Kak Licik

0 0 0
                                    

Kak Angel masih melotot memandangi Kak Nala yang sedang berlutut di depannya. Aku sendiri duduk di sofa berseberangan dengan Kak Angel.

Kami adalah tiga bersaudara yang menjadi yatim piatu setelah orang tua kami meninggal karena kecelakaan enam tahun lalu. Aku dan Kak Nala hanya terpaut dua tahun, sementara Kak Angel lebih tua empat tahun dari Kak Nala.

Aku sendiri masih mahasiswa semester dua, sementara Kak Nala seharusnya semester enam. Kak Angel sudah bekerja dan sukses sebagai manajer.

Nahas, Kak Nala justru kabur dari rumah dua tahun lalu.

"Kejadian itu sudah dua tahun yang lalu. Kenapa kembali?" tanya Kak Angel dengan wajah masam.

"Aku menyesal, Kak Angel," jawab Kak Nala tersendu.

"Hidupku kacau, Kak. Aku sampai harus jadi jambret," ujar Kak Nala seraya menangis pelan. Ia menarik bajunya sedikit ke atas, menunjukkan luka pukul yang cukup banyak di perutnya.

"Bagaimana, Anton?" tanya Kak Angel meminta pendapat.

"Yah, selama Kak Nala tidak mengacau seperti dua tahun lalu sih kurasa baik-baik saja. Toh, ia tetap saudari kita."

"Cat kembali rambut pirang itu. Kalau sampai aku atau Dion menemukan rokok atau miras lagi, atau menangkapmu bersenggama dengan pacarmu lagi di rumah ini, jangan salahkan aku jika mengusirmu!" ujar Kak Angel keras.

Kak Nala dulu sering mengonsumsi minuman beralkohol dan juga mengisap rokok. Menurut analisis Kak Angel yang tidak didasari penelitian ilmiah, hal ini disebabkan pacarnya. Kak Nala juga sering berbuat asusila dengannya; hal ini terbukti dari penemuan berbagai alat kontrasepsi oleh Kak Angel yang memporakporandakan kamar Kak Nala setelah ia kabur.

Sekarang, Kak Nala memang terlihat sudah bertobat. Ia sudah mengecat ulang rambutnya, dan belakangan ini lebih banyak beribadah. Ia sekarang membuka jasa les online; ia memang cukup lihai dalam berbagai pelajaran.

Bau rokok atau miras tidak tercium darinya. Pacarnya, seorang lelaki gondrong dengan bau menyengat dan hampir berbuat asusila pada Kak Angel kalau saja aku yang satu kaki lebih tinggi darinya tidak mengahalaunya, sudah putus dengan Kak Nala.

"Kak Angel, sore ini aku izin ke rumah salah satu muridku ya," pinta Kak Nala sopan saat kami makan siang.

Kak Angel, yang sedang mengunyah daging ayam, langsung memicingkan mata. "Jangan pulang malam," ujar Kak Angel agak kurang senang.

"Anton, awasi Nala saat dia pulang nanti. Kalau ada yang aneh-aneh, libas!" kata Kak Angel sambil menyerahkan ikat pinggang peninggalan Ayah. Gaya Kak Angel yang frontal memang sering membuatku takjub.

Tapi Kak Nala tidak berbuat apa-apa. Ia pulang jam lima sore.

"Hei, hei, lihat ini!" ujarku siang keesokan harinya. Tradisi dalam keluarga kami, ada acara pengecekan CCTV yang dipasang di halaman rumah dan di dalam rumah.

Tengah malam itu, ada seseorang yang mendekati rumah kami, kemudian mengamatinya sebentar sebelum pergi.

"Ah, bukan apa-apa," ujar Kak Angel agak cuek. Aku agak heran. Menimbang Kak Angel, kemungkinan ia sudah bersikeras mengadakan patroli malam atau bahkan memanggil polisi.

"Iya, bukan apa-apa," kata Kak Nala.

Tapi aku tidak bisa tidur malam itu; barangkali karena orang malam kemarin. Aku mengambil senter dan melaksanakan patroli sendiri.

Saat aku berpatroli, aku merasakan pergerakan di belakangku. Sebuah senter menyala menyinari wajahku. Refleks, aku menutupi wajah.

"Anton," desis Kak Angel, "Berbuat apa kau di sini?"

"Kakak sendiri berbuat apa?" tanyaku balik.

"Kau kira aku bisa tidur nyenyak setelah melihat sekelebat mahkluk itu? Aku tak tahu jika kau sadar atau tidak, tapi wujudnya mirip dengan pacarnya Nala."

Ada pergerakan!

Kak Angel dan aku mematikan senter, menunggu dalam gelap. Aku di dekat pintu.

Kak Nala turun pelan-pelan dari kamarnya di lantai dua. Ia memegang sebatang rokok yang menyala redup. Ia mengambil kunci lalu membuka pintu.

"Ayo cepat, jangan sampai Kak Angel dan Anton tahu," ujar Kak Nala pelan, "Uangnya ada di lemari di situ."

Aku menutup pintu dengan cara membantingnya, Kak Angel menyalakan lampu.

"Selamat malam, Nala," kata Kak Angel lembut, matanya sinis.

"Eh, Kak Angel, er, aku bisa jelaskan..."

"Licik benar kau, Nala," kecam Kak Angel seraya mengambil ikat pinggang, "Pura-pura tobat untuk mencuri di sini, ya?"

"Er, bukan Kak Angel..."

"Mau masuk penjara atau dihajar massa?"

Antalogi Cerpen I: Menapak BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang