Pada pagi ini Jake di kejutkan dengan pengumuman bahwa dirinya bukan lagi pemegang saham terbesar di perusahaan milik ayahnya. Tak pernah ada dalam skenario hidup Jake dirinya jatuh miskin karena di tipu oleh salah satu investor yang dua bulan lalu yang memberikannya banyak janji.
Jake kehilangan semua miliknya, dari mulai rumah mewah, mobil mewah, serta beberapa aset berharga lainnya. Ia hampir gila. Pandangannya keruh ketika banyak orang berjas hitam menyegel rumah mewah warisan dari ayahnya di segel oleh pihak bank.
Ia bangkrut.
Tak punya apapun lagi, bukan lagi seorang lelaki dengan harta yang melintir. Kini ia hanya lelaki biasa yang bahkan tak punya apapun lagi.
Masih berdiri di depan pagar rumahnya yang menjulang tinggi, Jake memandang sendu. Hanya dalam satu hari saja ia dapat kehilangan semuanya, ia menyesal karena tidak teliti ketika akan melakukan investasi.
Tangannya bergetar memencet beberapa nomor kontak teman-temannya, saat ini Jake butuh tempat tinggal. Coba bayangkan ia harus tidur dimana malam ini? Tidak mungkin bukan seorang Shim Jake tidur di kolong jembatan atau di pinggiran toko, mana bisa ia tidur nyenyak.
Untung saja dirinya punya banyak teman, setidaknya beberapa temannya mungkin bisa menolongnya.
Tapi nyatanya, tidak.
["Maaf Jake, gue gak bisa nolong lo. Sorry banget ya."]
["Aduh gimana ya Jake, di rumah gue berantakan banget. Lo gak mungkin bisa tidur di tempat gue. Sorry ya."]
["Hah? Lo bangkrut? Sorry ya Jake. Gue gak bisa nolong, kita juga gak bisa temenan lagi deh kayaknya."]
"BANGSAT...!" Jake berteriak sekencang mungkin, hampir saja ia akan melempar ponsel pintar miliknya, untung saja ia urungkan ketika mengingat hanya ponsel saja barang berharga yang ia punya saat ini.
Disaat ia membutuhkan bantuan teman-temannya, justru mereka seakan lupa jika dirinya sering membantu. Jake kesal setengah mati, apalagi ia tak punya kerabat atau saudara yang bisa ia mintai tolong. Uang saja ia tidak punya, saat ini yang tersisa hanya satu ponsel serta pakaian yang melekat pada tubuhnya. Yang lainnya sudah di sita.
"Yakali gue harus jual hape?!" ia memandang nanar ponsel yang di peganganya. Rasanya terlalu sulit melepas ponselnya, lagipula ponsel sangat penting bukan (?) mana bisa ia menjualnya untuk mendapat tempat tinggal.
Jake bingung setengah mati harus meminta tolong pada siapa lagi, ia menarik rambutnya dengan kasar, otaknya terus berputar memikirkan seseorang yang bisa ia mintai tolong.
Sampai akhirnya ia mengingat satu orang, lelaki yang tak kalah angkuh dengan dirinya. "Temen-temen gue aja gak ada yang mau nolong, apalagi si Jay. Yang ada mungkin dia ngetawain gue." Jake sempat ingin mengurungkan niatnya, tapi kembali lagi ia menggelengkan kepalanya. Kali ini ia akan bertekad meminta tolong pada Jay. Meskipun sekerasnya Jay, tetap saja lelaki itu mantan kekasihnya, mana tega melihat dirinya kesusahan saat ini.
......
'Dilaporkan kerugian mencapai 55 milyar berkat kerusakan yang terjadi, aksi demo yang-'
Jay mematikan televisi yang tadi sedang di tontonnya, ia sudah bosen dengan berita yang menyiarkan tentang masalah itu-itu saja. Hari ini ia sedang libur dan ingin bersantai dari banyaknya dokumen yang membuat kepalanya pening setiap harinya.
Tapi bukan hanya itu saja yang membuatnya pening, karena yang lebih memusingkan daripada dokumen perusahaannya adalah ibunya. Selama lebih dari beberapa bulan ini, ibunya terus saja menanyakan tentang pasangan, pasangan, dan pasangan. Menyuruhnya untuk segera menikah padahal Jay tidak suka dengan belenggu ikatan pernikahan. Apalagi saat ini ia tak punya satupun kekasih, tidak ada yang bisa ia kenalkan pada kedua orang tuanya.
Ting Tong!
Mengerutkan keningnya bingung karena jarang sekali ia memiliki tamu, orang-orang di perusahaan juga tahu saat ini ia tengah libur dan tak ingin di ganggu. Tak mungkin ada yang berani bukan menganggu waktu liburnya karena Jay tak akan segan memecat.
Ting Tong!
"Anjir.. Siapa sih? Ganggu orang lagi mager aja." dengan kesal Jay beranjak dari sofa, ia melangkah melihat interkom apartemennya. Dalam satu dua detik ia di buat terkejut ketika melihat Jake berdiri di depan pintu apartemennya, "Ngapain dia ke apartemen gue? Mau ngungkit masa lalu?"
Sebelum membuka pintu, Jay merapihkan rambutnya terlebih dahulu, menepuk pipinya bersiap memasang ekspresi untuk menghadapi mantan kekasihnya itu. Menghembuskan napas, Jay kemudian membuka pintu, memandang Jake dengan raut kebingungan yang kentara di bumbui dengan ekspresi angkuh nan seperti mengajak bertengkar.
"Ngapain lo ke apartemen gue?"
"Gue gak lagi ngajakin ribut, gue cuma-" belum sempat Jake menjawab Jay sudah memotong lagi, "Cuma apa hah? Lo gak puas sama apa yang lo lakuin ke gue dulu. Gak cukup puas lo mempermaluin gue?"
"-gue minta maaf soal itu, gue tahu gue salah." raut Jake kini mulai melunak, matanya sendu jika memikirkan masa lalunya bersamanya Jay yang hanya menjadi penyesalan baginya.
Seorang Jake meminta maaf tentu saja menjadi kecurigaan bagi Jay, pasalnya mantan kekasih di depannya ini bukan orang yang mudah meminta maaf. Ia kenal betul bagaimana sikap Jake dahulu.
"Gue dateng kesini cuma mau minta tolong, tapi kalau lo gak mau nolongin gue juga gak papa." ujar Jake memberitahu maksud sebenarnya ia datang menemui Jay.
Lagi-lagi Jay terkejut dengan sikap Jake saat ini, tangannya menyentuh dahi Jake, "Lo lagi sakit? Atau lagi mabok?" tapi segera saja Jake melepas tangan Jay dari dahinya. "Gue sadar kok, gak lagi sakit atau mabok."
"Trus lo mau minta tolong apa?"
"Emm.. Gue lagi butuh tempat tinggal buat sementara. Sementara doang kok sampe gue dapet kerjaan dan bisa sewa tempat buat tinggal."
"Hah? Ngapain lo nyari tempat tinggal? Rumah mewah lo udah gak kepake lagi apa gimana? Lo bangkrut?" Jay pikir Jake akan menyangkal dan menendang kakinya seperti dulu jika kesal terhadap sikapnya, tapi kali ini justru Jake mengangguk membenarkan ucapan Jay.
Tentu saja Jay terkejut, tak terbayangkan jika seorang Shim Jake saat ini sudah hancur, bangkrut bahkan tak punya tempat untuk di mintai tolong sehingga bergantung padanya, padahal setahu Jay, Jake itu memiliki banyak teman. Sudah Jay tebak tak ada satupun yang dapat menolong Jake karena semua teman lelaki itu hanya fake.
Smirk Jay terpampang jelas di wajahnya ketika tebakannya benar soal semua teman Jake. Ia sudah menduganya dari jaman mereka masih di sekolah menengah.
"Kalo lo gak mau bantu gue, ya gak papa. Kalau gitu gue permisi." Jake akan beranjak pergi tapi kemudian ia berhenti karena Jay menahan tangannya, "Lo bisa tinggal disini kok." dan detik itu pula Jake tersenyum senang, tak pernah terbayangkan Jay mau membantu dirinya yang sudah menyakiti perasaan lelaki di depannya ini saat dulu.
.......
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Fingertip | JayJake ✓
FanfictionDi dunia ini hanya kepalsuan. Ketika kamu berada di atas, akan ada banyak orang yang berada di sekitarmu untuk menyanjung dan menjilat kakimu tetapi ketika kamu jatuh, mereka hilang seketika. Pergi, membuangmu jauh-jauh. *** Keadaan Jake yang sudah...