Adelia bergegas menaiki anak tangga, tangannya memeluk bekal makan siang yang dia bawa dari rumah. Sekalipun mendapat bea siswa, biaya makan di kantin tak terhitung di dalamnya. Terlebih sekolah itu adalah favorit anak orang kaya dan unggulan, sudah bisa di bayangkan betapa mahalnya harga makanan di kantin walau hanya segelas air.
Kini langkah kaki Adelia sudah menaiki anak tangga terakhir. Di hadapannya ada pintu besi menuju rooftop sekolah.
Adelia sempat beberapa kali ke sana, menenangkan diri atau bersembunyi dari pandangan orang-orang yang menatapnya dengan aneh.
Namun dia melongo dan sedikit terkejut saat matanya melihat ada sebuah sofa panjang di sudut rooftop. Apakah sofa yang tampak mewah itu sengaja di buang ke sini?
Dalam pikiran Adelia mungkin itu adalah sofa lama para guru atau kepala sekolah yang sengaja di letak di sana karena ruangan di gudang terlalu sempit.
Buru-buru Adelia berlari. Matanya berkilau dan berseri-seri seakan baru menemukan harta karun.
"Orang kaya memang beda! Sofa bagus begini justru di buang," gerutu Adelia tetapi tak menapik bahwa dia bahagia. Jika seperti ini dia akan betah berlama-lama berdiam diri di atas rooftop sambil duduk menikmati empuknya sofa.
Anehnya cuaca yang tadi panas tiba-tiba terasa sejuk dan teduh, tapi saat bersamaan Adelia justru merasa hawa mencekik dan perasaan tak enak.
Benar saja saat Adelia mendongak dia melihat seorang cowok jangkung yang membungkuk melindunginya dari sinar matahari. Ekspresi wajahnya datar dengan alis yang berkerut memperhatikan Adelia seolah terasa asing namun di saat yang bersamaan terasa memiliki kenangan yang dalam.
"Kamu siapa? Beraninya banget duduk di tempat tidur saya," dia bertanya dengan suara berat dan jernih. Tubuh Adelia menegang seolah-olah dia terlempar ke masa lalu.
Raut wajah dan suara itu. Bukankah itu sama seperti dulu?
Ternyata dia tidak terlalu banyak berubah hanya bertambah tinggi.
"Maaf aku nggak tau," ucap Adelia dengan suara pelan tak percaya diri.
Dia berdiri tergesa-gesa hingga bekal makanannya tak sengaja jatuh tumpah mengotori kursi sofa yang tadi mengkilap dan bersih. Adelia ketakutan dan bingung harus berbuat apa.
Wajah cowok itu semakin menggelap sedangkan wajah Adelia semakin memerah.
Dengan tangan bergetar Adelia mengambil tisu dari saku seragamnya, berjongkok dan dengan kasar membersihkan sofa supaya cepat bersih. Tapi gagal.
Adelia rasanya ingin menangis!
Saat mengelap sofa Adelia tak sengaja melihat di bagian lipatan sofa selembar kertas terselip di sana. Dia mengambilnya, di sana ada selembar kertas ulangan matematika seorang siswa dengan nama 'Dito' dengan nilai yang bahkan tak menyentuh angka 50.
Cowok yang masih berdiri memperhatikan Adelia dengan pandangan dingin merebut kertas itu dengan kasar.
Ternyata seorang Dito yang di agungkan juga memiliki cacat!
"Kamu tau privasi?!" Suaranya meninggi.
Dito terlalu sensitif jika menyangkut masalah nilai. Nyatanya tuntutan orang tua begitu menyulitkan dirinya.
"Maaf," cicit Adelia ketakutan. Dia seperti merasa bersalah, padahal dia hanya tidak sengaja melihatnya. "Tapi di soal nomor satu jawaban kakak hampir benar, hanya salah langkah."
Seketika Dito berubah. Kembali memperlihatkan lembar kertas ulangan itu di depan wajah Adelia. "Memangnya kau paham?"
Mata Dito memperhatikan Adelia di bawah ke atas. Gadis di depannya ini terlihat baru memasuki SMA.
"Ini materi kelas 12, kamu jangan sok tau!" seru Dito merasa di permainkan.
"Memangnya kakak tau?"
Adelia buru-buru menutup mulutnya saat menyadari bahwa ucapan menyindir orang di depannya.
Adelia merebut kertas itu dari tangan Dito, mencoba membuktikan bahwa dia bukan hanya sekedar sok tau.
"Kak Dito itu salahnya sini, seharusnya..."
Dito justru tertegun begitu menyadari suara gadis itu terasa begitu familiar. Sepertinya sosok itu sudah lama sekali dia kenal. Tapi dia kembali memfokuskan dirinya kepada pembahasan soal matematika.
Dito kembali di kejutkan dengan fakta bahkan gadis itu ternyata memang memahami soal matematika lebih dari dia.
"Paham?"
Saat di tanya, Dito seperti seorang anak polos mengangguk.
"Gimana kalau sekarang kita impas? Masalah selesai dengan penjelasan soal matematika ini?"
Namun kini Dito menggeleng. "Belum, kita belum impas, mana nomor kamu?"
Wajah Adelia kebingungan. "Untuk apa?"
"Masih banyak soal matematika yang saya ingin tanyakan, dan kenapa rasanya suara kamu nggak asing?" tanya Dito dengan tatapan mendalam memperhatikan setiap detail wajah Adelia. "Apa sebelumnya kita pernah bertemu?"
🖤🖤🖤
Kalian harus tau, saya kalau nulis cerita memang suka pendek-pendek wkwk
Jangan lupa vote dan komen dong✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi Babe!
Teen Fiction"Sekarang kamu ada dalam genggaman saya, apa kamu gak menyesal?" Dia bertanya dengan suara beratnya. Tanpa pikir panjang Adelia menggeleng sebagai jawaban setuju. Semua orang terkejut melihat interaksi dua orang yang bagaikan langit dan bumi itu. Ta...