🌥️ ┊️️ ️️️️️️️️️ ️️ ️️ ️️1

2 0 0
                                    

️️ ️️️️️️️️️ ️️ ️️ ️️
"Dito, jemput gue sekarang." Perempuan itu menutup sambungan setelah mendengar deheman diseberang teleponnya. Menaikkan resleting jaket, sore ini angin sedang kencang-kencangnya, membuat udara di sekitarnya cukup dingin.

Dia berjalan, melewati lorong sekolah yang mulai sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat berlalu lalang- bisa dihitung dengan jari. Namun langkahnya terhenti, tiba tiba ia teringat dengan sesuatu.

"Aish!" Pengguna jaket hitam itu memutar balik langkah kakinya. Saat istirahat tadi ia melewati ruang guru dan tidak sengaja mendengar akan ada razia di seluruh kelas. Maka dari itu, wajahnya menegang. Dengan secepat kilat ia kembali ke kelas, mengambil satu plastik barang yang ia yakini pasti akan disita oleh perwakilan organisasi siswa sekolah itu. Akhirnya, ia menyembunyikan barang itu di tempat yang sepi dan kemungkinan besar dan tidak akan dijangkau siswa lain.

Kursi tribun di lapangan belakang sekolah adalah pilihannya. Perempuan itu menghela nafas, untung saja pintu besi yang merupakan akses masuk ke lapangan tersebut belum dikunci oleh petugas sekolah.

"A-argh-"

Suara rintihan dan makian saling beradu. Ia memicingkan mata, ternyata terjadi lagi.

"Heh anak beasiswa! Gue tau lo itu miskin! Mana jam tangan gue? Pasti lo yang nyuri kan?!"

"Gue berani sumpah! Bukan gue yang ngambi- argh!"

"Bohong!"

3 lawan 1. Sungguh tidak sebanding.

Perempuan berjaket itu menggelengkan kepala, lantas segera mengambil barang yang ia cari tadi. Namun kegiatannya terhenti saat telinganya mendengar suara pukulan beruntun.

Tidak beres.

Harusnya ia tidak melakukan sampai sejauh ini, namun hatinya berkata lain. Dengan segera, perempuan itu membuka plastik yang dibawanya sedari tadi. Menyalakan api, dan membakar sumbunya. Dalam waktu yang singkat, ia berlari sekuat tenaga setelah bunyi rentetan memekikkan itu terdengar, lapangan tersebut sudah dipenuhi dengan asap.

Lalu berlari dengan cepat, menuju gerbang karena ponselnya sudah berdering nyaring.

"KIN!" Lelaki itu melotot- menunjukkan kekesalannya.

Nafasnya tidak beratur, jarak dari lapangan belakang dengan gerbang sekolah itu lumayan jauh. Lelaki yang sedang diatas motor itu perhatiannya teralihkan, menatap asap yang mengepul dan manusia di depannya yang sedang terengah dengan bergantian.

"Rankin, lo abis ngelakuin kekacauan apa lagi?"

Namanya Rankin, dia adalah perempuan yang tidak peduli dengan sesuatu selagi tidak menyangkut adik dan ibunya. Namun kali ini ia merasa telah melakukan keputusan yang bodoh.

Adiknya di kursi sebelah sedang menatap Rankin penuh selidik sambil memakan timun mentah. "Jujur lo sama gue, tadi itu ulah lo kan?!"

Rankin mengangguk. Memeluk baskom berisi beras dan air, sambil sesekali memainkan beras yang ada di genggaman tangannya. "Itu petasan lo."

"ANJIR?" Dito menganga. "Lo bego banget asli nyalain petasan di sekolah? Gila lo?"

"Iya gue gila."

"LO EMANG GILA. GUE NUNGGU PO KE BANG JEAN UDAH HAMPIR SEBULAN! GAK MAU TAU YA! LO HARUS GANTI POKOKNYA!!!!!"

Rankin menghela nafas, "Harusnya lo khawatir sama gue kek, nanti kalo tiba tiba gue ketauan gimana? Dipanggil kepala sekolah gimana?"

"BUKAN URUSAN GUE. LO GANTI POKOKNYA." Dito beranjak, lalu pergi menuju kamarnya. Tidak lupa dengan membanting pintu, membuat Rankin berjengit.

"Bocah anjing."

THEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang