26. BERTAHAN DI ANTARA SESUATU YANG (TIDAK) TERLIHAT (2)

4.8K 481 78
                                    

Pagi menjelang siang, Dears! ^^

Hara update duluan, takut malam nanti enggak bisa update.

Clue agar selamat di cerita ini, "Tetaplah berpikir positif sekalipun banyak hal yang membuatmu ragu. Bukankah Tuhan telah mengingatkan bahwa DIA sesuai prasangkamu?"

Sudah menyiapkan amunisi umpatan paling bagus untuk bab ini?

Budayakan vote sebelum baca,
Dan komentar di akhir cerita.

Well, happy reading!


***

"Mau bicara apa?" tanya Ardi tanpa intro apa pun. Dia tidak ingin meninggalkan Aira terlalu lama ataupun membuat calon istrinya itu salah paham bila sampai melihatnya bersama Ayu.

Ayu tak kunjung bicara. Dia menatap Ardi ragu. Jemarinya saling memilin tak tentu.

Ardi menyugar rambutnya dengan sebelah tangan. Dia menghela napas berat dan menekan bagian sudut dalam matanya. "Ayolah, Ayu! Apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan? Aku tidak punya banyak waktu."

"Ardi, aku cuma mau-"

"Kalau kamu mau memintaku untuk memikirkan sekali lagi keputusan yang sudah aku buat, maka aku tidak akan mengubah apa pun," sela Ardi cepat.

Ayu hendak meraih tangan Ardi, tetapi urung kala melihat gestur penolakan dari pria itu. "Di, selain kamu, siapa lagi? Aku takut, Di. Aku tidak mau melahirkan anak ini kalau hanya aku yang menanggung semuanya sendiri. Lebih baik aku-"

"Jangan gila kamu, Ayu! Anak itu tidak berdosa. Orangtuanyalah yang berdosa. Jangan kamu hukum dia dengan merampas haknya untuk hidup. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari karena sudah melakukan dosa besar itu." Ardi segera menukas tajam rancauan Ayu.

"Lalu aku harus apa, Di? Melahirkan anak ini sendirian?" Suara Ayu mulai terdengar parau dan tercekat. Matanya terlihat berkaca-kaca.

"Apa kamu sudah periksa?"

Ayu mengangguk.

"Hasilnya?"

"Aku positif," cicit Ayu kehilangan keberanian.

Kepala Ayu tertunduk, tidak ingin melihat bagaimana ekspresi yang Ardi tunjukkan. Dia malu. Dia sungguh sangat malu merengek meminta pertanggungjawaban seperti ini. Lagi pula, mengapa harus dia yang mengalami semua hal buruk ini? Mengapa harus dirinya yang menjadi satu-satunya wanita yang tak diinginkan? Andai semua ini tidak terjadi, mungkin dia tidak terlihat begitu murahan dan desperate di depan Ardi.

"Ayu, mungkin aku bisa bertanggung jawab atas anak itu. Aku akan bantu kamu sampai anak itu lahir. Aku bahkan bersedia merawatnya nanti kalau kamu tidak menginginkannya. Tapi hanya sebatas itu. Tidak lebih." Ardi menyorot Ayu dengan tatapan datar dan dingin, terkesan tidak berperasaan.

Kepala Ayu sontak terangkat. Wajahnya berubah pias akibat syok. Dia tak menyangka kalau Ardi bisa berbicara demikian. Terlebih tidak ada keraguan dalam setiap kata-kata yang Ardi lontarkan.

"Di, apa tidak bisa kamu menikahiku? Demi anak ini?" Nada suara Ayu terdengar gemetar dan melemah.

Ardi bergeming. Selama beberapa saat, mereka saling beradu tatap, meyakini dua hal yang tak akan pernah berjalan satu persepsi.

"Kamu sudah tahu jawabanku," jawab Ardi lugas.

"Ka-karena gadis itu?"

"Dia bukan gadis lagi. Dia wanitaku. Dan hanya dia satu-satunya wanitaku. Kami akan menikah. Aku tidak mungkin meninggalkan dia sebatas untuk tanggung jawab padamu. Dia juga wanita sepertimu. Aku yakin kalau kamu bukan wanita yang bisa menyakiti wanita lain cuma untuk dirimu sendiri."

"Bahkan sekadar untuk kemanusiaan, Di?" cicit Ayu sangsi.

"Justru karena kemanusiaan yang kamu sebut itu aku bisa membantumu sebatas yang aku mampu." Ardi mengosongkan paru-parunya perlahan. Tatapannya tertumbuk pada manik kelam Ayu.

"Ayu, aku mau membantumu sampai sejauh ini karena kamu selalu aku anggap sahabatku. Tolong, jangan sampai aku ubah pandanganku hanya karena keegoisanmu. Antara perasaanmu dan semua kejadian itu, kamu tahu dengan pasti kalau keduanya tidak berkaitan. Berhenti menjadikan kejadian malam itu sebagai jalan untuk membenarkan perasaanmu. Kamu terima atau tidak solusi dariku, itu keputusanmu. Aku harap kamu masih Ayu yang dulu. Ayu yang tidak pernah memanfaatkan kebaikan orang lain semata untuk kepentingan dirinya sendiri," sambung Ardi.

Ayu terbungkam. Setetes cairan bening lolos dari pelupuk matanya. Kalimat demi kalimat yang Ardi luncurkan bak anak panah yang melesat tepat sasaran. Nuraninya tergugah, tetapi tidak mengizinkannya untuk mengakui kelemahan.

Jika bukan Ardi, Ayu tidak yakin mampu untuk hidup. Belum lagi janin yang kini bersemayam dalam rahimnya. Ayu membenci janin itu sekarang. Kecuali janin itu bisa membantunya mendapatkan Ardi, maka dia tidak akan membencinya. Ya, serumit itu perdebatan antara nurani dan keegoisannya.

"Aku harus pergi sekarang. Aku tidak mau Aira mencari dan menungguku. Pikirkan baik-baik dengan kepala dingin!" Selepas berkata demikian, Ardi memutar tungkai dan berjalan meninggalkan Ayu lebih dulu. Pikirannya semerawut. Dia tak menyangka akan terjebak dalam situasi rumit seperti sekarang. Namun, sebisa mungkin dia berusaha tetap tenang. Aira tetaplah prioritasnya, bukan Ayu atau wanita lain.

Sementara di sisi lain, Aira sibuk menyimak. Akan tetapi, dia tak mampu mendengar apa pun mengenai perbincangan Ardi dan Ayu. Apalagi Evan tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Aira dongkol.

"Kira-kira siapa yang sedang mengintimidasi siapa di sana? Suster Ayu atau pria itu? Kenapa Suster Ayu menangis dan terlihat sedih ya, Ra? Dan kenapa pria itu terlihat sedikit hm ...." Evan melipat kedua tangannya di depan dada. Dia lantas mengusap dagunya seperti orang yang tengah berpikir keras. "Tertekan dan frustrasi, mungkin? Bagaimana menurutmu, Aira?"

Aira menoleh ke sisi kanan. Dia menatap Evan nyalang. Bibirnya mencebik kesal selaras dengan kedua tangannya yang mengepal. Ingin sekali rasanya Aira sarangkan satu bogeman mentah di rahang Evan. Setidaknya, untuk membuat pria itu diam sebentar.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu, Aira? Apa yang aku katakan benar, bukan? Coba lihat!" Evan mengendikkan dagu ke arah Ayu yang kini berdiri sendirian sambil menatap punggung Ardi.

"Di mana-mana, orang yang meninggalkan selalu menjadi pihak yang salah. Aku yakin kamu setuju dengan pendapatku ini, bukan?" Evan menelengkan kepalanya seraya tersenyum penuh arti. "Sekarang kamu lihat! Siapa yang meninggalkan siapa di sana? Bisa kamu simpulkan? Aku tidak keberatan untuk membantumu membuat kesimpulan yang benar. Atau-"

"Diam!" hardik Aira keras, tetapi masih dengan intonasi terkontrol. Dia mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Evan. "Berhenti menjejaliku dengan kalimat-kalimat tidak bermutumu itu. Aku tidak perlu bantuan apa pun darimu. Jika aku memang harus mencari sebuah kebenaran, itu sudah pasti bukan darimu. Aku bisa menanyakannya langsung. Jadi, berhenti ikut campur dalam urusanku. Urusi saja anakmu itu!"

Alih-alih menuruti perkataan Aira, Evan malah melebarkan senyum. "Kamu yakin dia akan menjawabnya jujur?" Dia lantas mengangguk beberapa kali. "Ah ... Aku lupa kalau pria yang kamu bela itu bukan aku. Begitu maksudmu kan, Aira?"

Aira tak menjawab. Sepatah dua patah kata yang keluar dari bibirnya hanya akan membuat Evan senang dan semakin menjadi. Jadi, dia putuskan untuk diam.

Evan memusatkan pandangannya tepat pada manik mata Aira.

"Omong-omong, Ra, aku tidak keberatan bila harus mengurus anak kecil lain yang akan menangis saat kebenaran terungkap nanti. Jangan sungkan untuk mencariku kalau butuh sandaran!" sambungnya.

Dia lantas berjalan melewati Aira. Namun, sebelum benar-benar melewatinya, Evan sempat menyarangkan beberapa tepukan ringan di pundak Aira.




Tbc

Cuaca di sini mendung. Cuaca di kota kalian gimana?

Apakah mendadak mendung selepas membaca cerita ini?

Komentar yang banyak, ya ...

See you!




Big hug,
Vanilla Hara
19/10/20

TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang