"Nama panjang lu siapa sih?" tanya Dito. Aku ketawa. "Lah kok ketawa sih?" dia tanya lagi, sambil membenarkan rambut ikalnya itu. "Buat apa artis terkenal kayak lu, nanya nama gue siapa," jawabku. Dito ikut duduk bersama ku di lantai.
"Emang gak boleh?"
"Gue aja ga cantik."
"Siapa bilang, Milka? Emangnya harus yang cantik baru bisa ngobrol sama gue?"
"Aduh, banyak nanya deh." jawabku bercanda.
"Lu cantik sih, Ka." kata Dito sambil menoleh ke arahku.Sial, mukaku panas banget. Untung di backstage gelap, Dito nggak bisa lihat kan? "Milka Amara Renada." jawabku. Dito bergeser ke depanku. Matanya tajam, bersinar dibawah sinar lampu remang-remang di backstage konser gabungan. "Oh, anak kedua ya?" tanya dia lagi. "Loh, kok tau?" Jujur aku kaget dengan statement dia itu. "Renada, ya kan? Berarti kakak mu nama belakangnya, Donada."
Aku tertawa, geli sekali mendengarnya. "Bukan Dito, jadi ceritanya, waktu Ibuku air ketubannya pecah, dia lagi main nada re di piano. Tapi logika lu boleh juga sih." Dito manggut-manggut, mirip sekali dengan seorang anak yang terkagum-kagum sama cerita ayahnya. Pertanyaannya juga banyak. Kalau dipandangi, lucu juga. "Kakak lu namanya siapa?""Ih, Dito banyak nanya banget!"
"Yah, kan penasaran..."
"Jangan penasaran-penasaran," jawabku sambil tertawa.
"Habis kamu menarik sih."Aku terdiam. Kalau mulutnya manis begini, jangan-jangan dia buaya. "Lu begini sama semua cewe yang lu ketemu?" tanyaku blak-blakan. Dito berhenti menatap. Air mukanya berubah, tangannya mengepal, nafasnya berat. Aduh, aku salah ngomong ya. Aku berusaha meraih tangannya dan ingin meminta maaf. "Dito kan playboy ya?" jawabnya tanpa menatapku sama sekali. Pandangannya kosong dan kecewa. "To, ma-"
"Dito Pratama? Siap-siap yuk." seorang perempuan berbaju hitam memanggilnya.
Dito cuman mengangguk dan berdiri. "Goodluck ya, To." Dia melihat sebentar ke arahku dan tersenyum, kemudian melangkah menuju ruang persiapan satu. Aku hanya duduk diam disitu. Dibawah remang-remang lampu gantung yang ada di backstage ini. Aku merasa sunyi dan sendiri, walau dinding sedari tadi ikut bergetar mengikuti irama bass dari band yang sedang tampil. Orang-orang juga terlihat sibuk dan dikejar-kejar waktu. Aku hanya termenung disitu, menutup mulutku yang tidak bisa kujaga dengan baik. Aku baru saja membuat seorang Dito Pratama kesal. Memalukan. "Bodoh..!" kataku sambil memukul-mukul kepala.
"Milka abang lu dimana?" tanya Bang Deva tiba-tiba, Dia pakai baju warna hitam.
"Kaget... Aku enggak liat, Bang. Aku terakhir liat dia sama Kak Tessa di deket ruang persiapan tiga."
"Yah, kok enggak ada ya... Yaudah, entar kalau kamu liat, kasi tau dia di cariin Deva ya, habis Dito dia manggungnya."Aku mengangguk dan berdiri. Bang Deva mengeluarkan jempol dan bergegas lari ke lantai dua. Abangku ini emang bermasalah. Bima namanya. Vokalis sekaligus gitaris Band Nebula. Sudah lima album mereka buat. Bang Bima hobinya menghilang, lima belas menit sebelum waktu manggung. Pernah berkali-kali kepergok lagi berduaan sama cewek diruang tunggu. Banyak yang sudah kesal. Tapi, dia masih anggota utama di Band Nebula. Tidak ada yang berani mengeluarkan dia. Kalau soal ditegur, Bang Bima sudah kebal sepertinya. Malah makin ditegur makin menjadi. Kata dia, selagi muda dan punya pengaruh, bersenang-senanglah. Pandangan hidup yang bahaya. Tapi, tidak bisa dihindari, dia itu role modelku dari kecil. Aku selalu menganggap Bang Bima adalah seorang yang sangat keren. Suaranya yang nge-jazz, permainan gitarnya yang professional. Tapi, semakin aku besar, aku makin sadar bahwa Bang Bima sebenarnya adalah orang yang tidak se-baik itu. Dia naif, angkuh, dan kurang menghargai orang lain. Apalagi perempuan. Bang Bima lah, musisi problematik yang selama ini aku lihat. Salahku memang, tanpa sadar, menyamaratakan semua seniman seperti dirinya.
Dito tidak tau, kalau aku adiknya Bang Bima. Sepertinya, mereka tidak pernah mengenal, walau sering ada di event dan acara-acara yang sama. Aku sering mengantar Bang Bima konser. Dulu, aku selalu mendapatkan tiket sebagai penonton. Tapi, sudah setahun ini aku memilih untuk duduk di backstage saja. Melihat kesemrawutan orang-orang yang terlibat didalamnya. Juga jadi sempat mengenal beberapa artis-artis lain yang hadir. Kunto Aji, Rendy Pandugo, sudah pernah aku ngobrol dengan mereka. Namun, Dito adalah yang paling mencolok dari semuanya. Dia nggak ganteng, tapi karismanya luar biasa. Cewek-cewek akan membanjiri dia di backstage, dia juga selalu mendapatkan sorakan paling keras saat naik ke panggung. Suaranya romantis, sih. Dan dia menulis lagu-lagunya sendiri. Lirik-lirik-nya juga manis dan puitis. Lagu yang dia tulis biasanya kalem dan santai. Siapa perempuan yang tidak meleleh kalau dinyanyikan lagu-lagu macam begini.
"Dito udah punya pacar belum sih?" tanyaku pada Kak Tessa, manager Band Nebula, sekitar beberapa bulan lalu di konser akbar, Jogja.
"Kenapa? Mau ya?" jawabnya sambil tertawa dan mengelus-elus kepalaku.
"Aku penasaran. Habis menarik aja. Masa orang kayak dia gak punya pacar sih?"
"Biasanya kalau begitu ya kayak abang mu."
"Abangku?"
"Ya, main sama cewek sana sini, tapi gak punya yang tetap."Aku angguk-angguk. Aku juga tidak bisa menyalahkan Kak Tessa untuk beranggapan demikian.
"Sudah asumsi publik." tambah Kak Tessa sambil merangkulku, "ah, udah-udah... Dito aja kok dipikirin."
"Emang kenapa kak?"
"Nanti jatuh cinta beneran lho."Dito pasti capek. Semua orang menganggap dia seorang penyanyi yang playboy dan kerjaannya gonta-ganti cewe. Dengan mulut gombalnya itu dan suaranya, semua pasti mau sama dia. Dito tinggal pilih, mau sama yang mana. Masa iya, Dito enggak punya mantan?
"Astaga Mil... Lu dateng ke konsernya Dito Pratama kan kemaren?" tanya Fira sambil membolak-balik buku jurnal kedokterannya.
"Iya, gue dateng kok. Emang kenapa?"
"Dia ganteng buanget! Aduhai... Coba pacar gue kayak dia. Hidup gue indah banget kayaknya ya. Dinyanyiin tiap hari, ditulisin lagu sama dia."
"Hahaha, ngehalu itu bagus kok Fir." jawabku sambil memukulkan buku catatanku ke kepala Fira.
"Ih, tapi kan kita dokter,"Aku tertegun sejenak. Fira juga berhenti membolak-balik halaman dan mulai membaca.
"Emang kenapa Fir, kalau lu dokter?" tanyaku lagi.
"Ya, masa istrinya dokter, suaminya penyanyi sih. Gak banget deh. Kalau dia udah gak terkenal, jadi pengangguran dong. Yang kerja gue doang."
"Ah, masa sih gitu?"
"Iya, kayak temennya nyokap gue juga gitu. Bedanya, suami dia itu aktor. Begitu gak terkenal udah deh. Miskin."
"Oh..."
"Lagian gak level kali dokter sama penyanyi."
"Hush, jangan bilang begitu, Fira."
"Kalau lu dokter, carinya ya suami yang kaya, penghasilan tetap. Biar bisa modalin lu praktek nanti."Itu percakapan ku dengan Fira, sekitar 3 minggu lalu. Fira itu perempuan yang mengandalkan logika. Dia bilang intuisi hanya omong kosong. Makanya IP nya selalu hampir sempurna tiap semester. Fira itu penonton setia Dito. Dia pengaggum nya juga. Sudah banyak albumnya Dito yang dia beli. Kami berdua sering nonton konser bareng. Tapi, karena akhir-akhir ini aku lebih sering duduk di backstage, Fira lebih sering mengajak gebetannya untuk nonton konsernya. Dengan dua tiket gratis dari Bang Bima pastinya. Bang Bima suka Fira. Dia nggak tau aja, kalau tiket yang dia kasih buat aku dan Fira, dipakai untuk Fira dan gebetannya. Ku bilang, jangan kasih tau. Nanti aku yang kena marah.
Suara pintu ruangan persiapan satu terdengar. Keluar Dito dan beberapa orang lainnya. Dito terlihat rapi, rambutnya nggak acak-acakan lagi. Aku cepat-cepat berdiri, tersenyum padanya. Namun, sepertinya dia tidak melihatku kembali. Dia mengalungkan gitarnya, mulutnya tidak henti mengulang lagu-lagu yang akan dia mainkan nanti, sambil tangannya menepuk pahanya sesuai ketukan. Aku ingin menghampirinya, tapi aku hanya bisa berdiri terpaku disitu sambil menatapnya.
Sorak penonton terdengar keras. Band sebelum Dito masuk ke dalam backstage, penuh keringat dan semangat. "Habis ini buka aja champagne nya ya," kata salah satu member mereka. Aku terdesak minggir, tidak mau bersentuhan dengan badan penuh keringat mereka. Dari dekat tirai stage, Dito tertawa kecil sambil menatapku, "Daripada sempit disitu, kenapa enggak ke samping stage aja? Sekalian nonton gue." Aku menggeleng, "enggak ah, rame banget pada teriak-teriak kalau lu naik. Disini aja, kalem," Dito mengangguk pelan, senyumnya tidak selebar tadi, "yaudah, gue naik dulu ya." Aku mengangguk dan menepuk pundaknya, "gue dengerin lu kok, semangat ya." Dito melangkah masuk ke stage, sorak penonton ramai penuh teriakan. Dito menengok kebelakang, kearahku. Dia tersenyum, "Thank you."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Single Spark Of Wish ~ Romance Fiction [Bahasa Indonesia] Sepercik Harapan
RomanceMereka bilang, mimpi adalah harapan. Aku selalu percaya, namun tidak pernah mengalaminya. Ada juga yang bilang kalau mimpi adalah sebuah parallel universe. Kehidupan lain, yang baru akan banyak probabilitas tanpa batas. Kalau benar, aku ingin pergi...