"Eh, si Lan tek tidok mati ke ape?"
"Aok ye, tumben gak ginjal e tak tesentil pas dengan telepon si Doi tu?" tanya Joko dan Yadi bergantian saat mengisi bensin motor Lan.
"Mungkin die maseh nak hemat tenage kali ye, Yad?"
"Iye, cepat yak kite selesaikan ini. Aku pun nak tidok agik nahan kriuk perut ni."
Keduanya pun kembali tidur. Saat cuaca sudah mulai gelap, Joko dibangunkan oleh Lan yang sangat shinning, shimmering, splendid dengan pakaian putih. Lan menjabat tangannya dan berkata, "Joko, aku pergi lok ye. Sampaikan salam aku ke Yadi." Joko yang masih setengah sadar hanya mengangguk dan kembali terlelap.
Malam minggu malam yang panjang
Malam yang asyik buat pacaran
Pacar baru, baru kenalan
Kenal di Jalan Jendral Soedirman
Joko terbangun ketika tetangganya memutar lagu lawas tentang malam minggu. Keadaan rumah sudah gelap, langit pun berubah petang. Suara azan magrib terdengar bersahutan.
"Yad, bangon, Yad. Dah magrib ni," lirih Joko sambil menggoyangkan badan Yadi. Lelaki jangkung itu meregangkan badan dan membuka mata.
"Cepat e gak hari berlalu ni. Lan pegi dah ke?" tanya Yadi pada Joko yang masih berbaring memainkan ponselnya. Yadi mencoba mengumpulkan nyawa dan duduk.
"Udah. Die bepamitan dengan aku tadi." Joko pun ikut duduk. Yadi menoleh ke arah hamok lalu terkekeh. Hal itu membuat Joko heran dan mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Kau ngigau sampai segitunye, Ko?" Yadi masih tertawa.
"Aok, die titip salam untuk kau tadik tu."
"Hahaha!" Yadi semakin tertawa. Ia yang duduk dekat hamok pun langsung mengucap, "Waalaikumsalam, Lan!"
Joko sangat terkejut bukan kepalang saat Yadi menepuk Lan yang masih terbaring di dalam hamok. Jelas-jelas, tadi Lan sudah berpamitan langsung padanya. Belum sempat merenung lebih lama, sebuah panggilan masuk di ponsel Joko. Raut wajahnya berubah cerah.
"Uang ni, Boi! Berdoe jak semoge dapat pinjaman uang ye!" seru Joko pada Yadi lalu mengangkat panggilan tersebut. Yadi yang atusias pun merapat ke Joko. "Halo, Bang! Ha... gimane, Bang?"
"..."
"Alhamdulillah, siap! Abang di mane? Biar saye ke sana. Ndak, Abang dak perlu ke sini. Merepotkan dua kali pulak nanti." Joko dan Yadi saling mengacungkan jempol.
"..."
"Siap meluncur sekarang juga, Bos!" Panggilan berakhir dan Joko segera bersiap. "Bensin aku maseh sisa, kan?"
"Melepet dengan pantat tengki. Tapi, cukupla basah-basah siket. Jangan lupa beli listrik same makan ye. Banyakkan nasi."
"Tenang. Bangonkan kawan tu, sian die dah ndak sabar indehoy malam minggu."
Joko segera pergi untuk menjemput rejeki dan bergegas pulang setelah membeli keperluan bertahan hidup mereka. Ia memasukkan voucher listrik dan segera menyalakan lampu rumah. Akan tetapi, Joko nampak heran saat melihat Yadi yang bertumpu lutut menatap Lan di hamok.
"Yad, ape buat? Kau tak cium ke Abang datang bawa uang dan barang? Eh, kawan satu tu belom sadar agek?" Joko meletakkan belanjaannya dan menghampiri Yadi.
"Boi, ade yang aneh ni. Aku ndak maok miker macam-macam. Dari tadi dah kutahan, nunggukan kau yak ni," lirih Yadi tanpa mengalihkan tatapannya.
"Ade ape?" tanya Joko penasaran. Azan isya' mulai berkumandang. Tiba-tiba, ponsel Lan kembali berdering, sebuah panggilan bernotifikasi khusus dari Doi masuk. Namun, Lan tidak juga merespon macam cacing kena abu seperti biasa. Keduanya menatap ponsel Lan yang tersisa sebelas persen, kemudian bertukar pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
CADIKAH
Teen FictionKisah tiga anak rantau di perantauan. Bertahan hidup di tengah krisis (ekonomi dan hati). Akankah ada 'happy ending'?