Mataku masih memicing di balik kacamata hitam. Hening. Fokusku tak akan lagi terganggu oleh berisik letusan mesiu, lantaran telah dikedapkan oleh penutup telinga. Pistol berkaliber sembilan milimeter di tanganku adalah pistol baru yang Om impor dari Belgia. Kata Om, pistol ini telah dirancang sangat tangguh dan punya desain baru yang lebih ergonomik. Kami baru mencobanya. FN 509 di genggamanku, siap menghujamkan bulir demi bulir pelurunya pada sasaran yang akan bergerak tak berirama dalam jarak dua puluh lima meter di depanku.
"Shoot!" Sasaran mulai bergerak acak secara otomatis, seolah sedang menertawakan kami.
Darr ... Darr ... Darr ...
Selongsong berjatuhan di bawah kakiku. Aku dan Amna terus menembak. Hingga satu per satu peluruku di magazin habis, lantas dengan cekatan aku menggantinya dengan magazin yang baru. Menghabiskannya pada sasaran yang menyerupai lekuk tubuh manusia. Dahi, dada kiri, perut, dan Aorta spot. Titik-titik paling krusial untuk membunuh lawan detik itu juga. Tangan dan kaki, untuk memperlambat gerak sasaran.
Darr ... Darr ... Darr ...
Bunyi tembakan tergantikan oleh tepuk tangan seseorang yang begitu gaduh, di sela aku memasang magazin baru ke dalam pistol. Baritonnya menggema di belakangku. Aku menoleh sesaat memberinya seringai kesal, lalu berbalik fokus ke sasaranku lagi. Menghabiskan sisa peluru yang ada.
Darr ... Darr ... Darr ...
Pria mengesalkan barusan bernama Alex.
Instrumen penggerak sasaran berhenti. Aku memicingkan pasang mataku untuk mengamati skor tembakku di digital display yang terpasang tepat di ujung dinding sana. Kurasakan Alex berjalan mendekatiku dengan seringai lebar tersungging dari bibirnya.
"Excellent! Gue bangga sama lo, Va." ucap Alex yang menyandarkan tubuhnya di pembatas kaca bilik tembakku yang sudah terbuka. Amna sahabatku, menyeringai bangga dari balik biliknya.
"Aishh, dikit lagi! Lo ganggu aja!" kesalku. Gara-gara dia, skorku jadi tidak sempurna. Amna yang menang kali ini.
Aku sibuk melepas holster dari pinggangku. Meletakkan semua alat yang kami gunakan untuk latihan di meja yang telah ada.
"Amna nggak lo banggain? Secara doi yang menang," tanyaku melonggokkan dagu ke bilik sebelah.
"Gue bangga sama semua partner gue," jawab Alex dengan terkekeh.
"Makin jago aja, Va?" seringai Amna sembari membenarkan ikatan rambutnya. Jago bagaimana? Dia selalu saja merendah. Lebih jago dia daripada aku.
"Gimana bisa lo sebut gue jago? Ntar sore lagi, Na. Gue diganggu kucing kardus ini tadi," tonjokku ke bahu Alex yang berhasil ia hindari.
"Wait! Nggak bisa. Om nyariin lo. Ada PR baru."
"Lagi? Gue baru kemarin ini kelar jadi anak SMA for your information." Amna dan Alex terbahak.
"Ya kali, siapa tahu sekarang lo jadi anak kuliahan. Naik kelas 'kan lo?"
"Sialan!" Seketika aku menonjok bahunya, dan layaknya prediksiku, ia menghindar lagi. Tapi satu hal yang Alex tidak bisa hindari, bersamaan dengan gerakan tanganku, lututku dengan nakalnya menendang pangkal pahanya.
"Awww!!! Vavaaa!!!" Alex meringis sembari membungkuk menahan kesakitan di sana, akibat ulahku.
Amna terpingkal-pingkal. Ia menepuk bahu Alex. "Makanya, nggak usah banyak tingkah deh lo, Lex. Kucing lagi menstruasi lo gangguin."
"Va. Sumpah!! Abis ini kita ke penghulu. Lo harus tanggung jawab! Gimana masa depan istri gue kalo lo udah rusakin dari sekarang?!"
"Yee ... nggak mau lah. Ngapain juga gue ambil barang rusak."
"Udah udah. Yuk Va. Ke atas. Sekalian mau ambil makan gue," ajak Amna merangkul bahuku. Kami berjalan ke arah pintu lift yang akan membawa kami ke lantai nol, tempat cafetaria kami berada.
"Wait! Gue ikut. Kalian bener bener ya ... nggak ada tanggung jawabnya sama gue. Kalo gue yang tampan ini mati, partner kalian ganti si Brewok mau?"
"Mauuu," jawab kami kompak dengan tetap melenggang masuk ke dalam kotak besi dan menekan tombol 0. Tujuan empat lantai di atas kami. Dan sekali lagi, kami terbahak, berhasil mengerjai partner yang sebenarnya memang tampan ini. Alex, sang mata-mata tertampan dan terbaik bernama palsu Rahardian Lexindo.
Sahabatku satu lagi, bernama Amna Arisa. Hanya dia satu-satunya yang dekat denganku di SPYDER ini. Perusahaan penyewa jasa mata-mata yang konon terbesar di Indonesia. Klien kami perusahaan-perusahaan besar yang berlomba ingin saling menjatuhkan. Kami sendiri tidak tahu mana-mana saja, karena hanya Om yang mengetahui data para klien. Pernah suatu ketika, seorang agen mencoba masuk ke lantai minus delapan, tempat data klien diolah, demi menuruti rasa penasarannya. Hingga kini, nama agen itu tak terdengar lagi. Sosoknya menghilang layaknya ditelan bumi.
Tugas kami hanya satu. Memastikan 'Pekerjaan Rumah' kami selesai dengan hasil yang diinginkan si klien. Secara bersih, tak terendus aparat hukum, dan tanpa membunuh, kecuali di saat paling terdesak dan harus membela diri.
Di SPYDER, aku tidak bermain sendiri. Di PR sebelumnya, aku dipasangkan dengan Alex, untuk menyamar sebagai siswa SMA yang harus mendekati anak Bos Batubara, menyelinap di rumahnya, lantas memanipulasi semua hasil tambangnya. Sebelumnya lagi, aku dipasangkan dengan Amna yang harus berpura-pura menjadi wanita karaoke, demi membuat Sang Bos Kelapa Sawit menandatangani pengalihan hak milik ribuan hektar asetnya ke tangan orang lain.
Kejam.
Tak punya hati.
Ya, pekerjaanku memang tak punya hati. Pintu hatiku telah tertutup akibat remangnya masa kecilku dulu. Aku sudah membuang kuncinya ke dalam gelapnya lautan yang tak akan terjamah oleh makhluk jenis apapun. Aku tak terselamatkan lagi.
Tak ada lagi belas kasihan. Tak ada lagi kasih sayang. Tak ada lagi ampunan. Yang tersisa hanya kepalsuan.
Rahardian Lexindo. Amna Arisa. Dan Vava Amira. Kami adalah sebentuk kepalsuan itu.
-----------------
Holster : Tempat menyimpan pistol. Terdapat beberapa jenis holster yang bisa digunakan sesuai fungsinya yaitu di pinggang, paha, dan kaki.
Magazin: Tempat menyimpan peluru.
---------------------
Haloo, ini tayang bareng Mentari yak.
Tapi gak akan sampai lengkap di Wattpad, karena cerita ini aku ikutin kompetisi di Dreame. Mentok sampai eps belasan mungkin.
Gapapa ya? Nanti main-main lah ke Dreame.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hotelilova
ChickLitKata Mamah, nama Lova itu artinya agar aku dicintai banyak orang. Tapi nyatanya, aku kecil berbadan gemuk. Teman lelaki sering mencemoohku. Utuh cintaku pun terbelah ketika Papah menceraikan Mamah. Kata Mamah lagi, mungkin aku akan dapat banyak cint...