“Makasih Pak, hati-hati,”
Bapak tua yang mungkin seumuran Papa itu berlalu setelah tersenyum seusai aku mengembalikan helm berwarna hijau muda itu kepadanya. Barangkali ada yang merasa aneh dengan apa yang aku lakukan.Mengucapkan hati-hati, dan menunggu hingga si bapak ojol pergi lebih dulu, bukan sesuatu yang wajar bukan? Tapi sudahlah hal ini aku bahas nanti saja.
“Loh, kamu nggak salah liat jam kan Ley? Masih jam segini loh?” Sambil melihat ke arah jam antik yang berada tepat pada dinding belakang counter saat melihat kedatanganku.
“Sengaja, nggak ganggu kan Mas?” Aku duduk di kursi depan meja Bar, melihat sekeliling kedai yang tampaknya belum terlalu ramai siang ini. Hanya ada beberapa anak sekolah yang tengah asik berbincang dengan serunya di meja bagian luar. Dan seorang laki-laki seusia ku yang tengah asik dengan leptopnya.
“Sama sekali nggak ganggu, aku antar pesanan anak-anak itu dulu,” Ia berlalu menuju meja anak-anak sekolah yang sepertinya sudah melakukan pesanan untuk entah keberapa kalinya, terlihat dari gelas-gelas serta piring-piring makanan kosong yang sudah memenuhi meja mereka.
“Berasa udah tua banget ya, nyebutnya anak-anak. Padahal masih mungkin loh untuk menjadikan salah satu dari mereka gebetannya Mas,” Ucapku seusai laki-laki dengan apron hitam itu kembali kehadapan ku.
“Ngawur. Kamu ya Ley, mudah banget kebawa arus sama Maya, ngecengin aku terus,”
“Eh, ngomong-ngomong soal Maya, dia bukannya balik hari ini ya Mas?”
“Paling nyampe Padang Maleman, pagi tadi pas aku hubungin masih dijalan,”
“Kamu mau minum atau makan sesuatu Ley? Nggak mungkinkan cuma bengong doang,”
“Kawa susu sama tepe rol nya boleh deh Mas, aku ke depan ya, mau ngerjain sesuatu,”
Kedai kopi yang aku datangi ini milik abangnya temanku Maya, kedekatan kami bermula dari pertemanan ku dengan adiknya. Dan entah bagaimana akhirnya kami menjadi dekat, mungkin karna aku sering ke sini bersama adiknya, dan kadang juga menginap dirumah Maya.
Aku mengeluarkan alat gambar dari tode bag yang sedari tadi tersampir di pundakku. Suasana kedai milik Mas Rama sangat mendukung sekali untuk menyelesaikan gambar yang beberapa hari ini terbengkalai. Mas Rama datang bersama dengan pesananku, mengintip gambar yang masih belum selesai sepenuhnya pada kertas gambar di depanku. Buru-buru aku peluk buku itu ke arah dada, menyembunyikannya dari tangkapan mata Mas Rama, sambil mendelik dengan ekspresi paling nyebelin yang aku miliki.
“Masih aja ya Ley,” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat rambut ikat yang selalu aku katai mi goreng itu ikut bergerak-gerak dengan lucu.
“Sampai kapan pun masih akan berlaku loh, peraturan ini, udah sana balik ke counter,”
“Ih, enak aja nyuruh-nyuruh, belum rame juga.” aku mendelik saja mendengarkan ucapannya.
Sedari dulu aku memang sudah berkomitmen, bahwa pantang sekali memperlihatkan hasil gambar yang belum selesai sepenuhnya kepada siapa pun juga. Karna proses kreatif itu bagian dari sesuatu paling intim bagi diriku yang belum berani untuk aku perlihatkan.
Dua tahun sudah aku hidup di Sumatra Barat tepatnya kota Padang--tinggal berdua saja bersama seorang Ayah dan tidak punya terlalu banyak teman kecuali Maya dan Abangnya yang aku panggil Mas Rama--Masih membuat aku nyaman sejauh ini. Sewaktu kecil, pergi ke Sumbar yang merupakan kampung halaman Papa adalah hal yang jarang. Seingatku hanya sekali saja, sewaktu masih taman kanak-kanak yang mungkin memori tersebut sudah tertinggal jauh, hanya ingat seberapa saja.Aku lahir di tanah Sunda, besar dan tumbuh remaja disana. Cerita tentang Sumatra Barat hanya aku dapat dari cerita-cerita Papa yang selalu senang bernostalgia perihal kampung halamannya.
Sudah sebulan ini aku menikmati libur kuliah semester ganjil, liburan hanya aku habiskan dirumah saja atau sesekali ikut Papa ke Ladangnya yang ada di Kabupaten Solok yang merupakan kampung halamannya, atau kalau tidak pergi menemani Maya yang selalu saja mengeluh bosan jika di rumah lama-lama. Tapi seminggu ini Maya sedang ada keperluan keluarga untuk pulang ke Palembang bersama kedua orang tuanya, dan tentu saja minus Mas Rama yang sampai hari ini masih membuka kedai kopinya.Hari ini Mas Rama berjanji untuk menemaniku naik ke gunung Padang dan memakan sesuatu yang sudah ia janjikan dari beberapa hari yang lalu karna kasian melihat ku tanpa teman dan tidak pergi kemana-mana.
Motor jadul milik Mas Rama yang katanya punya banyak sejarah tentang kedua orang tunya melaju tenang melewati jalanan kota Padang yang belum terlalu rame karna belum jamnya orang-orang pulang bekerja.Diperjalanan menuju gunung Padang, ia sesekali bercerita atau bertanya yang kadang tidak bisa aku tanggapi karna suaranya berebut tempat dengan desau angin di gendang telingaku.
Kami sudah memasuki gerbang menuju atas, katanya hingga di atas nanti kami hanya perlu mengikuti jalan yang ada dalam bentuk tangga-tangga. Baru beberapa langkah, Mas Rama sudah bertanya yang entah ke berapa kalinya sejak dari kedai hingga detik ini.
“Kamu nggak akan nyesalkan Ley? Aku nggak akan terima keluhan soalnya,”
“Mas nggak lupakan kalau aku anggak pernah ngeluh? Lagian bawel banget sih, masa udah sampai sini nggak jadi naik,”
“Iya, iya, nona Layra yang keras kepala dan nggak pernah ngeluh,”
Untuk masuk ke kawasan gunung Padang, pengunjung membayar sebanyak sepuluh ribu rupiah. Kata Mas Rama setiap sore kawasan ini akan sangat padat oleh para muda mudi yang berolah raga dengan joging keatas gunung. Gunung di sini jangan bayangkan seperti gunung pada umumnya, karna bentuknya hanya seperti bukit kecil yang lumayan tinggi, dengan jalan keatas berbentuk undakan tangga yang lumayan menguras tenaga, buktinya belum beberapa lama aku sudah dibuat ngosngosan.
“Makam siti Nurbaya nya dimana Mas?” “Nggak beberapa jauh lagi diatas,”
Di gunung inilah katanya terdapat makan Siti Nurbaya berada, cerita termasyhur milik Sumatra Barat yang sudah tidak asing lagi bagi sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya, mengenai cerita perjodohan masa lampau.
“Nah! Ini, yang dibalik batu besar ini sih katanya, tinggal jalan sedikit aja, mau liat? “
Katanya
“Nggak deh, lanjut keatas aja,”
“Nih, minum dulu,” Memberikan kepada ku satu botol air minieral, Mas Rama sempat ke warung yang berada tidak jauh dari posisi kami duduk.
“Pantes ya, cewek-cewek pada mau aja sama Mas. Hal sekecil buku tutup botol aja diperhatiin segininya,? Mengacungkan botol air mineral yang tadi diberikan kepadaku ke arah wajahnya, kemudian baru meminumnya. Ternyata berjalan dengan undakan tangga selama kurang dari setengah jam membuat ku lumayan haus.
“Jago banget ya sekarang kalau soal ngecengin, gurunya Maya sih, langsung pro aja bawaannya kalu di ajarin dia, benar nggak Ley?” Aku hanya ketawa saja, nggak salah juga sih. Maya emang guru paling oke kalau masalah nyinyir menyinyir semacam ini, sejak ketemu dia aku jadi lebih manusiawi. Dan tentu saja kepandaian nyinyir ini harus dimanfaat.
“Tapi yang aku bicarain tadi emang ada benarnya kan Mas?”
Dia tersenyum getir, dengan tetap memandang hamparan laut lepas di hadapan kami. Aku juga ikut mendangi apa yang ada di depan kami, keheningan panjang menjadi jeda dari pembicaraan ku tadi, sepertinya Mas Rama tidak ingin aku melanjutkan pembicaraan itu.
“Kalau ku ajak ke sini lagi mau nggak Ley?” Suaranya memecah lamun dan keheningan yang tadi nya ku kira akan berlangsung lebih lama lagi, karna kami berdua sibuk dengan pemikiran masing-masing.
“Mau lah, ternyata enak juga begong di sini,”
Keheningan kembali memisahkan kami, sepertinya Mas Rama sedang banyak yang lagi dipikirin.
“Aku buruk banget ya Ley?” Ucapnya, kemudian menoleh ke arahku dengan tatapan yang terlalu sulit untuk aku definisikan.Terimakasih sudah singgah dan membaca tulisan ini. Setelah entah berapa lama tidak lagi mempublis cerita, akhirnya aku kembali ke dunia orange ini. Cuma satu yang ingin aku janjikan ke diri sendiri, plisssss konsisten dong.
Ulya
KAMU SEDANG MEMBACA
Derana
RomanceDerana; Tahan dan tabah menderita sesuatu (tidak lekas patah hati, putus asa, dan sebagainya) Perjalanan perpisahan, kepergian dan kehilangan. Karna beberapa kesakitan hidup kadang kala memanglah guru kehidupan paling benar. Belajar untuk jalan lag...