0501

37 5 1
                                    

Bosan, aku bosan banget, aku berjalan dengan ogah-ogahan sambil menyeret tas sekolahku, di lorong yang ramai ini aku merasa suara-suara murid bagaikan nyamuk yang tiap malam mengelilingi bak bodyguard.

Sampai dikelas aku menjalani semua aktivitas belajar secara normal.

“Windy Aulia, tingkatkan motivasi belajarmu! Agar nilaimu membaik!” ujar Pak guru dari mejanya, satu kelas menoleh kearahku. Aku berdecak pelan, lalu aku mengangkat kepala yang tadinya bersandar diatas meja.

Aku mengangkat tangan, “Paak ... lulus SMA mau nilai saya bagus atau engga itu ga bakal berpengaruh apa-apa,” ucapku malas dengan mata yang setengah terpejam.

“Lah kok ngomong gitu? Memang jaminan kamu apa lagi kalau bukan nilai? Kamu aja ga pernah ikut eskul apa-apa,” ujar Pak guru, rambutnya yang mulai menipis ditengah, mungkin dia seumuran dengan Ibu. Ya benar, sebagai murid nonaktif aku tidak pernah sekalipun mengikuti kegiatan organisasi sekolah. Seumur-umur aku menuntut ilmu di sekolah aku hanya pernah mengikuti organisasi yaitu pramuka, itupun hanya 2 minggu waktu aku masih di bangku sekolah dasar.

“Karna saya—”

“WINDY LULUS SMA LANGSUNG NIKAH PAK!!!” potong teman sebangku ku yang tampak tak berdosa dengan suara yang tinggi, Sri

“Hah?” Pak guru mengkerutkan keningnya bingung karna ucapan Sri tadi.

Semua murid terkekeh tipis melihat reaksi Pak guru.

“DIA BAKAL NIKAH SAMA CEO, GANTENG, KHARISMATIK BANGET, SUKSES, TANGGUNG JAWAB mphh.” aku membekap mulut Sri agar dia tidak bersuara lagi.

Yang lain tertawa lepas, “AHAHA GILA!! JANGAN BANYAK HALU WOI WIN! AHAHAHAH!” ujar seorang siswa yang duduk dibarisan paling pojok. Aku menunduk malu lalu kucubit lengan Sri setelahnya dia mengaduh kesakitan.

Pak guru menggelengkan kepalanya, “Windy, Windy,” yang lain masih tertawa dan aku masih menunduk malu.

Dasar Srialan.

****

Kubuang semua ikan teri yang masih Ibu selipkan dikotak bekalku, aku enggak suka! Aku enggak akan pernah suka ikan teri. Baunya aneh, dan apa iya ikan yang rasanya asin itu punya gizi? Iya aku tahu, Ibu bilang bisa cerdasin otak kan???

Tapi aku ga suka, sayur juga aku buang apalagi brokoli dan sekarang sisa bakso dan kol dikotak bekalku.

Kalian bisa enggak sih deskripsiin rasa brokoli? Apa coba rasanya? Malahan kalau nyampe dilidahku rasanya pahit, hambar. Terus selalu mancing aku biar muntah. Iuhhh enggak suka.

“Buang aja Win, buang. Besok juga ulang lagi, gitu aja terus sampe badan lu sisa tulang.” cibir Sri, aku berdecak.

“Semua yang dipaksain itu pasti berakhirnya enggak baik, gue coba maksain makan brokoli, enggak dikunyah langsung telen tapi, hasilnya gue muntahin semuanya, perut gue tuh udah sensi banget sama brokoli!! Dia udah enggak mau toleransi lagi,” ucapku panjang tambah lebar dengan pemilihan kata yang sangat kritis kalo kata Umar, tetanggaku yang sering buang sampah di comberan.

Sri mengetuk keningku dengan sumpit mie ayam nya.

“Lu goblok apa tolol si? Semua organ tubuh kita ini butuh nutrisi, dan enggak bakal ada yang nolak apa lagi lambung! Gak usah ngadi-ngadi deh lu,” ujar Sri lalu memakan suiran daging ayamnya, aku menopang wajahku malas.

“Bisa aja ada yang nolak karna telah terbiasa tak ternutrisi oleh brokoli.” jawabku putis.

“Alasan,” guma Sri saat mulutnya penuh dengan mie.

“Oke kita cerai, kita usai. Kamu jangan balik lagi,”

Sri menghentikan kegiatan mengunyahnya, matanya membulat menatap kearahku, aku cengengesan “Canda Sri anjirr, yakali serius. Najis banget. Ah, humor kita ga sefrekuensi, males deh gue.”

Tapi kucoba tatap ulang, mata Sri tidak mengarah padaku dengan cepat aku alu menoleh kebelakang.

Persimpangan                                                               Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang