one.

90 18 3
                                    

Terjebak di situasi yang mana mereka harus berada di balik ruang jeruji besi adalah satu-satunya yang paling ingin dihindari di masa ini. Di kala dalam usaha pelarian yang belum tentu berujung pasti, pihak kepolisian akan menjadi oknum yang ingin dihindari. Andai saja bukan karena tidak sanggup membayar kamar yang telah dipesan, Heejin takkan berakhir seperti ini. Menggelandang, hanya dengan satu koper jinjing berisikan beberapa lembar pakaian paling sederhana dan uang koin yang tak mampu membeli apapun. Andai saja, semua tau siapa dia—andai saja.

Dia mengeluh,

Suatu kebodohan, ketika mengingat keteledoran yang mana ia dengan mudahnya menitipkan semua harta bawaannya kepda orang asing. Siapa yang menyangka bahwa ternyata, orang yang terlihat baik—tak selamanya baik. Kepalanya kembali menghantam pada tembok di belakang kepala; keluhan serupa suara 'aduh' akhirnya keluar juga.

Seandainya saja tidak dengar rencana yang dibuat sang ayah; ia yakin dia akan lebih baik dari ini. Tidak perlu lari, hanya menjadi boneka penurut. Ah, tapi, jika itu tentang masa depannya—Heejin belum rela menikah secepat itu. Impiannya masih ada jauh dalam rengkuhan; ia masih ingin mengapainya sebelum masa itu tiba. "Kau hanya perlu menikahi pangeran dari kerjaan seberang—apa sulit ya?" Wasir ayahnya berkata demikian, sebuah usulan yang teramat bodoh menurut Heejin. Dia bisa membuat strategi yang lebih baik demi keselamatan Kerajaannya.

"Hei,"

Gadis itu menoleh, mencari sosok yang memanggil—lalu mencari sosok yang terpanggil. "Kamu. Memangnya siapa lagi?" Heejin gugup, seakan takut kalau-kalau yang diujung lain akan mengenali dirinya yang bukan berstatus sebagai rakyat biasa. Telunjuknya teracung menunjuk pada diri sendiri

"Y-ya? Aku, kenapa?"

"Kau buat kesalahan apa sampai masuk ke sini?"

Tawa yang mendera itu bergema hingga ujung lain sel, sebab hanya mereka berdua yang kini terjebak di balik jeruji besi kantor kepolisian setempat. Kedua pipinya bersemu merah, malu. Tangannya berpegang erat pada gaun putih yang dikenakan. Lagipula, dia juga tak ingin banyak bicara dengan orang asing—terlebih dengan mereka yang berpenampilan asing; terlihat mengerikan tak hanya karena rambutnya hitam legam bagaikan gagak tapi juga karena pakaian yang sedikir berantakan.

"Pakaianmu bukan dari sini, itu kain yang sangat mahal—anting yang kau pakaipun bukan sesuatu yang harganya bisa dijangkau rakyat biasa. Harusnya kau pun tak ada di sini, kau kurang pintar menata kostum, nona."

Pemuda itu berhenti.

Heejin diam mematung. Pikirannya jadi kemana-mana. Pemuda yang mulanya diam itu tiba-tiba membuka suara, mengejutkannya yang tengah berpikir apa yang harus dilakukan guna menyambung hidup.

"Aku...,"

"Tidak perlu dijawab, aku tau kau siapa. Jeon Heejin, Putri ketiga keluarga Jeon dari—"

"Stop! Jangan katakan!"

Gadis bersurai ombak itu segera menghentikan sang lawan bicara, suaranya yang terdengar lantang itu memicu omel polisi yang berjaga di luar—samar-sama terdengar mereka berkata; *diamlah!* seraya mengumpat kasar.

Pemuda itu tertawa.

"Kenapa? Kau takut mereka mengirimmu kembali?"

Pemuda yang mulanya duduk bersandar itu berdiri tegak dalam sekali gerak. Badannya terhuyung ke depan, seolah tengah mengamati si gadis. Heejin mengangguk, dia toh tidak pandai berdalih—apa gunanya pula menghindar? Orang suruhan ayahnya juga pasti sudah mulai bergerak.

Tas jinjingnya ia dekap erat, "Aku..., hanya ingin punya pilihan sendiri." Kalimatnya itu pelan, Heejin pun tak yakin akan sampai ke telinga si pemuda. Dari lagaknya, Heejin tebak dia tidak mendengar mereka—sebab pemuda itu mengalihkan pandangnya pada jendela kecil di tempat mereka dikurunh

"Kalau begitu, kau mungkin mau menying—"

Suara dentum terlampau keras membuat keduanya menutup telinga. Heejin jelas tak pernah menyangka bahwa dia akan mati hari ini—apalagi ketika perasaannya berkata dentum itu asalnya dari sel mereka. Bau asap dan debu yang begitu tebal, jelas tak menutup kebenaran yang ada terpikir.

Pemuda itu terbatuk.

"Hei! Sunwoo! Kau mau keluar tidak?"

"Diam, Hwall. Paling tidak beri aba-aba dulu, apa kau mau membunuhku?"

Sunwoo, pemuda itu. Hyunjoon, temannya—mungkin?

Suara para polisi di luar makin ricuh, derap langkah yang kian mendekat membuat gadis itu membuka mata. Ada Sunwoo berjongkok di depannya, diikuti senyum timpang yang membuat kepalanya jadi berpikir akan ide yang mungkin di tawarkan pemuda itu padanya.

Dan benar saja, sambil mengulurkan tangan pemuda itu membuat pertanyaan pilihan nasibnya.

"Mau ikut denganku, atau diam di sini untuk dikirim ke rumah ayahm?"

Tanpa ragu, gadis itu segera menerima. "Ikut. Bawa aku."


Padahal—dia seperti merasa pernah ingat nama itu. Nama tak asing yang membuatnya berpikir terus dan terus. Tapi ah, bagaimana kalau kita simpan saja itu semua untuk dipikirkan nanti, Heejin?

Yang terpenting adalah, larilah.








(⁎⁍̴̛ᴗ⁍̴̛⁎) notes
been workin' on this part for last 3 days or prolly four. wkwkwk but idk?? havent proofread it yet. catch'm up if typos and finding some broken sentences c: and here hv some hwall for a v fursttt chappie ;) this is the guy help'n em escaping c:


xoxo, annie

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

the runaway royals | sunwoo, heejinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang