Tak ada yang seindah matamu
Hanya rembulan
Tak ada yang selembut sikapmu
Hanya lautanTak tergantikan oh ...
Walau kita
Tak lagi saling
Menyapa ...—
Kunto Aji
🍂🍂🍂
Aku kembali mengingat kenangan kita yang terukir dua tahun yang lalu. Sudah lama sekali rasanya kamu tidak ada di dunia ini. Sudah lama sekali rasanya, canda tawamu yang renyah tak menyapa telingaku yang sudah menutup untuk mendengar tawa dari orang lain.
Sudah lama sekali tak kulihat senyummu di mataku yang sudah kututup untuk melihat senyum manis orang lain.
Sudah lama sekali bibirku terkatup rapat karena tak ada dirimu untuk menemaniku mengobrol sepanjang waktu, hingga kadang kita lupa. Bahwa salah satu dari kita harus usai terlebih dahulu.
Meski kadang di lembar-lembar foto yang kutempel di dinding kamarku masih bisa menampakkan senyummu. Masih bisa menangkap tawamu. Masih bisa menangkap figurmu yang begitu sabar menghadapiku.
Tapi, lagi-lagi itu hanya kertas bergambar yang tak bernyawa. Terkadang ingin sekali kurobek atau kusembunyikan di suatu tempat. Agar tak dipandang oleh mataku yang langsung berkaca-kaca.
Sebab perih sekali rasanya terus-menerus melihatmu tersenyum di gambar itu. Sedangkan kamu sudah tidak ada lagi di sisiku.
“Ayo move on! Raka pasti gak mau liat kamu sedih, Ray!” kata teman perempuanku setiap saat melihatku hanya melamun menatap figura dirimu di sebuah pas foto ukuran 4×2.
“Gue gak mau move on!” balasku ketika ia terus saja menyuruhku melakukan hal paling mustahil yang bisa kulakukan.
Bagaimana mungkin, aku bisa secepat itu melupakan tujuh tahun kebersamaan kita? Bagaimana mungkin, aku bisa secepat itu lupa, lupa akan janjimu untuk pulang?
Tujuh tahun lalu kita bertemu, di bawah pohon sakura—katamu—padahal cuma pohon kamboja berwarna merah muda.
Di bawah sana, dengan begitu romantisnya, kamu langsung memetik beberapa tangkai bunga sakura bohongan tersebut, lantas berlutut di depanku.
Masih kuingat sekali setiap deret kalimatmu dulu. “Aku tau kita masih anak-anak. Tapi, boleh aku tunjukin dari sekarang, tentang seberapa besarnya rasa sayang dan cintaku ke kamu? Aku gak tau, sejak pertama kali lihat kamu, aku udah jatuh sejatuh-jatuhnya. Aneh, 'kan? Padahal kita baru bertemu satu Minggu yang lalu. Tapi, apa lamanya pertemuan bisa mengatur perasaan yang nyatanya fitrah dalam diri seseorang?”
“Tentu tidak, 'kan? Jadi, biarkan mulai saat ini. Aku menjadi pangeran kuda putih—meskipun aku gak punya kuda. Bagi putri di depanku ini. Dan biarkan aku menjadi romeo yang akan mencintai Julietnya hingga akhir hayat. Menjadi gula di kopimu yang pahit. Dan menjadi penyembuh di setiap rasa sakit yang kamu rasakan.”
Kamu masih mengatakannya sembari berlutut di hadapanku. Tak peduli pandangan orang-orang sekitar yang menatap aneh pada bocah kelas dua SMP yang terlihat begitu lebay di bawah pohon sakura yang rindang.
Kata ibuku, aku butuh seorang terapi. Untuk bisa membuat senyumku kembali lagi. Tapi, nyatanya, aku cuma butuh kamu yang kembali. Senyumku. Seluruh hidupku.
Aku cuma butuh kamu menepati janji, janjimu untuk pulang dan menemani sepiku lagi di sini.
Kulirik jam dinding yang tak hentinya berdetak di dinding kamarku. Dua jam lamanya aku hanya meratapi kenangan-kenangan kita yang beterbangan di kepalaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/244305700-288-k157149.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Masih Banyak Belum Sempat #1 || On-going
Novela JuvenilKamu bilang, besok kamu akan pulang. Awalnya kubahagia. Tapi, rupanya kamu memang benar-benar pulang. Pulang jauh ke sisi-Nya. Padahal masih banyak yang belum sempat kusampaikan. Masih banyak yang belum sempat kukatakan. Masih banyak yang belum se...