Tangan-tangan

6 0 0
                                    

Banyak orang menganggap dirinya adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu tapi nyatanya kosong, mengatakan hal yang hanyalah dari sebuah keangkuhan, berlagak dirinya tahu segalanya.

Menyalahkan anak kecil yang tak tahu apa-apa.
Anak kecil yang seharusnya dirangkul, dituntun, dan dilindungi dengan tangan yang memeluk malah dituntut untuk merangkul dan menuntun.
Bagaimana bisa ia yang butuh dituntun, menuntun penuntunnya; menopang yang harusnya menjadi penopangnya.

Hingga besar ia terbiasa dengan kata sendiri. Tapi bohong jika ia tidak berharap dan merindu. Rindu dengan hal yang tak terjadi. Berharap pada impian semu. Rindu dengan tangan yang tak pernah mendekap dan mengusapnya penuh kasih; tangan yang harusnya mendekapnya penuh perlindungan sejak kecil. Berharap tangan-tangan itu akan memberi penawar rindunya suatu saat nanti.

Hatinya meronta kesepian bahkan ketika kepalanya mengatakan tidak. Hatinya mengatakan butuh bahkan ketika kepalanya mengatakan tidak. Begitu banyak paradoks hingga paradoks adalah biasa.

Malam-malamnya bertemakan sendu; tidurnya berselimutkan rindu; mimpinya berfilm takut. Riuh tak mampu menaklukkan sunyi-nya. Sunyi yang ditemani detak; detak yang enggan berdetak, berhenti pun tak mau. Hatinya tidaklah agam melainkan rapuh penuh lebam. Lebam dari tamparan rindu yang menjelma menjadi sayatan.

Tiada henti berdoa dan meminta pada Tuhan, bertanya pada-Nya. Mengapa hari-hari yang ia jalani selalu terasa berat? Mengapa bertemu bahagia itu sulit? Begitu banyak pertanyaan namun tak ada satupun yang terjawab. Hingga akhirnya ia hanya bisa berpasrah menjalani takdir-Nya. Menunggu keputusan-Nya: mengakhiri luka atau hidupnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dari JemariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang