Seorang gadis remaja tengah berlari melintasi koridor kastil yang panjang dan tak berujung. Ia terus berlari hingga langkahnya berhenti di depan sebuah ruangan berpintu hitam. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya kuat-kuat. Ia memasang raut wajah ceria dengan senyum lebar lalu membuka pintu.
"Ibuuuuu!!! Aku pulang."
Gadis itu berlari riang menghampiri ibunya, seorang wanita yang tengah terbaring lemah di atas ranjang. Gadis itu duduk di kursi dekat ranjang lalu memeluk tangan ibunya. Ibunya tersenyum lemah.
"Selamat datang! Bagaimana di sekolah?" tanya ibunya.
"Seperti biasa, menyenangkan sekali. Aku mendapat nilai sempurna di pelajaran sejarah. Aku hebat, kan?" ujar gadis itu bangga.
Ibunya membelai kepala gadis itu. Ia tersenyum bangga melihat putri kecilnya tumbuh dengan begitu ceria dan bahagia.
"Shalona kecil ibu memang sangat hebat!" ujar ibunya.
"Aku sudah 15 tahun, bu. Aku sudah besar. Aku akan segera tumbuh lebih besar supaya bisa menjaga ibu, tunggu aku jadi lebih besar."
"Baik, ibu akan menunggu saat itu terjadi."
Sayangnya, ucapan ibunya itu, tak akan pernah bisa terwujud. Setelah tersiksa selama bertahun-tahun oleh rasa sakit yang tak terbendung, akhirnya malam itu, ibunya menghembuskan napas terakhir.
Shalona yang baru berusia 15 tahun, kini harus hidup sebatang kara. Tak ada seorangpun yang datang bahkan setelah mendengar berita kematian ibunya. Shalona yang masih membutuhkan sosok orangtua, harus melewati proses pemakaman sendirian tanpa bantuan saudara ataupun kerabat. Hanya ada beberapa pelayan kastil yang membantunya menyiapkan upacara pemakaman.
Ia berdiri di depan nisan ibunya sembari membawa setangkai bunga lili putih. Tak setetes air mata pun meluncur di wajahnya. Bahkan ketika langit menangis dan menghujani makam yang masih basah itupun, Shalona tak bergeming. Wajahnya nampak keras dan tegas seolah tak merasakan apa-apa.
"Nona, mari kembali ke kastil. Jangan berdiri diam disini atau nona akan jatuh sakit. Pelayan ini memohon agar nona mau kembali ke kastil." ujar seorang pelayan wanita bernama Debora yang tengah memegangi payung.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Shalona beranjak pergi meninggalkan makam ibunya dengan diikuti oleh Debora.
_*_
Keesokan harinya.
"Nona, sarapan sudah siap." ujar Barnard, seorang kepala pelayan, sembari mengetuk pintu.
Tak lama, pintu terbuka dan Shalona keluar dengan raut wajah yang lelah. Ia langsung pergi menuju ruang makan. Barnard mengikutinya. Shalona duduk di kursi yang biasa ia duduki. Ia melirik kursi utama yang biasa diduduki oleh ibunya. Kursi itu harusnya diduduki oleh kepala keluarga, yaitu ayahnya. Tapi ayahnya pergi meninggalkan kastil itu bertahun-tahun lalu saat Shalona masih sangat kecil dan tak pernah kembali. Hal itu membuat ibunya harus menggantikan peran ayahnya sebagai kepala keluarga.
Shalona menyantap makanannya dalam diam. Ia dengan cepat menghabiskan makanan yang disajikan dan kembali ke kamarnya.
"Bukankah itu aneh kalau nona Shalona tak menangis sama sekali?" tanya seorang pelayan bernama Elen kepada pelayan lain sambil berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duchess, A Soul Whisper
FantasySeorang gadis remaja yang baru saja kehilangan ibunya akibat penyakit aneh yang tak bisa disembuhkan, berjuang seorang diri demi mempertahankan kastil tempat tinggalnya, sekaligus mencari jawaban atas kemampuan tak biasanya. Dalam upayanya mencari k...