Ini Aku

17 4 0
                                    

Suatu hari, aku berharap aku lenyap dari dunia ini.
Semuanya begitu menyedihkan menurutku.
Begitu gelap.
Dan menakutkan.

Aku hanya bisa menunduk dan menyembunyikan wajahku.

Setiap aku melewati segerombolan orang di koridor sekolah.
Semuanya menatap ngeri.
"Kurus ya,"
"Kulitnya pucat. Kayak hantu enggak, sih?"

Aku hanya bisa melirik mereka dengan wajah tertunduk dari tirai rambutku yang menutupi sebagian wajahku.

Aku sengaja menutup wajahku.
Tak ada yang pantas melihatku.
Aku terlalu...
Menyedihkan.

Aku berharap.
Suatu hari, aku bisa lenyap dari dunia ini.
Semuanya begitu menyedihkan.
Aku takut melihat tatapan orang-orang terhadapku.

Meski aku adalah siswa terpintar.
Mereka tak pernah melirik kecerdasan ku.
Yang mereka inginkan hanya yang kaya dan fisiknya sempurna.

Bagaimana ini?
Apa yang bisa kulakukan?
Aku hanya bisa menangis dan menjerit dalam hati.
Aku memang tidak bisa memilih sendiri aku ingin lahir menjadi siapa dan seperti apa.

Tolong hargai aku apa adanya.

Bahkan ibu dan ayahku, tega meninggalkanku di sebuah rumah yang sama sekali tak mencintaiku.

Bisakah aku lenyap?
Bisakah aku menghilang?
Sepertinya hidupku akan lebih baik.

Setiap malam.
Sebelum kututup mataku sebelum tidur.
Aku punya harapan kecil untuk esok pagi.

Aku ingin jadi perempuan kuat seperti arti namaku,
Aku ingin punya fisik sempurna,
Aku ingin, orang lain bisa menyadari betapa berharganya aku.

Aku ingin, orang lain berhenti menilaiku jelek.
Karena mereka tidak tahu apa-apa tentangku sedikit pun.

Sekali lagi, Aku berharap aku lenyap.
Kupejamkan mataku, menarik napas panjang.

"Val!" Tiba-tiba seseorang menepuk pundak ku. Ketika aku berada di ambang pintu.

Aku segera menengok. Sebagian wajahku masih tertutup rambut.
Sengaja aku menunduk, supaya rambutku itu masih menutupi wajahku.

"Ayo masuk," Ujar gadis yang tadi menepuk pundak ku sambil menggandeng tanganku masuk ke dalam kelas.

Kami lalu duduk bersebelahan di meja yang sama. Gadis tadi adalah Maya. Teman SMA ku. Lebih tepatnya satu-satunya teman di SMA. Maya kemudian mengikat rambut panjangnya dengan karet gelang yang sudah dia siapkan.

Aku mengamati garis hidung Maya yang mancung. Hmm, andaikan Aku punya hidung seperti Maya.

Sadar Aku terus memperhatikannya, Maya kemudian berkata, "Kamu juga harus mengikat rambutmu. Ingat! Hari ini pelajaran Bu Rika."

"Tidak perlu," Ucapku sambil tersenyum tipis.

"Kenapa?" Maya telah selesai mengikat rambutnya kucur kuda.

"Oh... Aku paham. Kamu 'kan anak jenius. Dengan rambut menutupi wajah seperti kuntilanak pun, masih bisa mendapat nilai sempurna." Maya bertepuk tangan.

Aku kembali tersenyum. Senyum ini terasa pahit di hatiku. Aku sangat senang memiliki teman seperti Maya. Dia begitu setia kawan, ceplas-ceplos, dan pemberani. Dia juga cantik. Kulitnya kecoklatan. Kecantikan nya kuibaratkan seperti coklat.

Seringkali aku tertegun dengan bentuk mata Maya yang besar. Belum lagi alis matanya yang tebal. Kalau dipikir-pikir seperti oran India ya. Aku tersenyum lagi.

"Kamu kenapa?" Maya sepertinya keheranan melihatku yang hari ini tersenyum terus sambil menunduk.

Aku segera menggeleng.

Maaf Atau TerimakasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang