Prolog

72 13 1
                                    

"Yang rasa Oreo, dua, Mbak."

Hari ini Yogya sedang diamuk matahari. Mungkin matahari sudah terlalu lama mendiami rindu kepada tanah, sejak turunnya hujan kemarin yang tak tahu diri. Aku masih di sini mengantri untuk membeli es krim di salah satu restoran cepat saji, tepatnya di pinggiran Malioboro. 

Sementara itu, Karel sedang berada di Pasar Beringharjo yang tidak jauh dari tempatku sekarang. Ia sedang membantuku mencari busana Gagrag Ngayogyakarta untuk dipakai di sekolah nanti. Karena takut aku salah beli, Karel menawarkan bantuannya untuk membantuku dalam hal ini. Seperti biasa, setiap kamis Pahing semua sekolah mewajibkan siswanya menggunakan busana tradisional tersebut, walau ada juga beberapa sekolah yang tidak melakukan. 

Aku sudah membeli es krim yang juga buat Karel karena sudah baik menolongku. Keluar dari pintu, kembali merasakan Maliboro yang tak pernah sepi dengan banyak langkah berlalu-lalang. Andong serta becak terparkir dan berejejer di pinggir trotoar. Ada juga sejumlah penjual sate dadakan, duduk dengan tulus menunggu dan mencari rezeki. Begitu pula dengan para penjual bakpia kukus yang tak kalah enak. Bagiku Malioboro sangat setia menemani dan menjadi belahan jiwa Yogya. Tak pernah berubah, dan yang terpenting, selalu buat rindu.

Aku kembali berjalan menuju Beringharjo untuk mengecek Karel. Yogyakarta memanglah istimewa, bahkan jarak yang harus aku tempuh dengan jalan kaki bisa terasa tidak lelah sama sekali. Udara masih terasa panas, aku harus bergegas ke sana sebelum es krim ini mencair. Sembari berjalan dengan santai, aku seketika berhenti karena sebuah panggilan tak asing dari belakangku.

"Hey! Nath!" suara itu, panggilan itu, aku tahu. Sudah tak asing lagi, hanya dia yang memanggilku dengan nama itu. Oh, Tuhan, betapa baiknya Engkau mempertemukanku lagi dengannya.

"Eh, Run?" jawabku setelah berbalik.

"Lagi ngapain? Bareng Noel ama Dhika ya?" ia bertanya, dengan senyum manis itu yang selalu indah larut di mataku.

"Engga, cuman sendiri mau nyari baju Gagrag. Tapi singgah beli es krim dulu tadi."

"Lah kok dua es krimnya? Aduh kamu tuh, ya, ngga pinter bohong."

"Iya betul dua, karena satunya buat kamu, nih." Ya, aku berbohong. Namun aku harus memberikannya, karena mengapa tidak? Mungkin ini bisa menambah kedekatan kami, lagipula sebentar lagi es krimnya cair hingga tak enak lagi dimakan.

"Lah, kenapa nih? Ngga usah repot-repot," ujarnya dengan bingung.

"Udah, ambil aja. Kali ini kamu yang ngga pinter berbohong, aku tahu kamu mau. Apalagi ini rasa Oreo." Aku menawarkannya sekali lagi dan akhirnya ia mau, "Hahaha, yaudah. Makasih lho, kok tahu aja ini rasa favoritku?"

Rasa favorit? Maaf sebelumnya aku tidak tahu Run, dan terima kasih sudah memberi informasi tambahan itu.

"Bukan tahu, tapi udah yakin dari lama."

"Apa sih, hahaha."

Oh, seandainya aku bisa seyakin pikiranku soal rasa es krim favoritmu, agar tahu dengan sangat yakin, apakah kau yang menjadi resolusi di akhir ceritaku nanti?

"Umm, aku duluan ya, pasti ibuku dah nyariin. Aku juga lagi nemenin ibu, belanja batik, aku duluan ya. Makasih banyak es krimnya." Dia pamit sembari tersenyum kepadaku. Ah, lagi-lagi rasa manis terlarut di mata ini lalu jatuh membasahi hati.

"Oke, hati-hati ya."

Selain merasa bahagia di dalam hati, aku pun merasakan kedinginan di antara kita. Rasa ragu yang beradu dengan kepastian dan juga harapan. Semoga semesta masih mau membantuku untuk bertemu denganmu. Karena kali ini, hati ini merasa sangat berbeda dengan yang terjadi sebelum-sebelumnya. Aku sampai tak bisa mengibaratkannya, karena sangat berbeda dengan suatu apapun itu. Sulit untuk kujelaskan, tapi mudah kurasakan.

"WOI! Asik ya, Malioboro, cinta ada dimana-mana." Karel mengejutkanku dari belakang.

"Huh... buat kaget aja terus. Eh, kamu tadi lih-"

"Iyalah, lihat, udah dari tadi cuman ngga mau ganggu."

Aku hanya bisa tersenyum datar. Menanggung kecanggungan dan sedikit rasa malu serta amarah dalam jiwa.

"Oh... ya gapapa sih, lagian ngga ada apa-apa kok, hehe."

"Alah ngga usah bohong! Oh ya, kita lanjut ke tempat lain ya, di sini bajunya yang bagus-bagus udah habis. Tapi kalau yang lain kayak selop, jarik, udah aman."

"Oke, makasih baanyak, Rel. Nih, makan dulu ini, es krim."

"Lah, kamu ngga?"

"Ngga, udah ngerasain sesuatu yang dingin, jadi kamu aja."

"Hah? Apaan dah? Yaudah sekarepmu, makasih ya," respon Karel dengan raut wajah kebingungan.

"Yoi, no problem."

Kami pun berjalan pergi.

Malioboro. Kini menjadi salah satu landmark untuk kisahku, bertajukkan 'Es Krim Oreo'. Wahai semesta, apakah dia yang harus aku lengkapi dalam kisahku ini? Semoga rencana Tuhan seindah yang aku harapkan. Sepertinya aku makin yakin dengan apa yang terjadi sekarang. Kalau begitu, aku tetap berharap, tokoh cerita yang kurang itu adalah kamu, Run.

🚲

Hai pembaca ter-luv!

Nantikan update-an ceritanya! Dan jangan lupa vote dan share cerita ini ke teman-temanmu!

Salam baper
–Rahsa Harsa


NathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang