Chapter 1

112 2 0
                                    

"SENDU!"

"...Ya?" Aku melirik kanan dan kiri untuk mencari siapa yang telah memanggilku. Sedikit terkejut karena suaranya menggema di dalam kelas.

"Hey, ada jangka nggak?" Sebuah tepukan disusul suara melengking dari arah samping membuatku menoleh.

"Ada, sebentar." Ku geser kotak biru berisi jangka yang dia minta ke ujung meja kemudian tersenyum kecil.

"Makasih, pinjam dulu ya." pintanya lalu kembali ke barisan belakang.

Mapel matematika.

Aku bersyukur Bu Maida kali ini tidak masuk. Alhasil kelasku cukup mencatat beberapa materi dari buku paket, meski tetap harus dikumpulkan hari ini juga.

Kebetulan aku sudah selesai. Ku lihat Dhea masih serius berkutat dengan bukunya. Jemarinya bergerak cepat dengan mata yang memindai hasil catatanku. Iya. Gadis itu menyalin semua isi buku ku, dan aku tak masalah.

Aku mengetuk meja dengan ujung pulpen bosan. Melirik jam tangan merah muda yang kini menunjukkan pukul 08.55 kemudian mendengus kecil. Mengapa sangat lama hanya untuk mencapai waktu istirahat.

Aku rasa, sudah dua pelajaran terlewat dari pukul tujuh pagi tadi. Namun, jam seperti menambah kesengsaraanku dengan memperlambat putarannya.

Bukan apa, perutku kini sudah meronta ingin diisi. Ya nasib, hidup sendiri di kostan membuatku kesusahan akhir-akhir ini. Aku bisa saja masak pagi-pagi tadi namun, aku tak berani.

Begini, dapur di tempat kostan ku itu ada dua. Mirisnya aku kebagian di tempat yang menurutku agak angker. Ah, ralat, sangat angker. Percaya atau tidak aku pernah melihat bayangan putih tepat berada di sudut dapur dengan rambut panjang yang menjuntai hingga lantai. Aku yakin itu bukan halusinasi, alhasil kejadian itu membuatku takut jika harus pergi kesana sendirian. Itu sebabnya aku hanya memakan roti yang tersedia di kamarku. Dan kupikir itu pun tidak cukup.

"Ngapain sih, Ndu? Kaya ulet keket." ucap Dhea di sampingku.

Aku mendengus. Mengusap perutku yang sedikit berisi padahal, tak banyak yang ku makan tadi pagi. "Laper..."

Dhea berhenti menyalin, alisnya menyatu. "Laper yo makan."

Kalau itu juga aku tahu.

Selama tujuh bulan ini aku terbiasa mengisi perut di kantin orang miskin. Sangat kejam untuk didengar, namun memang itulah namanya. Bahkan sudah melegenda dari dulu berkat tempatnya yang berada di area belakang sekolah. Dengan beralaskan meja yang mulai keropos, beraneka makanan mulai dari gorengan pun ada di sana. Tak lupa, dengan harga yang relatif murah.

Tapi seribu sayang, kantin itu hanya buka di waktu istirahat tiba dan berakhir ketika istirahat kedua telah selesai.

Dan jika aku pergi ke kantin orang kaya-- yang melewati jejeran kelas 12, maka aku bisa mati. Pertama karena tak berani, kedua tempat itu dihuni kakak kelasku, dan yang ketiga jarang sekali anak-anak kelas 10 berkeliaran disana ditambah Dhea tak mungkin mau menemaniku.

Jadi sudah tahu kan, seberapa besar penderitaanku saat ini?

Aku membereskan semua barangku kemudian merebahkan kepala dengan kedua tangan yang masuk kedalam kolong meja. Aku mencoba untuk tidur.

Tapi...

Kesal ku bertambah dua kali lipat saat suara kegaduhan dari kelas sebelah menembus ke kelasku. Apalagi melihat banyak senior yang dengan bebas berkeliaran dari kaca jendela- membuatku iri karena tak bisa kemana-mana.

Arghh! Kumohon. Jam berputarlah lebih cepat tiga kali lipat!

"Dhe, kalo ada guru yang nanyain bilang ya aku ke kamar mandi."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You, Who I WantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang