16

5.2K 280 29
                                    

Tubuh Aishwa menegang mendengar bentakan dari sang kakak. Dia memejamkan mata meredakan rasa pusing dan mual. Rajendra menatap penuh kilatan amarah ke arah Aishwa. Sungguh dia tidak suka melihat sang adik berani melawan.

"Gue enggak suka ya kalo lo jadi anak pembangkang apalagi melawan kakak sendiri!"

Aishwa menyeka air mata, menatap berani ke arah Rajendra. Dia tidak boleh lemah apalagi cengeng, dia harus membuktikan kepada sang kakak bahwa dia bukanlah anak lemah. Sudah cukup dia diinjak-injak, kini tidak lagi.

"Terus Aishwa harus bagaimana, Kak? Aishwa salah kalo Aishwa memberontak keluar dari penderitaan ini, Hah?!" seru Aishwa penuh penekanan.

Rajendra menarik bahu Aishwa, mencekal dengan kasar. "Berani banget lo! Apa karena abis pulang sama Gara lo jadi pemberani gini, Ja****?"

Aishwa melepaskan cekalan Rajendra di tangannya. Sungguh rasanya sakit mendengar hinaan dari sang kakak kandung sendiri. Tidak bisakah mereka menghargai keberasaan dan perasaan Aishwa? Menyedihkan sekali nasib malang Aishwa.

"Cukup, Kak! Cukup! Sudah berapa kali Aishwa bilang? Aishwa bukan ja**** seperti Tante Lina!"

"Kalo lo bukan ja**** terus kenapa lo marah?"

"Aishwa enggak terima, Kak. Kakak selalu merendahkan Aishwa. Kakak tahu? Hidup Aishwa hancur itu semua gara-gara kakak! Kakak jahat, menjual adik kandung kakak sendiri! Kenapa kak? Kalau memang kakak benci sama aku, jangan gitu carany—"

Tamparan keras kembali terdengar di sudut kamar. Rajendra menampar keras Aishwa hingga tersungkur di lantai. Aishwa menangis sembari memegangi perut terasa ngilu, entah rasanya begitu ngilu dan sakit. Rajendra menatap tak bersalah dengan luapan emosi dalam diri.

"Cukup Aishwa! Gue enggak suka lo bersikap kayak gitu."

Aishwa tak menjawab, dia menahan rasa sakit di sekujur tubuh diakibatkan perutnya sakit. Tangannya masih memegangi perut, menekan hinggan kasar. Benar-benar sakit, Aishwa tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Dia meringis kesakitan.

"Argh ... s–sahk–kit ...." Aishwa terus saja meringis memegangi perut.

Luapan emosi Rajendra sirna begitu saja tatkala melihat wajah kesakitan dari adiknya. Dia merasa bahwa wajah kesakitan sang adik sangat mirip dengan sang mama dulu. Dia berjongkok di hadapan Aishwa, memegang bahu Aishwa dengan pelan.

Wajah penuh dengan keringat dan sembab menjadi satu. Rasanya benar-benar sakit seperti dililit. Tangan kanan Aishwa memegang tangan sang kakak, meremas dengan kasar guna melampiaskan rasa sakit.

"A–aish?"

"T–tolong Aish ... K–kak," lirih Aishwa tak tahan.

Rasa panik menggelayuti benak, dengan cepat Rajendra menggendong tubuh Aishwa dengan gaya bridal style menuju halaman depan sana. Untung saja mobil Farhan masih terpakir di garasi, Rajendra menaruh tubuh Aishwa di kursi belakang. Dia berlari kembali ke dalam mengambil kunci mobil.

Rajendra masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan kasar. Panik, cemas, menjadi satu dalam benak. Mesin mobil menyala, menginjak pedal gas, dan melaju membelah jalanan kota menuju rumah sakit. Rajendra mengendarai mobil dengan kecepatan di atas 100 km/jam, tidak peduli dengan umpatan dari pengemudi lain.

Dua puluh lima menit dalam perjalanan, akhirnya Rajendra sampai di rumah sakit. Dia tidak sempat memperpakirkan mobilnya. Rasa cemas terlalu mendominasi dalam benak. Buru-buru dia menggendong kembali tubuh sang adik, berjalan tergesa-gesa ke dalam rumah sakit sana.

Perawat yang melihat kedatangan Rajendra segera siap siaga membawa brankar dorong. Rajendra menaruh tubuh Aishwa di atas brankar sana, ikut mendorong menuju ruang UGD.

Kesucian yang ternodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang