"Keluh kesah 'ku bahkan terdengar sia-sia."
***
Gadis cantik dengan rambut panjangnya itu, duduk termenung menatap gelapnya langit tanpa bulan dan bintang. Ia memeluk kakinya seraya merasakan semilir angin malam yang begitu dingin. Ia sudah lama berada dibalkon itu. Namun rasa bosan terkalahkan oleh kesendirian.
Gadis itu Zara. Zara Heloisa.
Untuk gadis seusianya, apa boleh ia meminta agar hidup bahagia bersama mereka, ibu dan ayahnya? Ia begitu lelah, untuk kesendirian yang selalu menemaninya disetiap putaran waktu. Ia butuh pelukan yang menghangatkan batin dan jiwa raganya. Rasanya, kesepian itu memuakkan.
Ia berdiri, lantas memasuki kamarnya. Ia menjatuhkan tubuhnya diranjang, dan menarik selimut hingga menutupi sebatas dada. Matanya terpejam selepas merapalkan doa.
Dan detik berikutnya, matanya kembali terbuka. Menatap lamat langit-langit kamarnya. Membayangkan bagaimana jika keluarganya selalu berada disisihnya. Ia begitu merindukan mereka yang selalu menegur setiap kali ia mengacaukan segalanya. Tetapi nyatanya, itu hanya sebuah bayangan semata.
Yang entah sampai kapan ini akan terus menjadi teman setiap waktunya.
Ia tidak pernah mengetahui keberadaan ayahnya. Ibunya sesekali kembali. Dan itu hanya untuk mengambil sesuatu yang cukup penting namun tak begitu penting menurutnya.
Ia ingin sekali bertegur sapa dengan ibunya. Namun, bibirnya selalu kaku untuk berucap setiap kali ia berniat menegur. Rasanya ia sungkan. Mungkin karena jarang bertemu.
"Maaf aku selalu mengeluh dengan keadaan ini. Aku hanya meminta keadilan, karena hidup yang seperti ini begitu sangat curang. Sampai-sampai aku tidak enak terlalu banyak mengeluh."
****
Zara berjalan menyusuri koridor yang masih tampak sepi. Di lorong pun, hawanya begitu dingin menusuk kulitnya. Ia mengeratkan jaket yang ia kenakan. Matanya menatap seorang laki-laki yang tengah berjalan berlawanan arah dengannya. Ia menghela napas panjang.
Itu adalah laki-laki yang Zara sukai. Wangi maskulin dari laki-laki itu begitu memabukkan menurut Zara. Rambut yang tak begitu rapi, begitu sangat menggoda. Tumbuhnya yang tinggi menambah kesempurnaan laki-laki tersebut.
Zevan Alizarin namanya.
"Zevan!" panggil Zara cukup keras. Ia tersenyum manis kepada Zevan yang juga melihatnya. Zevan menghentikan langkahnya, melirik Zara malas.
"Pagi, Zevan!" sapa Zara tersenyum manis. Sementara Zevan memutar bola matanya jengah. Zara memang selalu saja mengganggu hidupnya.
"Hm." gumam Zevan malas. Zara mencebik kesal.
"Masa iya, gue udah nyapa lo semangat. Lo malah lembek gitu." decak Zara. Ia menyentuh tali ranselnya.
"Suka-suka gue lah!" ketus laki-laki itu.
"Awas ya, Zevan. Gue bakal bikin lo klepek-klepek. Terserah deh, sekarang lo cuek bebek ke gue. Tapi liat aja entar. Lo bakal ngemis-ngemis cinta dah ke gue." ucap Zara yakin. Intinya Zara harus yakin. Harus itu!
"Lo kalo mau ngimpi jangan ketinggian. Entar jatohnya sakit." ujar Zevan.
Ia memandang gadis itu. "Mana mau gue sama cewek modelan kaya lo. Udah caper, sok cantik lagi." cibir Zevan malas. Meladeni Zara memang harus ekstra sabar lahir dan batin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZEVAN & ZARA
Teen Fiction[Follow dulu sebelum membaca] "Awas ya, Zevan. Gue bakal bikin lo klepek-klepek. Terserah deh, sekarang lo cuek bebek ke gue. Tapi liat aja entar. Lo bakal ngemis-ngemis cinta dah ke gue." "Lo kalo mau ngimpi jangan ketinggian. Entar jatohnya sakit...