Mungkin Ini Jalan Keluarnya

2.5K 389 31
                                    

Semoga masih ada yang mau baca. Hehehe.

======

"Tarifku dikategorikan tarif model, Mas," ujar Disti, mencoba meyakinkan Yasa yang tampak meragukan kata-katanya. Ekspresi pria itu jelas menunjukkan ketidakpercayaan.

Sejak pertama kali bekerja di tempat karaoke itu, Disti memang sudah dikategorikan sebagai "model" oleh manajemen. Meskipun ia tidak pernah melenggang di atas catwalk, difoto oleh fotografer profesional, atau mengenyam pendidikan modeling, tubuhnya yang tinggi semampai dan wajah ayunya telah menjadi daya tarik tersendiri. Disti adalah magnet perhatian di tempat tersebut. Baginya, "status model" hanyalah formalitas. Yang mereka cari di tempat hiburan itu hanyalah wanita-wanita cantik yang bersedia menemani tamu-tamu kaya yang ingin bersantai.

"Whatever. Kita keluar sekarang." Yasa berdiri, mengabaikan sekelilingnya, lalu berjalan menuju pintu tanpa menunggu.

Disti hanya bisa mengikuti langkahnya, merasa tak berdaya. Saat Yasa keluar ruangan, salah satu rekannya berseru, "Have fun, Yas!" Sayangnya, Yasa sama sekali tidak menggubris.

Yasa melangkah ke arah kasir dengan penuh percaya diri, langkahnya tenang tapi berkesan arogan. Di sana, ia menggesek black card-nya untuk membayar sejumlah besar voucher tanpa ragu. Dari cara Yasa bersikap, terlihat jelas bahwa uang bukanlah masalah baginya.

Sementara itu, Disti menelan ludah dengan gugup. Selama ia bekerja di tempat itu, baru kali ini ia bersedia di-booking. Jika saja bukan Yasa yang datang malam ini, Disti mungkin tidak akan pernah setuju. Ia tahu siapa Yasa Mahanta Wijaya. Pertemuan mereka saat pemakaman Varen dan perebutan hak asuh Arjuna sudah cukup menjadi pelajaran. Yasa bukan orang yang suka main-main dan Disti tidak berani mengambil risiko kehilangan satu-satunya pekerjaan yang bisa ia dapatkan.

***

Mobil SUV hitam yang dikemudikan Yasa berhenti di ujung gang rumah kontrakan Disti. Tanpa menoleh, Yasa menatap lurus ke depan dan bertanya, "Kamu masih tinggal di sini?"

Disti mengangguk, tapi menyadari Yasa tak melihat anggukkannya, ia menjawab pelan, "Iya, Mas."

Keheningan menggantung di antara mereka, sebelum akhirnya Yasa membuka suara lagi, kali ini nada suaranya terdengar dingin. "Sudah lama kamu kerja di tempat karaoke itu? Kenapa kamu tidak mencari pekerjaan yang lebih baik? Apa karena gajinya lebih besar dibandingkan dengan tempat yang layak untuk kerja?"

Setiap kata yang keluar dari mulut Yasa seperti duri yang menusuk hati Disti. Pertanyaan-pertanyaan itu, yang terasa begitu merendahkan, membuat dadanya sesak. Namun, Disti tetap berusaha menahan diri.

"Apakah pekerjaanku begitu hina sampai Mas harus bertanya seperti itu?" Disti akhirnya membalas, mencoba menyembunyikan kepedihannya di balik nada tenang.

Yasa masih menatap jalanan gelap di depan mereka, rahangnya mengeras. "Aku nggak akan bilang pekerjaan kamu hina kalau saja kamu tadi nggak menerima voucher booking-an itu," jawabnya tanpa menoleh, suaranya rendah tapi penuh tekanan.

Andaikan aku punya pilihan. Disti terdiam, rasa sakit merayap di dadanya. Selama ini, ia sudah berusaha keras untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya menjahit. Namun, takdir seolah tak berpihak. Sepeda motor peninggalan Varen pun sudah ia jual untuk menutup biaya hidup dan ongkos mencari pekerjaan. Sayangnya, di dunia yang lebih mengutamakan koneksi dan pengaruh, menemukan pekerjaan layak terasa nyaris mustahil.

Seorang teman akhirnya mengenalkan Disti pada pekerjaan di tempat karaoke itu. Pekerjaan tersebut tak pernah ia inginkan, tapi setidaknya memberi harapan agar bisa terus menyambung hidup.

Segetir RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang