku. Di sisi lain ikatan yang kembali hidup.
"Arka...." Ini amarahnya.
Kenapa dia bisa semarah ini? Baiklah, dia memang senantiasa kesal dan kadang mengamuk tanpa sebab, tapi amarah sekencang ini tidak biasa. Hanya untuk alasan baguslah ia bisa semarah ini.
Apa yang kiranya membuat dia kesal?
"Kalian menemukan sesuatu?"
Suara itu membuatku terlonjak. Menoleh ke balik pohon, pandangan mataku memusat ke arah pondok yang ternyata sudah lumayan jauh dari tempatku berdiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/54609404-288-k303247.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood and Curse
Vampire"Semuanya akan baik-baik saja." - Setelah mati dan bangkit kembali sebagai sesuatu yang berbeda, Eka menjalani pemulihan agar bisa kembali seperti sedia kala. Di bawah pengawasanku dan Tuan Ananta, gadis itu beradaptasi ke tubuh dan kemampuan...