“Anak SMP Nusa Bangsa, ya?”
“Iya, kok tau?”
“Seragamnya, beda dari yang lain.”
Rain hanya tersenyum, aku lalu membalas senyumannya. Hari ini adalah hari pertama untuk banyak hal. Hari pertama masuk SMA Cendekia. Hari pertama ospek. Hari pertama bertemu Rain. Namun juga, hari terakhir melihat Rain di sekolah. Sampai sekarang.
“Bun, Raka berangkat sekolah dulu ya,”
“Tumben, anak bunda semangat banget.”
“Kan bunda tau. Hari ini tu, hari pertama mulai belajar.”
“Terus mau cari tempat duduk nomor dua yang ditengah?”
“Nah, tu bunda tau,” jawabku menggoda bunda yang masih asik menyusun kue-kue ke dalam keranjang.
“Tapi, enggak sarapan dulu?”
“Ntar Raka sarapannya di sekolah aja bun,” aku menyalami bunda, lalu bunda menciumku.
“Oh ya bun, kue nya biar Raka aja yang ngantarnya ke warung bik nina sekalian.”
“Enggak apa? Ntar bangku kesukaan anak bunda di jajah orang lain dulu,” bunda membalas godaanku tadi.
“Enggak kok bun, lagian kan warung bik nina sama sekolah searah,” Aku mengambil keranjang kue yang sudah selesai di susun bunda dengan beraneka ragam kue.
“Raka berangkat dulu ya bun.”
“Hati-hati ya, jangan ngebut!”
Hari ini adalah hari pertama aku mulai belajar di SMA Cendekia. Akhirnya, setelah melewati masa-masa sulit selama ospek 3 hari berturut-turut, aku bisa hidup tenang selama 3 tahun kedepan. Entah kenapa, aku benci sekali dengan yang namanya ospek.
Sebelum ke sekolah, aku tidak lupa menitipkan kue-kue ibu tadi.
“Bik, ini kue bunda. Raka letak di meja depan ya,”
“Iya den,”
Setelah meletakkan kue bunda, aku pun langsung berangkat ke sekolah. Motor Vespa yang ayah beli pas masih muda masih kuat memacu lajunya di tengah pagi yang begitu dinginnya. Ayah sama motornya sama-sama saja.
“Pak, numpang tanya. Kelas IPA 1A dimana ya?,” tanyaku kepada pak satpam yang sedang mengatur kendaraan siswa-siswi yang di parkirkan.
“Murid baru ya?” tanya pak satpam.
“Ya, kalo murid lama gak perlu nanya kali, sih pak.”
“Ini tempat parkir guru. Tempat parkir murid sebelah sana.”
“Lah, emang gak boleh ya pak?”
“Enggak, cepat pindahkan motormu!”
“Iya deh pak, tapi pertanyaan saya tadi belum di jawab pak,”
“Gedung A, lantai 1 kelas dekat tangga.”
Sekolah pagi itu sudah sangat ramai sekali. Aku memindahkan motorku segera dan langsung mencari kelasku. Sial, bangku kesukaanku sudah pasti telah dijajah duluan.
Tibanya di kelas, ternyata dugaanku benar. Bangku nomor dua di tengah sudah di isi. Hanya tersisa bangku paling belakang di sudut kelas.
Sial, ini akibat aku tidak bisa mencari teman ketika ospek. Akhirnya, aku terpaksa duduk sendirian di belakang. Aku berjalan pasrah melewati bangku kesukaanku.
“Kamu mau duduk sama aku, gak?”
Sapa seseorang cewek yang sudah duduk di bangku kesukaanku. Aku memandangnya terkejut.“Kamu?”
“Hai, apa kabar?” sapanya dengan senyum.
“Kamu kan anak SMP beda dengan yang lain. Eh, maksudku SMP Nusa Bangsa. Kamu kemana aja?”
“Enggak sopan tau, kamu malah bertanya padahal pertanyaanku belum ada di jawab sama sekali.”
“Iya, maaf. Aku cuman terkejut bisa melihatmu lagi.”
“Bangku sebelahku kosong, kalau kamu mau kamu boleh duduk, kalau gak ya...”
Belum selesai Rain bicara, aku langsung duduk dan mengiyakan.
Pisang enggak akan berbuah dua kali. Pikirku, kenapa rezeki sebesar ini di tolak. Bisa duduk di bangku kesukaan sendiri plus di temani cewek cantik. Semangatku kembali membara.
“Jadi, kamu apa kabar? Lalu, gimana ospeknya? Seru gak?,” Rain menyambung kembali ucapannya.
“Enggak baik-baik sih. Terus, ospeknya gak ada seru-serunya juga.”
“Bentar aku tebak. nggak baik-baiknya pasti karena ospek?” Rain menatapku serius.
“Salah.”
“Lah, kok salah?”
“Ya, alasannya buka karena itu”
“Terus apa?”
“Karena enggak ada kamu.”
“Kemaren ospeknya belajar cara ngegombal?” Tanya Rain getir.
“Enggak kok. Cuman kalau ada kamu, aku pasti gak akan dihukum sendirian,”
“Kok gitu?”
“Ya, kalau aku dihukum, aku pasti ngajak kamu. Nih aku bilang gini ni kalau lagi di hukum ‘Kak, teman saya juga ikutan makan dengan sendok kak’”
“Siapa nama temen kamu itu?” Rain mendramatisir kejadiannya..
“Namanya, belum kenalan kak,”
“Kenalan dong,” Rain tertawa terkekeh
“Raka Abimana bin Abidzar, panggil aja Raka,” Aku mengulurkan tangan kepada rain.
“Harus pake nama ayah ya?”
“Biar ayahku bangga aja, punya anak kayak aku.”
“Rain harsika binti haris budiman, panggil aja rain. Jangan harsi, sika ataupun hujan.” Rain menyalami tanganku.
"Artinya apa? "
"Kata papa, hujan kebahagiaan," senyumnya masih awet mereka di wajahnya.
Pagi itu aku benar-benar di timpa hujan kebahagiaan yang begitu lebatnya. Dan ini akan sangat Lama.
Musim
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim [ON GOING]
Teen FictionBudayakan Follow dulu baru baca :) Tentang segala rasa kuat yang mengandung beban berat. Tentang segala cinta besar yang menimang pilihan sukar. Tentang sebuah kisah Yang merawat begitu banyak suka dan duka, tawa dan tangis, bahagia dan sedih.