PROLOG

11 1 0
                                    

Pagi itu hujan turun sangat lebat. Langit abu gelap, mendung bergulung-gulung. Tara Lituhayu Darmono memasuki sebuah tempat pemakaman, mendekat pada satu pusara yang belum lama usianya. Gadis itu langsung tersungkur di altar kepiluan. Tangannya meremas pakaian hitam yang dikenakannya. Di atas kuburan, dihias sebuket krisan layu, terpajang foto lelaki paruh baya yang tersenyum. Itu ayahnya.

"Ayahmu tewas seminggu yang lalu," kata pemuda yang berdiri di belakangnya sambil memegang payung, menatap Tara iba.

Tara tidak menggubris, tidak peduli atas alasan apa ayahnya mati. Gadis remaja itu hanya ingin ayahnya kembali ke sisinya. Tara tidak mengerti mengapa Tuhan selalu ambil keputusan sepihak? Mengapa Tara tak diberi kesempatan untuk memilih? Mana yang ia inginkan dan mana yang tidak.

Ayahnya mati, Tuhan melihatnya. Dan Tara tidak mau itu terjadi. Sekarang Tara tidak tahu harus bagaimana ia menjalani hidupnya. Selama ini dia selalu bersama ayahnya. "Ayah...," gumam gadis itu lirih. Terisak-isak sambil meringkuk di tanah yang dingin. Tidak pernah tersirat di benaknya, betapa sakit rasa kehilangan. Orang paling berharga baginya, tak ada lagi di dunia.

Gadis itu menangis sendirian. Tak ada orang lain yang menghadiri pemakaman ayahnya. Bahkan setelah beberapa hari, Tara baru dibawa ke persemayaman terakhir sang ayah. Keenan –pemuda di belakangnya- bilang, ia tak mau identitas Tara diketahui.

"Bagaimana bisa ayah mati seperti ini? Dia janji membuka pintu lemari setelah orang-orang itu pergi."

Masih sangat jelas dalam ingatan Tara, kala datang sekelompok orang yang menggedor pintu rumahnya dengan keras. Awalnya sebuah pesta kecil dirayakan bersama sang ayah dengan penuh kegembiraan. Pesta pertambahan usianya. Ayahnya bahkan menghadiahi sebuah cincin dengan batu berwarna ungu untuknya.

Tara tidak pernah mengira bahwa malam itu akan menjadi gerbang kegelapan baginya. Ketika ia tengah menyantap tart cokelat yang disiapkan oleh ayahnya, suara keras di pintu rumah mulai menimbulkan kepanikan. Diiringi teriakan-teriakan kasar orang yang memanggil nama ayahnya.

Sang ayah menyuruhnya bersembunyi ke dalam lemari. Sebagai gadis yang penurut, Tara sama sekali tak membantah. Meskipun ketakutan, namun ia percaya pada ayahnya. Bahwa semua akan baik-baik saja.

"Jangan keluar sampai ayah sendiri yang membuka lemari. Sembunyi dan jangan bersuara. Ayah akan pulang setelah semuanya selesai."

Namun yang terjadi ternyata tidak baik-baik saja. Sang ayah lupa dengan janjinya. Hingga Tara tertidur, pintu lemari tak kunjung terbuka. Kalau saja Keenan tidak datang dan mengeluarkan Tara, mungkin gadis itu akan tinggal selamanya di dalam lemari.

"Nona Tara?!"

Waktu itu Tara terkejut, bukan ayahnya yang membuka pintu lemari. Ia ketakutan dan menolak uluran tangan Keenan. Setelah Keenan menjelaskan bahwa dirinya adalah orang suruhan sang ayah, baru Tara menurut diajak keluar.

"Mana Ayah?" tanya Tara ketika Keenan membawanya meninggalkan rumah.

"Maafkan aku ...."

"Kenapa minta maaf?"

Keenan tak menjawab, hingga beberapa hari berikutnya.

Sampai hari ini datang sebagai jawaban atas pertanyaan Tara. Jawaban atas penantiannya yang tak kunjung berakhir. Ayahnya dibunuh. Keenan menjelaskan bahwa orang-orang yang datang ke rumah Tara malam itu sepertinya suruhan Tejo Hartadi. Beberapa bulan terakhir Tuan Joni -ayah Tara- memang sedang memeriksa kasusnya. Identitas Tuan Joni sebagai informan kepolisian sudah dirahasiakan, entah bagaimana si Hartadi bisa mengetahuinya.

"Keenan, bantu aku temukan pembunuh ayah..."

"Pasti, Nona...." Keenan mengangkat tubuh Tara. Dihapusnya air mata yang mengalir di pipi gadis itu. "Mulai sekarang saya akan menjaga Nona."

Meski enggan meninggalkan pusara sang ayah, Tara memilih untuk pergi bersama Keenan. Detik itu pula kebencian bertumbuh di hatinya. Tuhan yang tidak memberinya kesempatan untuk memilih. Jadi jangan salahkan Tara jika hatinya sudah berpaling.

Tara menatap cincin yang melingkar di jari manisnya, kado terakhir pemberian sang ayah. Malam itu ayahnya mengatakan, "Amethyst bisa memberi ketenangan dan kedamaian untuk orang yang sedang merasa kehilangan. Makanya ayah membelinya untuh hadiahmu."

Aku tidak mau cincin ini, Ayah. Aku cuma ingin ayah pulang bersamaku lagi....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AMETHYSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang