6. Pengekang (Najwa)

4.3K 264 28
                                    

Sepanjang jalan, aku masih memasang wajah kesal. Dasar pria pemaksa, menyebalkan sekali berada satu mobil dengan pria dewasa, aku tak tahan dengan sikap meledaknya yang cemburuan.

Demi Tuhan, kami bahkan belum resmi suami istri, tapi dia sudah menggerogoti lingkaranku. Tak bisa kubayangkan, masa muda ku yang indah berganti dengan aku yang suatu hari nanti, menggunakan daster, tidak mengurus diri, dan menghabiskan waktu dengan mengurus anak, iyuh. Benar-benar mimpi buruk.

Usapan tangan kekar Restu terasa di kepala, kemudian suara si posesif kembali terdengar.

"Jangan pasang wajah cemberut gitu, Sayang. Kita ke kantor aku ajah yah."

Aku baru ingin menolak, tapi lelaki itu langsung menancap gas cepat, dan arah ini. Sudah jelas ke kantornya, sialan!

"Aku harus balik ke butik, Mas. Kamu ini, apa-apaan sih."

"Ini juga udah jam 2 kok, biasa kamu jam 4 atau jam 5 udah balik, mending ngadem di kantor aku."

Memutar bola mata, aku mendengus kesal.

"Kamu jangan marah-marah nanti cantiknya hilang."

-

Gedung ini cukup besar dan luas, kesan megah juga terpancar dari gedung kebesaran milik keluarga Pramoedya ini, diam-diam aku menatap sosok pria berjas yang sedang jalan sambil merangkulku ini.

Restu Pramoedya? siapa sih, gak kenal dia. Jauh sebelum dijodohkan dengan pria matang ini, aku sudah cukup mengenal dia dari puluhan bahkan ratusan berita yang kubaca, dia cukup hebat, mampu mensukseskan perusahaan sebagus ini.

"Mengangumiku, Sayang?"

Merona malu, aku memalingkan wajah. Restu menyeringai, menarik tanganku masuk ke dalam ruangannya, seperti aku yang tak peduli, Restu juga mengabaikan tatapan karyawan, bahkan pria itu semakin merapatkan tubuhnya padaku.

Seperti yang kupikirkan, ruangan Restu mewah, elegan namun masih cukup simple dengan warna abu dan putih.

Dia menyuruhku duduk di sofa.

"Kamu mau makan atau minum?"

Aku yang masih sibuk mengagumi pusat kota dari jendela kaca, tak menjawab ucapannya. Berdiri, aku mendekati kaca, merasa mencuci mata lewat pemandangan yang kulihat.

Sepasang tangan kekar melilit pinggangku lembut, dan kembali aku merasakan deru nafas Restu di belakang telinga.

"Kamu bisa datang ke sini, kapanpun kamu mau."

"Bener?" tanyaku semangat.

Restu mengangguk, lalu mengecup puncak kepala aku lembut. Kamu ada perasaan gak sama aku Res? suara hati, hanya kusimpan sendiri karena terlalu gengsi mengatakan.

"Kamu meski pake heels gini, tetep pendek yah."

Restu berkata pelan, lalu terkekeh kecil. Kesal, aku melepaskan pelukannya lalu berkata.

"Bukan aku yang pendek, kamu ajah yang terlalu tinggi."

God, tinggiku itu 155CM, menurutku itu normal meski teman-temanku rerata 160CM+ but cmon, ini sudah gen. Dan aku sangat tidak suka diledek seperti itu.

Aku melangkahkan kaki lalu duduk di sofa, menikmati empuknya sofa ini.

"Sorry, Sayang. I dont mean that."

"Makan."

"Haa?"

Mulut Restu membentuk huruf H, melongo, sesuatu yang menciptakan rasa geli di dada. Aku sudah melihat berbagai macam ekspresinya, menolak kata hati bahwa ternyata aku menikmati semua eksperi yang ditampilkan pria itu.

Old ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang