part 2

7 3 0
                                    

Keesokan harinya, rutinitas sama, alarm berbunyi Rara bangun, bangunkan Riri, siap-siap berangkat ke sekolah, dan belajar, tetapi Riri selalu memikirkan sesuatu yang negatif tentang masa depannya. Sekarang setiap hari dia memikirkannya sepulang sekolah, terutama di malam hari, dia akan tetap terjaga memikirkan apa yang mungkin terjadi jika dia tidak serius bersekolah, akankah dia menjadi seperti kakaknya mungkin ... atau bahkan lebih buruk lagi pamannya.
'Tapi aku tidak ingin hidup di jalanan, aku tidak ingin seburuk dia!' dia berpikir keras.
Di tengah malam dia menangis memimpikan konsekuensi yang mungkin dia miliki jika dia tidak melakukan sesuatu dengan benar. 'bip bip' alarm berbunyi, Rara terbangun untuk melakukan tugasnya yang belum selesai untuk mendengar suara desahan di sampingnya, dia melihat adiknya, bahwa dia menangis, dia merasa kasihan padanya, 'mungkin dia lagi punya mimpi buruk' Rara berpikir sendiri, dia meletakkan boneka lumba-lumba di sampingnya dan membiarkan Riri memeluknya,' ... 'sesaat hening, dia berhenti menangis dan tenang, sekarang dia bisa melakukan pekerjaannya dengan damai.
Pagi hari datang, dan seperti biasa Rara bangunkan Riri.
'Ri bangun Ri, dipanggil mamah makan'
'Tapi kan hari ini hari Sabtu' Riri gumam
'Ya kan masih tetap makan, sana turun ke bawah, ntar mamah manggil loh'
Tapi Riri kembali tidur. 'Eh, Ri, kok kamu lama kelamaan tidurnya lebih kesiangan sekarang?' '...' nggak ada response, Rara mengeluh dan biarkan saja. Beberapa menit kemudian Riri bangun, turun ke bawah, dan makan. Saat itu ibunya sedang duduk di meja makan dan menyapa Riri, Riri pun menyapa kembali dengan suara yang kecil. Habis makan Riri dan beres-beres, Riri kembali ke kamarnya dan mengambil hpnya, ia langsung main gamenya, tapi sebelum itu terjadi ada suara bel rumah, Riri mendengar ibunya bergegas untuk membuka pintunya, tapi dia tidak dengar Ibunya menyapa, lalu Riri mengintip ke dari atas, dan dia lihat itu pamannya, ibunya masuk kembali dan bergegas ke ayahnya, berdua pun bertemu dengan pamannya dan memperbolehkannya masuk. Kasus ini terjadi beberapa kali, seperti biasa pamannya minta uang dari keluarganya, bukan hanya keluarganya tapi keluarga di pihak ibunya yang ia selalu mengganggu, dan dia juga adik ibunya. Riri mengintip dan mendengarkan omongan dari atas, ia teringat pikiran buruk itu. Beberapa menit kemudian ia pergi dan kedua orang tuanya terlihat suram, Riri pun kembali ke kamarnya dan Rara bertanya 'dari mana aja?', 'di luar' ia berkata, Riri pun kembali ke hpnya dan main gamenya. Waktu berlalu dan sudah malam, Riri telah memainkan gamenya untuk menghilangkan kenyataan dan berada di dalam dunia sendiri dimana tidak ada yang bisa mengganggunya.
'Riri! Udah dipanggil-panggil masih belum kedengeran, main gamenya terlalu banyak sih, ayo makan.' Rara nyaut.
'Oh ok' Riri berkata masih main gamenya.
' Woy! Ayo!'
'Bisa nggak diam!'
'...'
Rara keluar dari kamarnya dan turun ke bawah untuk makan, Riri diam, lalu melanjutkan permainannya dan nunggu kakaknya selesai makan. Setelah Rara selesai makan dan masuk ke kamar, mereka berdua diam, Riri pun turun ke bawah untuk makan.
Hari ke hari keadaan mental Riri memburuk, ia sulit tidur dan kantung matanya lebih kelihatan, keluarganya mulai khawatir termasuk Rara dan sahabatnya juga, teman-teman sekelasnya mulai merasa tidak nyaman berada di dekatnya, tingkah lakunya pun berubah,dia tampaknya dingin terhadap orang-orang di sekitarnya. Saat di tanyakan guru atau teman ataupun keluarganya ia hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Di rumah yang paling dekat dengannya itu Rara dan ia pun sudah mencoba untuk membantu Riri tapi dia selalu bilang dia baik-baik saja meskipun sebenarnya dia tidak, tapi Riri masih mencoba untuk membantunya sampai suatu hari...
'Gubrak!' Riri dan Rara terkejut, kedua orang tua mereka datang, dan kelihatannya ibunya sedang menahan amarah ayahnya.
'Riri stop main gamenya! Aku hancurin hpnya bener! Udah tahu nilai segitu-segitu aja, udah tahu kamu kebanyakan remedial, masih aja kamu nyantai, emang nggak kepikiran orang tuamu! Kamu sama aja seperti kakak...!'
'Sudah Pak, cukup! Apanya yang berubah kalau bentak-bentak anakmu seperti ini...'
Dia memelototinya dan mengeluh, keduanya keluar dari kamarnya dan menyuruh Rara untuk mengobrol dengan mereka tentang Riri, Riri ditinggalkan sendirian di kamarnya, ia berpikir kalau ini wajar bahwa orang tuanya akan bertindak seperti ini, Riri merasa sakit, namun tidak, dia mulai melihat hitam dan putih dengan matanya yang tampak tak bernyawa menatap ke dinding. Riri menghela nafasnya dan sudah memutuskan sesuatu.
Esok harinya semua berjalan seperti biasa dengan rutinitas yang sama tetapi suasana keluarganya canggung, saat perjalanan ke sekolah Riri dan Rara tidak mengatakan apapun. Rara berfikir 'apa yang ada di pikiranmu sekarang Riri?', sedikit yang dia tahu bahwa Riri akan melakukan sesuatu yang akan mengubah kehidupan keluarga mereka. Setelah sekolah Rara melihat Riri jalan sendirian ke mobilnya dan masuk, ia melihat Riri memegang sesuatu 'mochi?' Rara pikir, lalu Riri mengulurkan tangannya dan kasih mochinya ke Rara.
'Kenapa? Bukannya ini snack favoritmu?' Rara bertanya
'Untuk terimakasih' Riri berkata.
'Aneh' Rara pikir, ia melihat luar jendelanya untuk menutup senyumnya, sopir datang dan mereka berdua pulang. Saat di rumah, mereka salam kepada ibu mereka dan naik ke kamarnya untuk beristirahat.
'Jeder!' suara guntur yang tiba-tiba mengejutkan Rara
'Aah!'
Riri sudah bangun dan sedang duduk di pojokan menulis sesuatu, lalu dia nengok ke Rara,
'oh kamu terkejut ya' Riri berkata dengan wajah tidak berekspresi.
'Ah , nggak tuh, siapa yang terkejut' Rara menggertak.
'Um, kamu lagi nulis apa?'
'Oh, nggak kok'
'Ayuk makan, mamah sudah manggil'
'O-oh ok'
Mereka pun turun dan makan malam bersama keluarga. Riri selesai duluan dan langsung ke kamarnya, Rara merasa curiga padanya dan mempercepat makannya dan ke kamarnya juga, tapi saat dia sudah di kamarnya, jendelanya terbuka, angin kencang dan hujan masuk ke kamar, Rara keluar dari jendelanya dan melihat Riri di tepi rel balkon.
'Riri!' dia lari dan mencoba untuk menghentikannya tapi sudah terlambat. Riri sudah jatuh...darah menutupi lantai, yang hanya bisa dilihatnya merah, dia tidak bisa berteriak, dia tidak bisa merasakan atau mendengar apapun, kejadian ini mengakibatkan Riri dan keluarganya menderita penyesalan selama bertahun-tahun yang akan datang.

RiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang