Cerita - 3

34 0 0
                                    

-T i g a-

Nadin menaruh satu persatu buku yang tadi dibawanya ke rak besar baris ke tiga di dalam perpustakaan. Merapikannya sesuai urutan pelajaran. Sudah bermenit-menit berkutat di sana, kini ia beralih pada deretan buku paket Bahasa Indonesia yang terletak di rak paling atas khusus pelajaran kelas XII.

Asli, kenapa di antara banyaknya buku yang ia bawa, tak ada satupun paket Bahasa Indonesia?

Kenapa pula orang tua itu mengurusi pelajaran lain?

Sampai sebuah tangan mengambil alih buku yang Nadin inginkan. Perempuan itu menoleh, langsung bersitatap dengan senyum jail seorang laki-laki, Ekata.

"Ya Allah," Nadin mengeluh tanpa sadar.

Senyum Tata bertambah lebar. "Mau?" tanya Tata, mengulurkan buku di tangannya.

Namun ketika Nadin ingin mengambilnya, tangan Tata justru naik lebih tinggi. Membuat kini Nadin menghela napas kesal. Sudah menduganya.

"Gue bakalan ngubah rambut gue, supaya lo nggak akan ganggu." Nadin mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf V. Menatap laki-laki di depannya dengan serius. "Gue janji."

Melihat itu, Tata diam sejenak. Memerhatikan wajah anggun di depannya yang sedang bersungguh-sungguh. Dan tanpa banyak bicara, Tata berbalik, berjalan begitu saja meninggalkan Nadin, sebelum duduk di meja terdekat. Menaruh paket Bahasa Indonesia itu di atas meja.

Nadin melongo di tempatnya. Buru-buru menyusul dengan langkah lebar. "Nggak sopan! Orang lagi ngomong juga."

"Siapa suruh Ulangan nggak masuk? Jadi Remed, kan?" Ekata menarik bangku di depannya, duduk di sana. Bersilang dada menatap perempuan yang masih berdiri sangsi di depannya.

"Tau dari mana lo?"

Ekata tak menjawab. Hanya menunjuk sisi mata kanannya dengan jari telunjuk. Berhasil membuat Nadin menatapnya aneh.

"So funny," ejeknya. Nadin langsung ikut menarik bangku di depan Tata. Duduk di sana, kemudian mengeluarkan buku, serta alat tulis lainnya dari dalam ransel.

Keadaan hening seketika menyelimuti mereka. Nadin telah larut dalam tulisan magis di atas kertas. Memporak-porandakan benaknya dengan beberapa rangkaian kata yang harus ditulisnya ulang dalam buku. Namun yang membuat Tata tak kuasa menahan senyumnya adalah ketika perempuan itu justru memenuhi benaknya dengan berbagai peristiwa konyol di kelasnya. Tata tak tahu betul apa. Tapi melihat Nadin yang mendadak menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan kirinya, membuat senyum Tata semakin terbentuk.

Kepala plontos dong, anjir, Janu!

Nadin tergelak. Pensilnya sampai diletakkan begitu saja. Perempuan itu tertawa kecil. Bersandar pada kursi di belakangnya, menutup matanya rapat-rapat untuk sejenak.

"Pernah nggak, sih, lo tiba-tiba ketawa inget kejadian lucu?"

Ditanya seperti itu, Tata mengangguk.

"Ya udah itu aja." Nadin kembali diam. Mengambil fokusnya pada buku di depannya. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, Nadin justru mendongak. Bertemu tatap dengan Tata yang baru saja melakukan hal yang sama.

Ekata tak mendengar apapun.

Pikiran Nadin kosong.

"Apa?"

"Lo kenapa sih, ngeliatin gue mulu?"

Tata berkedip sekali. Terhenyak atas pertanyaan gusar perempuan itu. "Gue?"

"Mata lo." Nadin mengernyit memerhatikan. "Mata lo tuh nggak bisa biasa gitu. Kayak ngawasin mulu. Bikin gue risih," jelasnya. "Lo suka sama gue, ya? Atau lo suka sama mata gue? Rambut gue? Atau -"

"Iya."

"I-Iya?"

Ekata mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. Berpangku tangan pada meja. Tersenyum seperti biasanya ketika menatap manusia kecil di depannya. "Iya."

"Iya apa?" Wajah Nadin terasa panas, dan udara di sana seolah menyiksanya. Ia kesulitan bernapas.

Gila aja!

Kini Tata terkekeh pelan. "Gue suka ngeliat mata orang."

"Maksudnya?"

10'10'19

Satu Hari Berbagi Cerita [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang