Pain•1

7 9 4
                                    

Kita adalah pelaku yang kerap merasa menjadi korban.

-pain

🌞

”What the f*ck! Seriusan? Lo di putusin sama si anj*ng?”

Yang ditanya hanya memutar bola mata malas, mengangkat bahu tak acuh, sesekali menyeruput minuman berwarna hijau pekat yang tersedia di depannya. Setelah merasa telinganya tidak akan baik-baik saja jika terus-terusan mendengar umpatan-umpatan yang tak ada manfaatnya, dia beralih berbicara.

”Udahlah bukannya lo seneng kalau gue putus sama dia?” melihat gadis seumuran di depannya tampak terkejut dia menyambung ”Gue mau balik” ucap gadis berkacamata itu sambil menenteng tas selempangnya.

”Tapi, gu--e”

Dia meninggalkan perempuan yang telah dianggapnya sahabat, sahabat macam apa yang menikung? Berkedok seolah-olah tidak tahu. Tapi bermesaraan bersama pacarnya di belakangnya. Kali ini dia membenarkan kata orang, terkadang musuhmu adalah orang terdekatmu.

Hari ini dia kehilangan satu sosok lagi.

Menghembuskan napas berat, bersandar di kursi kemudi, kepalanya berasa ingin pecah seketika. Kedewasaan akan memaksa seseorang menghadapi permasalahan-permasalahan hidup yang kian semakin terasa bajingan.

Dia ingin menjadi anak-anak saja. Tidak perlu merasakan sakit, hanya kesenangan yang ada. Membayangkan itu, bukankah dia  sama dengan orang tolol? Bahkan dapat di cap sebagai orang yang tak pandai bersyukur.

Setelah merasa baikan, dia melajukan mobil miliknya ke arah apartemennya. Menurunkan kaca setelah tiba di pintu gerbang apartemen. Sekadar untuk menyapa satpam yang sudah sudi membukakan pagar untuknya, terlebih dia sudah akrab tentunya.

”Baru pulang toh mbak? Tadi ada yang nyariin.” Ucap pak Maman salah satu satpam penjaga gerbang.

Alisnya bertaut mendengarnya, ”Siapa pak?” tanyanya.

”Saya juga ndak tau toh mbak, tapi laki-laki”

Dia ingin sekali tertawa ketika mendengar kata 'toh mbak'  ciri khas seorang pak Maman.

”Oalah yasudah, saya masuk dulu pak” pamitnya, ia hanya tersenyum kala pak Maman mengangkat jempol sambil tersenyum lebar ke arahnya.

Dia memasuki lift, menuju lantai atas dimana kamar dia berada. Badannya terasa sudah dipukuli tapi seingatnya dia tak melakukan hal yang semacam yang dapat membuat tubuh lelah.

Ah masalah hati, selalu meracuni fisik.

”Rasanya lelah sekali” gumamnya sembari membaringkan tubuhnya di kasur yang lumayan luas untuk menampung dirinya sendiri.

Hidup di kota orang, tak ada kenalan yang ada hanyalah orang asing. Bertameng menjadi orang baik agar mendapatkan seorang yang dapat di ajak berbicara. Awalnya dia tak yakin akan melakukan hal yang terasa asing itu, tapi dia sadar sesekali dia harus keluar dari zona nyaman. Dia juga sudah bersusah payah untuk melakukannya. Tapi kekhawatiran itu sirna kala kini dia baik-baik saja dan berhasil melakukannya.

Matanya kini terasa berat, dan semua gelap.

🧡🧡

Di kota yang sama, jelas dengan tempat yang berbeda tentunya, seorang pria tanpa atasan. Menghembuskan napas panjang, entah sudah berapa kali ia melakukan itu.

Duduk di atas ranjang yang kebesaran menatap ke depan, sinar matahari yang kian perlahan menghilang. Hari sudah mau malam, dan dia baru sadar ternyata ada beberapa hal yang tak bisa di selesaikan dalam sehari saja.

Bip bip~

Ia menoleh ke arah benda pipih yang tergeletak di atas nakas, tak berniat mengambil dan hanya menatap tanpa arti. Tak ada rasa penasaran di benaknya. Dia tak ingin di ganggu hari ini.

”Ini ibu, bisakah kau mengangkat telepon dari ibu? Sebentar--” dia mematikan pesan suara otomatis dari ibunya.

Tidak ada pilihan lain kecuali menelpon kembali ibunya, dia tidak mau durhaka. Ini ibunya, meskipun ibunya seperti ibu-ibu lain yang katanya sayang kepada anaknya tetapi malah suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak tetangga. Tapi tak apa memang itulah kenyataan.

Dan hal itu pula yang membuatnya rindu kepada perempuan yang telah melahirkannya. Ocehan-ocehan pagi kala membangunkan putranya, dan ketika bangun di sambut oleh sarapan favoritnya. Bukankah dia termasuk orang beruntung yang pernah merasakan bentuk kasih sayang semacam itu?

Namun kedewasaan merampas semuanya. Memisahkan, di tuntut untuk melakukan hal yang tak biasa, diperkenalkan dengan rasa yang bahkan dia tak patut untuk merasakannya. Di tinggalkan dan meninggalkan, menjadi orang bejat di mata seseorang yang pernah berarti di hidupnya.

Sudahlah, jika membicarakan hal itu tak ada habisnya.

”Halo bu” suaranya serak.

”Kau darimana saja? Nampaknya semakin hari kau semakin lupa pada ibumu sendiri—”

Dia hanya mendengar suara ibunya, toh nanti dia juga akan lelah.

”kau dengar tidak sama apa yang ibu ucapkan?” perempuan kesayangannya itu terdengar kesal, namun dapat membuat sunggingan tipis di bibirnya.

”hm..” gumamnya.

”Astaga! Apa kau benar-benar anakku? Seingatku Sean yang kulahirkan 25 tahun yang lalu orang yang manis dan tak seperti batu ketika diajak berbicara—”

”haha, ini anak mu ibu” katannya di selingi tawa memotong perkataan ibunya. ”Sean Mahardika Alvander anak dari ibu tercantik di dunia Maharatu Alvander dan tuan Josh Alvander, cucu—”

”Cukup hentikan Sean, hahaha kau membuatku geli sekaligus kesal.” Sean merasakan ketenangan hanya karena mendengar suara ibunya.

”Baik-baik ya Sean, sudah dulu. Oh iya kau harus ingat jangan sekali-kali menghiraukan panggilan dari ibumu ini.”

Sean menghela napas, ini sudah kesekian kalinya. Meskipun dia tak sengaja mengabaikan panggilan dari ibunya karena disebabkan oleh kerjaan. Dia hanya mengiyakan dan begitu berulang.

love you soon.”

”too mom.”

Balasnya kemudian mengakhiri telepon.

Dia membaringkan dirinya ke ranjang, rasanya agak mendingan dari yang tadi.

Hari ini cukup dulu.

🌞

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang