A short story of missing you
__________________
Laman itu masih sama. Semenjak terakhir kali aku membukanya, memori itu masih sangat jelas. Barangkali semua orang akan menyayangkan seluruh aktivitas mereka di laman itu dahulu, yang menurut mereka sangat canggung dan menjijikkan.
Tapi aku berada di perahu yang berbeda. Bagiku, laman menjijikkan itu adalah tempat di mana aku bisa menemukan waktu-waktu yang terlupakan. Waktu-waktu yang hilang, dan tak pernah kembali ditemukan.
Atau lebih mudahnya, menemukan kembali dirinya yang kini telah melupakanku.
Setiap membuka laman itu, aku merasa ia adalah orang yang sama tiga tahun yang lalu. Yang selalu membagikan konten lucu atau sarkas dan menandaiku di sana. Dia yang selalu mengomentari apapun konten yang ku unggah dengan sarkas dan mengejek. Namun selalu ada di sana, di kolom komentarku di saat tak ada yang peduli dengan postinganku.
Sedih merasakan kami yang kini berlagak seperti orang tak kenal. Dahulu yang selalu bertukar pesan setiap malam, kini hanyalah penonton cerita whatsapp masing-masing. Hari-hari kami sudah berlalu, kami hanya dua orang asing yang kebetulan berada di sekolah menengah pertama yang sama. Tidak lebih.
Tidak ada tanda-tanda ia adalah orang yang sama yang berbincang denganku sepulang sekolah di sore hari. Saat kami sama-sama telat dijemput. Tidak ada tanda-tanda ia adalah orang yang sama yang selalu meminta pop iceku. Tidak ada tanda-tanda ia adalah orang yang sama yang menghabiskan waktu memakan kotak jajan sehabis OSN menunggu satu teman kami yang lain. Tidak ada tanda-tanda ia adalah orang yang sama yang menyusuri trotoar malang menuju masjid untuk sholat dhuhur setelah tes ujian SMA.
Kupikir beranjak SMA kami akan berada di sekolah yang sama. Ternyata aku salah besar. Kami sama-sama ditolak di salah satu SMA di Malang. Meskipun setelahnya kami mengikuti ujian di salah satu sekolah yang sama lagi di Kediri, ternyata takdir Tuhan benar-benar lurus. Aku diterima, dia ditolak.
Jarak benar-benar memisahkan kami, sangat jauh. Bukan lagi fisik kami yang terpisah, namun perasaan kami sudah tak lagi berada di satu sampan.
Perasaanku bertumpu berat sebelah, dia menemukan rasa barunya di kota yang lain
Bahkan setelah tiga tahun, aku hanya bertemu sekali setelah wisuda perpisahan itu. Setelah tiga tahun aku masih pada fase yang sama, menaruh diriku padanya bahkan ketika aku tak ingin lagi.
Bahkan polaroid foto kami yang tak sengaja diambil salah seorang teman masih utuh di dompetku.
Lucu sekali, bukan?
Orang-orang dulu bilang perasaanku hanya cinta monyet anak SMP.
Tapi mengapa bahkan setelah tiga tahun, aku masih merindukannya?
20 oktober 2020