BAGIAN 2

250 14 0
                                    

Senja baru saja berlalu. Lampu-lampu minyak dan obor yang menerangi halaman sekitar Padepokan Merak Sakti telah menyala. Sesekali nyala apinya bergoyang tertiup angin. Dan pada saat itu, beberapa ekor kelelawar terbang mengagetkan dengan terburu-buru keluar dari sarangnya.
Eyang Tambak Kencana duduk bersila dalam ruangannya. Kedua matanya terpejam dengan kedua tangan bertumpu pada kedua lutut yang bersila di lantai. Orang tua itu mengatur napas. Tidak terlihat gerakan di kedua bahunya, pertanda pernapasannya teratur dan halus sekali. Cukup lama dia bersemadi dengan memusatkan pikiran pada satu titik. Seluruh jiwa dan pikirannya, kini bersatu dengan Sang Pencipta Alam. Tak ada lagi hal-hal keduniawian. Termasuk persoalan yang tadi sore sempat mengisi benaknya.
Sementara itu di luar sana, seorang pemuda berjalan pelan mendekati pintu gerbang rumah padepokan ini dengan kedua tangan bersedakep. Tangan kanannya menggenggam sebilah pedang panjang bersarung warna hitam. Pedang itu kelihatan biasa saja, dengan warangka sampai pada barang berbentuk polos. Hanya saja, pedang itu sedikit kecil dan lebih panjang dari ukuran pedang yang umum dipakai.
"Berhenti! Kisanak telah memasuki Padepokan Merak Sakti. Sebutkan nama, dari mana, dan urusan apa datang ke sini!" cegat salah seorang murid padepokan, langsung menghadang didepan pemuda berbaju hitam dengan rambut panjang dikuncir itu.
"Aku Akira Yamamoto! Gurumu tahu, aku datang untuk apa," sahut pemuda itu dingin.
"Maaf, Kisanak. Kau harus menunggu. Kawanku akan menanyakan lebih dulu pada Guru," sahut sang murid. Segera diberinya isyarat pada kawannya yang berada tidak jauh dari situ.
Murid itu menoleh begitu kawannya berlari-lari kecil ke dalam. Namun ketika berpaling kembali, bola matanya mencari-cari ke sekitar tempat ini dengan wajah bingung. Kakinya melangkah ke depan, lalu kembali mencari-cari di sekitarnya dengan lebih teliti. Namun yang dicari tidak juga ditemukan. Pemuda bermata sipit tadi hilang seperti ditelan bumi!
Sementara itu Eyang Tambak Kencana langsung bangkit begitu mendengar nama yang disebutkan muridnya dari luar kamar. Bergegas dia keluar, setelah membuka pintu. Empat orang muridnya langsung memberi hormat. Salah seorang kemudian maju mendekat.
"Pemuda itu mengaku bernama Akira Yamamoto...?" tanya Eyang Tambak Kencana, seperti ingin meyakinkan.
"Betul, Guru...!"
"Hm, baiklah. Suruh dia masuk!"
"Kau tidak perlu menyuruhku. Aku telah menunggumu disini!" sahut satu suara menyahuti.
Eyang Tambak Kencana kaget. Demikian pula keempat muridnya. Orang tua itu mengintip lewat tirai yang berada di teras kamar ini. Dan dihalaman depan terlihat seorang pemuda berbaju hitam membelakanginya! Orang tua ini menghela napas panjang.
"Bawakan pedang pusaka. Dan temui aku dibawah!" ujar Eyang Tambak Kencana pendek.
"Apakah Guru menyambut tantangannya!" tanya seorang muridnya khawatir.
"Tidak ada pilihan lain...."
"Guru, dia hanya orang yang ugal-ugalan! Kau tidak perlu meladeninya," timpal muridnya yang seorang lagi.
Eyang Tambak Kencana menoleh dan memandang tajam kepadanya. "Dia bukan pemuda ugal-ugalan. Aku pernah mendengar kejadian yang seperti ini...," sahut orang tua itu tenang.
"Maksud, Guru?"
"Pemuda itu berasal dari sebuah negeri yang jauh. Orang-orang menyebutnya dengan negeri Matahari Terbit. Mereka memiliki ilmu bela diri yang hebat, dan selalu merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki. Beberapa orang malah mengembara ke negeri-negeri yang terkenal akan keahliannya dalam ilmu olah kanuragan. Mereka mendatanginya, lalu mengajaknya bertarung sampai salah seorang tewas. Pertandingan ini jujur, dan tak ada unsur-unsur lain..." jelas Eyang Tambak Kencana secara singkat.
"Jadi..., dia menginginkan pertarungan hidup dan mati?" tanya salah seorang muridnya dengan nada hati-hati.
Orang tua itu mengangguk.
"Apakah kira-kira Guru mampu mengalahkannya...?"
"Entahlah. Pendekar-pendekar dari negeri Matahari Terbit terkenal hebat. Terutama ilmu pukulan dan permainan pedang mereka yang aneh!"
"Apakah tidak ada cara lain untuk membatalkan pertarungan ini, Guru?"
"Apakah kau ingin gurumu dianggap pengecut oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, Pijan?" sahut Eyang Tambak Kencana disertai senyum.
Murid yang dipanggil Pijan terdiam seraya menunduk lesu mendengar kata-kata gurunya.
"Maukah kalian mendengar pesan-pesanku?"
"Pesan apa, Guru?" sahut mereka saling menimpali.
"Danu Umbara agaknya tidak berminat menggantikanku. Menantuku itu keras betul niatnya untuk berniaga. Maka kau, Pijan. Sebagai murid tertua, kuangkat menjadi penggantiku bila aku tewas di tangan pemuda itu. Pimpinlah murid-murid dengan baik. Dan jangan mendendam pada pemuda itu!"
"Guru...?!"
Wajan keempat murid itu tersentak kaget. Tapi Eyang Tambak Kencana tidak mempedulikannya. Dan dia langsung berlalu dari tempat ini dengan langkah panjang sambil mengingatkan salah seorang muridnya.
"Jangan lupa! Cepat bawakan pedang pusaka. Dan temui aku di bawah sana!"

151. Pendekar Rajawali Sakti : Pendekar Pedang BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang