Jalan Cahaya

0 0 0
                                    

"Lelah. Natalie Wiltsman merasa lelah. Gadis kelas 10 SMA itu memandang sekeliling kelasnya.

Begitulah nasib siswi yang masuk sekolah favorit dengan jalur keempat alias suap. Natalie mengutuk dirinya sendiri. Harusnya ia tidak merengek mau masuk sekolah unggulan. Ia terlalu berpikiran pendek–terlalu mementingkan prestise.

Maka dari itulah ia terjebak dengan persoalan matematika sial ini. 'Ayo dikerjakan! Jangan bengong!' tegur Bu Alin.

'Persetan,' gumam Natalie. Ia mencorat-coret asal saja. Rumus-rumus rumit itu tak ia ingat sama sekali. Otaknya panas, logika tak berjalan. Lagi pula, guru macam apa yang mengadakan ulangan pada hari pertama semester dua?

'Hai, Natalie, murid baru ya?' sapa seorang murid setelah ujian edan itu berakhir.

'Ah, iya,' sapa Natalie.

'Aku Erika,' sapa anak itu. Bel istirahat berbunyi, disusul teriakan bahagia yang kencang dari seisi kelas.

'Ah, aku ke kantin dulu ya,' ujar Natalie.

'Ya, silakan,' balas Erika ramah, 'kalau kau mau, aku mau menunjukkan suatu tempat buatmu setelah pulang sekolah. Bagaimana?'

Barangkali Natalie melihat bahwa Erika mengedipkan mata sekilas pada Nina si wakil ketua kelas. Tapi barangkali pula ia terlalu lelah dan jenuh.

'Ya, tentu saja,' jawab Natalie tanpa pikir panjang. Perutnya merengek minta diisi; ia pun segera berangkat ke kantin di lantai satu.

'Nasi goreng kornet satu, es teh satu,' pesan Natalie pada ibu pedagang di kantin. Kantin itu cukup ramai; dipenuhi para siswa kelaparan dan pedagang kantin yang sibuk menyajikan berbagai hidangan.

'Bukan begitu! Rumus dari mana itu?!' terdengar suara keras dari Lina-salah satu teman kelasnya-yang sedang membahas soal ujian dengan dua teman kelasnya: si sekretaris Gina dan si bendahara Putra.

'Rumus yang ini digabung sama rumus yang itu!' balas Putra.

'Mana bisa begitu! Rumus itu hanya berlaku kalau sudutnya sembilan puluh derajat!' Gina menyela.

'Ah, kelakuan anak-anak ambisius,' gerutu Natalie dengan suara pelan sambil menyantap nasi gorengnya.

Pelajaran-pelajaran selanjutnya terbukti mengunci pemikiran Natalie bahwa memaksa masuk sekolah favorit adalah hal yang salah. Ah, hafalan yang rumit, rumus-rumus yang banyak, serta perdebatan tak berkesudahan antara murid-biasanya Lina, Gina, atau Putra-dengan guru.

'Bagaimana hari pertama di sini?' tanya Erika saat ia dan Natalie pulang sekolah.

'Ah, parah. Pelajarannya sulit sekali, kurasa aku akan remedial,' ujar Natalie lesu.

'Yah, begitulah,' balas Erika, 'makanya, ayo kita ke tempat ini. Kau pasti senang.'

Akan tetapi, tempat itu tidaklah terlihat membahagiakan. Tempat itu hanyalah sebuah rumah reyot dengan halaman tak terurus. Catnya mulai terkelupas sana sini.

'Ayo masuk,' ajak Erika. Natalie ragu. Rambut hitamnya tak bisa menutupi ketidakyakinan pada wajahnya. Akan tetapi gadis keturunan Jerman itu terus membujuknya.

'Kak Jocelyn! Kak Arion!' panggil Erika.

'Hus! Jangan berisik! Kau seharusnya tahu mereka tidak suka diteriaki!' bentak Nina, yang entah kenapa ada di sana.

Penampilannya jauh beda dari di sekolah, meskipun seragam masih ia kenakan. Wajahnya agak galak dengan rokok di mulutnya. Segelas alkohol duduk manis di sampingnya, dan pil-pil putih dan kuning terus ia telan.

Antalogi Cerpen I: Menapak BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang