Tidak lama, setelah aku berhasil mengetahui nama Rain, Seorang guru datang, di susul bel tanda masuk berbunyi. Suasana kelas terasa tenang pagi itu. Siswa satu dengan siswa lainnya masih terlihat canggung. Terlihat, dari mereka yang hanya mau ngobrol dengan teman sebangkunya. Begitu juga, aku dengan Rain.Jam Pelajaran pagi itu hanya di isi dengan perkenalan, pembacaan tata tertib dan beberapa wejangan dari seorang guru kepada muridnya. Sampai jam pelajaran pagi itu usai, fokus Rain tak pernah teralihkan dari Pak Budi─guru wali kelas kami. Dan fokusku tak pernah terpaling dari Rain.
Bel tanda istirahat pun berbunyi. Pak Budi pun menutup jam pelajaran pagi itu dengan salam. Kami sekelas pun membalas salamnya.
“Akhirnya, kelar juga,” ucapku memelas sambil menidurkan kepalaku di atas meja dengan wajah menghadap ke arah Rain.
Rain sedang mengemasi bukunya ke dalam ranselnya.
“Keluar, yuk?” ajakku sambil berdiri dari bangku.
Aku menatap Rain yang masih sedang duduk di bangkunya, Rain juga menatapku.
“Kemana?” tanya Rain.
“Udah, ikut aja.”
Aku memegang tangan rain, rain lalu berdiri. Aku berjalan di depannya dengan tangannya yang masih ku pegang. Rain menurut diam dan mengekor. Kami pun berjalan keluar kelas.
“Kita mau kemana, Raka?” tanya Rain yang memecah keheningan sesaat setelah kami keluar dari kelas tadi.
“Mau keluar sekolah.”
“Hah? Maksudnya?” tanya Rain kaget.
Rain masih mengekor di belakangku. Tangannya masih ku pegang erat. Rasanya hangat sekali.
“Iya, mau keluar sekolah. Nggak ada maksud yang lain,” ucapku yang masih berjalan di depan Rain.
“Kamu gila, ya? Masa, hari pertama sekolah dah mau bolos aja.”
“Terus, apa yang salah dengan bolos di hari pertama masuk sekolah?”
“Ya, salah lah.”
“Kalau sama kamu, nggak akan pernah salah.”
“Hah? Maksudnya?” tanya Rain yang kaget untuk kedua kalinya.
“Kalau bolosnya sama kamu, itu,tu, benar. nggak salah, Rain.”
“Lah, emang aku siapa? Sampai-sampai bisa membenarkan hal yang salah?”
Aku memberhantikan langkah sejenak, lalu membalik menatap Rain yang berada di belakangku. Dengan tangannya yang masih kupegang erat, Rain terlihat gugup gemetaran.
“Kamu, tuh, hujan kebahagiaan,” ucapku datar.
“Ih, Raka, ngeselin,” Rain memalingkan wajah dan pandangannya. Dia tersipu malu.
Aku melepas tangannya, lalu mengusap kepalanya.
“Kamu lucu, ya, kalau lagi malu-malu gini. Kayak adekku.”
“Emang, kamu punya adek cewek?”
"Punya, kamu."
"Aku serius, Raka."
“Belum sempat punya.”
“Hah? Maksudnya?” tanya Rain kaget untuk kesekian kalinya.
“Kamu, nih, belum sarapan atau gimana, sih? Dari tadi, nanyain maksud mulu. Udah kayak ujian tengah semester aja,” Aku tertawa.
“Ya, kamu jawabnya gantung-gantung mulu, sih,” Rain melekukkan bibirnya kebawah, sepertinya dia ngambek.
“Ayahku meninggal saat aku masih di kandungan bunda.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim [ON GOING]
Teen FictionBudayakan Follow dulu baru baca :) Tentang segala rasa kuat yang mengandung beban berat. Tentang segala cinta besar yang menimang pilihan sukar. Tentang sebuah kisah Yang merawat begitu banyak suka dan duka, tawa dan tangis, bahagia dan sedih.