Sebuah perahu merapat perlahan-lahan ke pantai. Pada bagian depannya yang pertama kali terlihat adalah seorang pemuda berbaju hitam. Rambutnya yang panjang dikuncir agak ke belakang. Sepasang matanya sipit dan memiliki alis tebal. Bibirnya tipis seperti menyiratkan kekerasan hatinya. Menyolok sekali dengan kulitnya yang putih kekuningan, dipadu pakaian warna gelap.
Sesekali angin bertiup sedikit kencang dan mengibar-ngibarkan rambutnya. Sehingga terlihat gagang pedangnya yang agak panjang di punggung. Perahu merapat. Dan pemuda itu melompat ketepi dengan gerakan ringan.
"Hup!"
Pemuda itu berdiri tegak, memperhatikan keadaan sekelilingnya. Pantai ini terlihat sepi, banyak ditumbuhi pohon-pohon bakau dan api-api. Perahunya ditarik dan disembunyikan di antara aliran sungai kecil yang banyak ditumbuhi semak-semak.
Setelah merasa aman, dia merapikan pakaiannya. Lalu dikeluarkannya sesuatu dari lipatan baju di bagian pinggang. Selembar kertas agak kekuningan yang berisi tulisan. Diperhatikannya agak lama, lalu dilipatnya. Dan kini kakinya melangkah lebar ke selatan!
Kawasan pantai ini memang agak jauh dari pemukiman penduduk. Padahal udara di sini tidak begitu panas karena banyak ditumbuhi pepohonan yang berdaun lebat. Sehingga bila matahari tengah bersinar garang, seperti tak mampu menembusnya. Begitu rimbun dan redup. Terlebih angin laut yang berhembus, membuat siapa pun akan merasa nyaman berada di sini.
Agaknya hanya ada sesuatu yang membuat penduduk tidak betah. Tentu saja, sebab kawasan ini dihuni sekawanan perampok yang merajalela di dua tempat. Darat dan laut. Bila di laut sepi, tidak ada perahu-perahu besar yang bisa dirampok, maka mereka mengalihkan perhatian ke darat. Yaitu ke kampung-kampung terdekat. Bahkan tidak jarang melakukan perjalanan cukup jauh. Hasil rampokan dibawa kesini, sehingga jarang sekali jejak mereka ditemukan.
Dahulu di tepi pantai ini, terdapat perumahan penduduk yang mencari nafkah dengan melaut. Namun sejak kedatangan kawanan perampok ini, satu persatu mereka meninggalkan rumah dan pergi entah ke mana. Sehingga lambat laun, perumahan itu kosong. Kemudian baru dimanfaatkan kawanan itu sebagai tempat tinggal.
Sementara itu pemuda berbaju hitam ini agaknya baru saja memasuki perkampungan kawanan perampok yang terlihat kumuh dan banyak ditumbuhi semak-semak pada setiap halamannya. Sehingga menimbulkan kesan rumah yang jorok dan jarang diurus.
"Hm...!" Pemuda itu mendengus pelan. Sepasang matanya melirik sekilas. Beberapa penghuni perkam-pungan ini tampak keluar dari rumah masing-masing, menuruni anak tangga dengan perlahan-lahan. Rata-rata dipinggang mereka terselip sebilah golok. Wajah-wajah itu kasar. Dan sebagian bermuka buruk serta bengis. Mereka tidak mirip sama sekali sebagai nelayan. Dan dengan gelagat itu, agaknya pemuda bermata sipit ini mulai curiga
Bet!
Tanpa menghentikan Iangkah, apalagi menoleh, pemuda itu mencabut pedang yang tersandang dipunggung dan menggenggamnya ketangan kanan.
Sementara itu, tujuh laki-laki bertubuh besar berdiri tegak didepannya. Sikap mereka jelas menantang dan sengaja ingin mencari urusan. Yang berada ditengah, berkumis tebal. Pipi kirinya tampak bercodet. Bajunya berukuran besar dengan bagian dada terbuka lebar, seperti hendak memamerkan otot-otot dadanya yang kekar. Tangan kanannya berkacak pinggang. Sedang tangan kirinya memilin-milin salah satu ujung kumis.
Pemuda itu berhenti, balas memandang mereka satu persatu. Sementara itu, disadari kalau di belakang dan di samping kanan serta kiri, dia telah terkurung. Dan jelas maksud mereka tidak baik!
"Kisanak! Berilah aku jalan!" ujar pemuda itu datar.
"Kau boleh jalan, setelah meninggalkan semua barang berharga yang kau miliki!" sahut laki-laki berkumis tebal itu, dingin.
Pemuda berbaju hitam ini memegang buntalan putih yang berada di tangan kirinya erat-erat. "Aku tidak punya barang berharga. Buntalan ini hanya berisi pakaian," tandas pemuda ini sinis.
"Kalau begitu, kau boleh tinggalkan nyawamu!" sahut laki-laki berkumis tebal itu dengan suara serak, bernada mengancam.
"Siapa yang bertanggung jawab diantara kalian?" tanya pemuda itu seraya menatap laki-laki berkumis tebal dalam-dalam.
"Aku! Carok Singo, tangan kanan Wiroto Sangkar yang menjadi pemimpin Kawanan Memedi Jalang!" sahut laki-laki berkumis tebal, mantap.
"Carok Singo! Aku tidak berurusan denganmu. Beri aku jalan. Dan jangan memperpanjang urusan."
"Kurang ajar! Dasar Wong edan! Hei, Monyet Buduk! Tahukah kau, tengah berhadapan dengan siapa? Di lima kawasan tak ada yang berani bicara selancang mulutmu!" hardik laki-laki berkumis yang bernama Carok Singo dengan mata melotot lebar. Sehingga biji matanya yang merah seperti hendak melompat dari sarangnya.
"Aku tidak perlu tahu siapa kau! Tapi jelas, aku tidak berurusan denganmu," sahut pemuda bermata sipit itu tenang.
Sama sekali amarah pemuda ini tidak terpancing melihat sikap Carok Singo. Dan itu membuat tangan kanan pemimpin Kawanan Memedi Jalang ini semakin berang saja. Sambil mendengus geram, goloknya langsung dicabut.
Srak!
"Mau mampus rupanya, he?!" Setelah berkata demikian, Carok Singo langsung menerjang dengan senjata terhunus.
Bet! Wuuut!
Pemuda itu bergerak ke samping sedikit. Lalu badannya dibungkukkan sehingga dua tebasan Carok Singo mudah dihindarinya. Dan sebelum Carok Singo melakukan serangan, lutut kanan pemuda itu telah menghantam ke perutnya.
Duk!
"Hugkh!"
Carok Singo mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah berkerut. Kedua tangannya mendekap perut menahan sakit.
"Hiyaaa!"
Pemuda itu membentak. Kemudian terlihat sekilas cahaya berkilauan ketika tubuhnya bergerak mendekati Carok Singo. Sesaat terdengar Carok Singo memekik setinggi langit.
Sring! Crat!
"Aaa...!"
Tubuh tangan kanan pemimpin Kawanan Memedi Jalang ini ambruk begitu pemuda itu menyarungkan pedangnya. Tampak dibagian dahi sampai ke bibir terdapat guratan luka akibat tebasan pedang.
"He, Gila!" desis seorang anggota kawanan.
"Ilmu iblis...!" timpal yang lain.
"Setan keparat! Tidak peduli dia memiliki ilmu iblis. Orang ini telah membunuh Carok Singo. Dan dia patut mendapat ganjaran! Bunuh dia!" teriak salah seorang menyadarkan kawan-kawannya yang terpaku atas gebrakan pemuda itu.
"Betul! Kurang ajar! Bunuh dia...!" timpal yang lain ikut mendukung.
Sraaang...!
"Heaaat...!"
Serentak kawanan perampok ini mencabut golok, langsung menyerang secara bersamaan.
"Huh!"
Pemuda berambut dikuncir itu hanya mendengus sinis. Tubuhnya masih tetap terpaku di tempatnya. Kemudian pedangnya sedikit terbuka, ketika ibu jarinya menyontek gagang. Lalu.....
Trek! Sriiing!
"Heaaa...!"
Pedang pemuda sipit itu yang kelihatan tipis, tercabut dari sarangnya. Cahaya matahari tampak memantul dari batang pedang. Namun sekilas saja. Sebab cahaya itu sudah berkelebat cepat. Dan sesaat, kemudian terlihat darah memancur diikuti pekik kesakitan.
Cras! Cras!
"Aaa...!"
Lima orang pengeroyok kontan roboh dan tewas seketika dengan luka dalam memanjang dari dahi hingga ke bibir!
"Yeaaa...!"
"Haiiit...!"
Kawanan perampok yang lain seperti tidak melihat gelagat kalau pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Yang terpikir saat ini adalah, bagaimana caranya membalas dendam. Lalu membunuh orang asing ini dengan cepat.
Pedang pemuda bermata sipit itu kembali berkelebat. Gerakannya sulit diikuti pandangan mata. Dan tahu-tahu, kembali terdengar pekik kematian.
Cras...!
"Aaakh...!"
Enam orang lagi roboh dengan luka sama. Sementara pemuda ini kembali menggeram. Kemudian tubuhnya bergerak mendekati lawan yang berada di depan.
Sret!
"Aaa...!"
Tiga orang yang dihampiri langsung terjungkal disertai memekik nyaring. Mereka tewas dengan luka sama.
"Hentikan...!"
Trek!
Mendadak terdengar bentakan nyaring. Dan cepat sekali pemuda itu menghentikan serangan, dan kembali menyarungkan pedang. Lalu kepalanya menoleh ke kanan. Di situ telah berdiri tegak seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Kepalanya yang lonjong ditumbuhi rambut tipis dan telah ubanan. Tubuhnya agak kurus dan sedikit bungkuk. Wajahnya kasar kehitaman dengan beberapa luka kecil menghiasi. Ketika tertawa lebar, sebuah gigi depan bagian atas telah tanggal.
"Hehehe...! Tidak kusangka kau cukup tangguh, Bocah. Hm... Aku Wiroto Sangkar, Pemimpin Kawanan Memedi Jalang. Kau telah membunuh Carok Singo. Sehingga aku merasa kehilangan dia. Padahal Carok Singo amat membantuku. Tapi aku akan merasa senang bila kau sudi menggantikan kedudukannya...!"
"Maaf, aku sama sekali tidak berminat!" sahut pemuda itu tegas.
"Hahaha...! Jangan dulu cepat-cepat memutuskan begitu. Tidakkah kau tahu kalau kami memiliki harta-harta yang banyak luar biasa? Dengan itu, segalanya bisa didapat. Coba pertimbangkan lagi baik-baik. Sebagai tangan kananku, maka keadaanmu akan berubah. Kau akan mendapatkan bagian Carok Singo, ditambah hasil hasil lain yang nanti akan diperoleh...!" bujuk laki-laki yang mengaku bernama Wiroto Sangkar.
Pemuda itu memandang tajam. Sama sekali bibirnya tidak terlihat menyunggingkan senyum. "Maaf... Sekali lagi kukatakan, aku tidak tertarik tawaranmu! Suruh anak buahmu menyingkir!" sahut pemuda itu. Kali ini dengan nada yang lebih tegas.
Mendengar jawaban itu, wajah Wiroto Sangkar langsung berubah. Senyumnya yang manis, seketika hilang. Dan kini berganti dengusan sinis. Tangan kanannya makin mencengkeram kuat goloknya, pertanda hatinya amat kecewa dan geram.
"Anak muda! Tak ada seorang pun yang boleh menolak keinginan Wiroto Sangkar! Siapa yang berani, dia harus mati. Tidak terkecuali siapa pun orangnya. Apalagi, bagi pembunuh anak buahku...!" Wiroto Sangkar mendengus geram. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya langsung melompat menendang lawan.
"Hiiih!" Golok Wiroto Sangkar berkelebat cepat, menyambar leher dan pinggang. Kemudian dengan cepat menusuk ke arah jantung. Langsung hendak merobek perut pemuda itu. Namun pemuda bermata sipit ini ternyata bukanlah orang sembarangan. Bahkan dia mampu menghindar dengan mudah. Gerakannya gesit dan cepat, meski kelihatannya amat sederhana.
"Huh!"
Trek!
"Hiyaaa!"
Ibu jari tangan kanan pemuda itu tiba-tiba menyentil batang pedang. Kemudian cepat sekali pedang panjangnya keluar dari warangka, lalu secepat kilat menyambar ke arah laki-laki setengah baya itu.
Sret!
"Aaa...!" Wiroto Sangkar langsung memekik keras. Tubuhnya terjungkal roboh. Dia menggelepar sesaat, kemudian diam tak berkutik. Pada dahi hingga ke bibir, darah memancur deras dari luka babatan pedang pemuda itu.
Pemuda itu mendengus sinis, dan sama sekali tidak mempedulikan mayat Wiroto Sangkar serta anak buah kawanan yang memandangnya dengan wajah kecut. Nyali mereka ciut. Tak ada seorang pun yang berani menghalangi, ketika pemuda itu meninggalkan tempat ini dengan langkah tenang.***
Lembah Sangir berada di kaki sebuah pegunungan yang membentang dari barat ke timur. Daerahnya subur berudara segar. Di sini bercokol seorang tokoh angkatan tua. Dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai Eyang Tambak Kencana. Bila bicara tentang orang tua itu, maka tidak bisa terlepas dari Padepokan Merak Sakti yang didirikannya beberapa puluh tahun lalu. Padepokan ini maju pesat. Bahkan lebih banyak menelurkan murid yang membawa harum nama padepokan. Sekaligus membuat nama Eyang Tambak Kencana disegani kalangan persilatan. Sejauh ini hal itu memang terbukti. Sebab tak ada seorang pun di kalangan dunia persilatan yang tidak mengenalnya. Kebanyakan dari mereka akan berpikir seribu kali untuk membuat urusan terhadapnya.
Siang ini, orang tua itu terlihat tengah berkumpul di halaman belakang bersama beberapa orang murid serta keluarga terdekatnya. Mereka mengelilingi sebuah meja besar, berbentuk lingkaran. Di kanan dan kiri terdapat beberapa buah pohon besar yang berdaun lebat. Sehingga meski udara panas sekalipun, suasana di tempat itu tetap saja sejuk. Terlebih pemandangannya amat indah. Sehingga membuat mata yang memandang tidak terasa lelah. Tidak jauh di dekatnya, terlihat sebuah kolam yang cukup luas berair bening dengan bunga-bunga teratai yang tengah mekar berwarna merah dan putih. Kemudian jauh di depannya, terlihat barisan gunung dan perbukitan berwarna biru gelap.
Orang tua berusia tujuh puluh lima tahun itu menyeruput teh di cangkirnya, kemudian meletakkannya perlahan. Lalu bibirnya tersenyum seraya memandang laki-laki tinggi yang ada di hadapannya.
"Apakah sudah keras betul niatmu meninggalkan tempat ini, Danu Umbara?" tanya Eyang Tambak Kencana.
"Aku memikirkan masa depan Selasih, Ayah...," sahut laki-laki setengah baya berperawakan tinggi besar bernama Danu Umbara.
"Apakah kau pun senang mengikuti ayahmu, Selasih?" lanjut orang tua itu pada gadis manis berbaju merah jambu yang duduk di sebelah Ki Danu Umbara.
"Entahlah. Eyang. Aku masih suka disini. Tapi..., aku juga tidak mau jauh dari ibu...?"
Eyang Tambak Kencana tersenyum kecil mendengar jawaban gadis yang dipanggil Selasih itu. "Aku tidak menyalahkan. Sebab keinginan orang tuamu baik. Mereka ingin pindah ke kota yang lebih ramai untuk berdagang. Dengan demikian, mereka berharap masa depanmu pun bisa lebih baik ketimbang di sini...."
"Tapi Ayah. Aku masih suka di sini...!" ujar Selasih dengan nada manja, setelah menoleh pada ayahnya, Danu Umbara.
"Apakah kau tidak kasihan pada lbumu? Dia tentu akan kesepian bila kau tak berada di sampingnya," bujuk Ki Danu Umbara.
"Kenapa ibu tidak di sini saja? Ayah berangkat lebih dulu. Kemudian setelah usaha Ayah berhasil, jemputlah kami!" usul Selasih.
"Hm... Kurasa usul Selasih itu baik. Kau berusaha dulu di kota. Dan bila berhasil, bawalah istri dan anakmu. Dengan demikian, mereka tidak akan telantar...!" sambung Eyang Tambak Kencana.
"Baiklah. Akan kubicarakan hal ini pada Laksmi...," sahut Ki Danu Umbara pendek.
"Ibu pasti setuju dengan usul itu!" seru Selasih, girang.
"Ya, mudah-mudahan saja ibumu setuju...," lanjut Ki Danu Umbara.
Pada saat itu seorang murid padepokan menghampiri dengan langkah tergopoh-gopoh. Setelah memberi salam hormat, diangsurkannya sepucuk surat kepada Ketua Padepokan Merak Sakti.
"Dari siapa?" tanya Eyang Tambak Kencana
"Entahlah, Guru. Aku tidak mengetahuinya. Sepertinya, pemuda itu orang asing. Cara berpakaian dan bentuk wajah serta kulitnya, berbeda dengan kebanyakan pemuda di negeri ini," jelas sang murid.
Eyang Tambak Kencana hanya bergumam pendek, kemudian membuka lembaran kertas kuning itu.Kepada Tambak Kencana, Ketua Padepokan Merak Sakti. Aku mengajukan tantangan duel sore nanti, di sebelah selatan kaki pegunungan.
Akira Yamamoto, Pendekar Pedang BayanganDahi orang tua itu berkerut setelah membaca isi surat yang singkat, namun cukup mengejutkannya. Wajahnya seketika berubah. Sehingga menimbulkan keheranan mereka yang berada di tempat ini.
Selasih menarik surat yang berada di tangan kakeknya, lalu membacanya. Wajah gadis itu pun tampak berkerut campur gemas. Kemudian Ki Danu Umbara, serta yang lainnya bergilir membacanya. Wajah mereka tampak heran menandakan kebingungan yang sama.
"Akira Yamamoto? Siapa orang itu? Apakah Ayah pernah mengenalnya? Dan apakah Ayah mempunyai urusan dengannya?" tanya Ki Danu Umbara.
"Tidak. Baru sekali ini kukenal namanya. Aku sama sekali tidak pernah mengenalnya...," desah Eyang Tambak Kencana, menggeleng lemah.
"Kalau begitu Eyang tidak perlu datang! Ini pekerjaan orang sinting yang mau mencari gara-gara. Eyang tidak perlu meladeninya!" ujar Selasih kesal.
"Betul, Guru! Kita tidak perlu meladeni orang ini. Mungkin dia orang sinting yang ingin mencari ketenaran belaka," timpal seorang murid yang berada di dekatnya.
"Entahlah. Kita lihat saja, apa yang dimaui orang itu sebenarnya padaku ," sahut Eyang Tambak Kencana, pelan seraya menghela napas panjang.***

KAMU SEDANG MEMBACA
151. Pendekar Rajawali Sakti : Pendekar Pedang Bayangan
ActionSerial ke 151. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.