22. KALA TUHAN BELUM MAU BERHENTI BERCANDA

4.9K 504 83
                                    

Malam, Dears! ^^

Seneng enggak ketemu Hara lagi?
Hara rajin ya sekarang.
Makanya, share cerita ini ke teman-teman kalian.

Semakin banyak respon pembaca, Hara semakin rajin enggak ketulungan. Kalau sepi, entar tunda updatenya sampai tahun depan. Whohohoho

Kemarin yang kangen Evan, cung!

Jangan lupa vote sebelum baca,
Dan komentar di akhir cerita!

So, here we are ...

Happy reading!

***

Bagi Aira, kiamat yang terjadi terlalu cepat dalam dunianya. Tak perlu menunggu hari Jum'at di tahun sekian. Kenyataan yang ada, kiamat itu hanya membutuhkan waktu semalam.

Aira tidak ingin cepat menarik kesimpulan. Akan tetapi, indera pendengarannya belum tuli dan otaknya belum idiot untuk mengolah semua hal yang baru saja dia dengar. Jika hipotesisnya salah, mana mungkin wanita di dalam sana malah meminta pertanggungjawaban Ardi.

Apakah ada sesuatu yang telah Aira lewatkan selama ini? Ya, bisa jadi demikian.

Tumit Aira berputar berbalik arah. Untung saja, tidak ada siapapun di koridor yang mendapati dirinya selepas menguping. Otaknya sibuk dipenuhi kalimat tanya tentang kapan, di mana, dan siapa.

Langkahnya melambat seolah-olah dia sedang berlagak dewasa untuk tak segera berlari dan menngis layaknya dia yang dulu. Tenang, dirinya begitu tenang meskipun sorot matanya telah berubah nanar.

"Lho, Aira? Sudah selesai ketemu Ardi? Kok cepat?" Tanpa sengaja, Aira kembali berpapasan dengan Bu Yasmin.

Aira menarik sudut-sudut bibirnya agar terangkat naik. Walaupun terasa sulit, dia berhasil melakukannya. Berbanding terbalik dengan tangannya yang menggenggam erat kantung plastik yang dia bawa.

"Belum, Bu. Tadi saya sempat bertemu perawat lain. Katanya Mas Ardi masih ada tamu. Karena itu, saya mau balik pulang aja daripada mengganggu," dusta Aira lancar.

"Tidak mau menunggu? Sebentar lagi pasti-"

"Tidak usah, Bu. Lagi pula, Kakak saya meminta saya untuk ke rumahnya siang ini. Saya ...." Aira mengerjap pelan, menghalau kabut bening di mata dan nada suaranya yang hampir bergetar. "Saya boleh titip ini saja buat Mas Ardi, Bu?" sambung Aira usai berdeham dan memasang senyum palsunya lagi. Dia mengulurkan kantung plastik berisi tiga slice tiramisu itu ke arah Bu Yasmin.

Bu Yasmin menerima menerimanya sembari berujar, "Baik, nanti Ibu sampaikan ke Dokter Ardi. Salam buat Kakakmu ya, Aira."

"Terima kasih, Bu. Saya pamit dulu." Setelah itu, Aira berjalan keluar.

Tepat setelah kakinya menginjak pelataran luar, taman rumah sakit sebelum gerbang, Aira hampir limbung jika tidak sempat berpegangan pada salah satu kursi besi. Kakinya gemetar selaras dengan ujung-ujung jarinya yang tremor.

Akhirnya, dia memutuskan untuk duduk sebentar. Dia berusaha memesan taksi meskipun beberapa kali ibu jarinya gagal mengakses layar ponsel yang diamankan dengan akses sidik jari. Bagaimana tidak, keringat dingin tak henti mengucur dari pori-pori tubuhnya.

Dia menerapkan latihan pernapasan untuk meraih ketenangan. Dia tidak bisa kembali dalam keadaan kacau. Sudah cukup Aira membuat seluruh keluarganya khawatir kala gila dulu. Sekarang, dia tak ingin mengulang masa-masa kelam itu walaupun kenyataannya hidupnya memang tak pernah bisa terlepas dari kepiluan.

TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang