"Eh, ini Jess ya?" sapa seorang ibu yang umurnya masuk kepala 4 dengan dandanan yang sangat anggun. Balutan dress berwarna maroon sangat membuatnya elegan. Ditambah lagi dengan warna bibirnya yang merah menyala.
"Oh, iya tante. Panggil saja Kia," jawab gadis SMA yang turut hadir dalam acara kumpul keluarga setiap tanggal 9 September. Tanggal itu adalah tanggal bersejarah, yaitu bertepatan pada tanggal pernikahan oma Ningrum dan opa Mex—orang tua dari nenek Kia. Pertemuan tersebut untuk menjaga tali silaturahmi antar saudara sebab mereka semua hidup berpencar di beberapa belahan dunia.
"Siapa sih namanya? Tante sampai lupa. Hehehe," tanya tante itu dengan tawa kecilnya.
"Jesskia Dealov," sahut Selly Dealov—mama dari Kia.
"Selly ya? Ya ampun. Awet muda banget," jawab tante itu yang seumuran dengan mama Selly.
"Bisa aja sih. Mbak Winda juga awet muda banget. Umurnya masih kayak ABG aja." ujar mama Selly saling melempar pujian.
Kia hanya mendengarkan dua ibu ibu itu yang sedang berbincang. Sebenarnya Kia senang dengan pertemuan ini. Namun ia sedikit bosan sebab banyak sepupunya yang tidak kenal dengannya dan malah sibuk dengan ponselnya sendiri. Padahal masih generasi ke-4. Bagaimana kalau sudah generasi ke-7. Tapi mana mungkin acara rutinan ini bisa sampai ke generasi ke-7. Generasi ke-4 saja sudah seperti orang asing.
"Eh ini anak gadisnya udah punya pacar belum?" tanya tante Winda.
"Belum Tante," jawab Kia dengan senyuman.
"Waduh. Cepetan cari pacar. Kamu sudah SMA kan? Udah di masa terakhir sekolah lo. Harus dinikmatin." Ujarnya dengan sedikit tawa mengejek.
"Maaf, Tante. Saya sedikit kurang setuju dari pendapat Tante. Memang benar, masa SMA adalah masa terakhir sekolah 'wajib' dan harus dinikmati. Tapi menurut saya, ini adalah titik di mana saya harus memulai lebih giat untuk mewujudkan mimpi saya. Masih ada perjalanan setelah saya sekolah. Kalau saya menghabiskan waktu SMA saya untuk bersenang-senang dengan berpacaran, maka apa untungnya saya nanti di kedepannya? Tiga tahun itu akan sia-sia, Tante," ujar Kia membela dirinya.
"Bukan seperti itu, Kia. Maksud Tante, apa kamu gak berniat mencari pacar seperti anak anak lainnya? Takutnya kamu kuper atau bagaimana. Tante cuma mau yang terbaik. Dibuat enjoy aja. Kalau kamu mikirin nasib kamu kedepannya, kamu gak usah khawatir. Perusahan keluarga kita itu banyak di seluruh dunia. Kamu tinggal pilih yang mana, beres. Ngapain sih membuang waktu kamu dengan hal yang sudah pasti. Usaha kamu bakalan sia sia. Semuanya sudah diusahakan Oma dan Opa. Kita cuma tinggal menikmati saja. Oma dan Opa itu sayang lo sama kita. Pasti mereka sedih kalau kamu terlalu lelah berusaha," balas tante Winda tak mau kalah. Semua pasang mata mulai menatap mereka bertiga
"Iya, Tante. Tapi apakah Oma dan Opa akan baik baik saja kalau perusahan yang dibangunnya suatu saat nanti tidak berjalan sesuai yang mereka harapkan? Akankah mereka bangga dengan pemimpin yang kurang kompeten? Akankah perusahaan yang telah dibangun Oma dan Opa bisa berjaya selamanya? Menurut saya, kita sebagi para generasi penerusnya harus tetap berusaha menjaga keharmonisan perusahaan dan kekeluargaan. Kalau dibuat enjoy saja bisa-bisa mereka lalai. Dan harapan Oma Opa akan sia sia, Tante. Jadi, saya dan para sepupu saya yang ada di sini harus bisa memprioritaskan pendidikan dari pada hal yang kurang penting. Ini demi kedepannya, Tante." Ucap Kia dengan lancar tanpa rasa takut.
"Jadi menurut kamu, sepupumu yang pacaran ini salah?" tanya tante Winda dengan nada yang lebih ditinggikan.
"Tidak, Tante. Itu pilihan mereka. Saya tidak bisa menyalahkan. Saya hanya mengingatkan agar lebih memprioritaskan pendidikan untuk masa depan, Tante." Jawab Kia dengan senyuman lagi.