1.2 Sang Pembela

59 6 0
                                    

Karya SEMOGABUNGA

🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Menjadi ketua mapala di salah satu kampus terkemuka di Jakarta, Arya dituntut harus selalu siap dengan ide-ide cemerlang. Mencoba hal-hal baru yang belum pernah dilakukan menjadi hal wajib di setiap kegiatan. Ia dibantu teman-teman sejawat berlomba-lomba selalu memberikan yang terbaik untuk para anggota supaya tidak bosan dan semakin berkembang. Semua jadwal kegiatan terstruktur—terorganisir dengan baik—karena menyangkut nama besar almamater.

Arya kian sibuk semenjak diangkat menjadi ketua mapala seluruh kampus di Jakarta. Tugas dan tanggung jawabnya pun kian berat. Tidak hanya pada anggota di kampusnya, tetapi juga anggota mapala dari kampus lain. Demi menjaga keharmonisan, ia selalu memberi kesempatan pada mereka untuk mengadakan event di tempatnya. Semua anggota wajib berpartisipasi dalam bentuk apapun. Baik moril maupun meteriil. Tenaga atau karya semua diapresiasi untuk memeriahkan acara.

Pagi itu Arya mendapat pesan singkat dari dekan fakultas. Sebagai ketua mapala, ia dan kawan-kawan diminta berkontribusi dalam acara tahunan untuk menyambut hari sumpah pemuda di kampus. Seketika pemuda gagah cucu veteran itu sangat bersemangat, ide-ide kreatif pun bermunculan di benaknya. Ia memutuskan segera mengadakan rapat untuk membahas hal tersebut.

Besar dalam lingkungan pejuang membuat Arya tumbuh menjadi pribadi yang nasionalis dan berdedikasi tinggi. Dibanding nongkrong di kafe atau semacamnya, ia lebih suka menemani sang kakek ke tempat-tempat bersejarah yang syarat dengan makna. Mahasiswa semester empat itu pun tak segan menghadiri acara bulanan veteran, yang digagas kekeknya beberapa tahun silam. Dengan begitu ia merasa cintanya pada tanah air semakin bertambah.

Lepas berpamitan dengan kakek dan kedua orang tua, Arya langsung memacu motor ninja kesayangannya dengan kencang. Ia sudah tak sabar bertemu teman-teman untuk menuangkan ide yang ada dalam kepala. Hari besar itu tinggal hitungan jari, ia harus bergerak cepat atau hasilnya takkan maksimal. Arya menarik napas dalam-dalam, saat dirinya terjebak kemacetan. Jalanan panjang dan beraspal itu sama sekali tak terlihat tertutup barisan mobil aneka bentuk dan warna.

Arya bergegas ke sekretariat setelah memakirkan motor. Ia setengah berlari menaiki tangga menuju lantai dua. Istilah ‘setor muka’ menjadi hal wajib yang harus dilakukan setiap anggota untuk menambah keakraban. Tampak beberapa pengurus inti telah bersiap menunggu kedatangan sang ketua.

“Ada apa, sih! Kayaknya serius banget?” tanya Imran—sekeretaris mapala. Tak biasanya Arya—sahabatnya--terlihat serius. Mahasiswa dua tingkat di atas Arya itu semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan sang ketua.

“Tadi Pak Dekan kirim pesan, katanya, kita diminta ikut meramaikan kegiatan sumpah pemuda besok. Nah! Kira-kira kalian punya ide apa? Yang sekiranya kita semua bisa ikut!’ seru Arya. Sejujurnya ia sudah mempunyai ide untuk acara tersebut. Namun, ia memilih diam untuk menghormati teman-temannya.

“Aku, sih, ikut aja apa kata ketua. Biasa, ‘kan gitu,” celetuk Ramadhan teman satu grup Arya di kelas. Ia yakin sahabatnya itu sudah memiliki ide berlian untuk memeriahkan acara. Terlihat ia memainkan kedua alisnya, memancing Arya untuk bicara.

“Jadi begini, gimana kalau kita bikin pementasan drama? Temanya tentang Sumpah Pemuda. Nanti ada yang jadi pemuda dari Jawa, Sunda, Batak, ‘kan seru, tuh!” Arya dengan sorot mata berbinar. Membayangkan teman-temannya akan tampil memesona dengan balutan baju daerah.

“Oke, langsung aja dibentuk. Waktu kita gak banyak, lho!” sela Kamal memberi saran. Ia pun menjelaskan skema acara dan apa saja yang harus dipersiapkan. Mahasiswa dua tingkat di atas Arya itu memang ahli dalam perencanaan. Pengalaman menjadi penyelenggara berbagai macam event mengajarkan banyak hal.

Tak terasa bel berbunyi, mereka segera membubarkan diri menuju kelas masing-masing. Arya ditunjuk sebagai penasehat acara dan Kamal sebagai ketua. Kekeluargaan di mapala membuat mereka mengerti arti persahabatan sesungguhnya. Mereka tak pernah membedakan mana junior dan mana senior.

Waktu terus berjalan, tak terasa dalam hitungan jam mereka akan tampil di depan khalayak. Degup jantung semua pemain pun makin kencang. Rasa tak percaya diri melanda. Gugup, cemas menjadi satu menyelimuti jiwa. Ada rasa khawatir semua tak berjalan lancar seperti waktu geladi resik. Semua tampak bingung saat Arya belum juga hadir di tengah-tengah mereka. Selama latihan, sang penasehatlah yang memiliki andil besar. Sahabat mereka itu selain menjadi pemain, ia juga menjadi sutradara. Mengarahkan teman-temannya supaya bisa tampil sempurna. Ia selalu datang paling awal dan pulang paling akhir saat latihan. Semua tenaga dan pikiran tercurah untuk acara besar kampus tercinta.

“Arya udah datang, belum? Satu jam lagi, nih, acara dimulai.” ucap Kamal. “Udah hubungi panitia belum, kita nomor berapa?” tanya Kamal penuh kecemasan. Sebagai ketua ia juga bertanggung jawab penuh suksesnya acara. Beban berat pun berada di pundaknya. Hatinya semakin ciut, saat ponsel cucu veteran itu tidak bisa dihubungi. Mereka sangat khawatir terjadi sesuatu padanya.

Semua tampak sibuk mengenakan kostum. Dalam balutan busana daerah mereka semua tampak gagah. Namun, Kamal tak merasa puas Arya tidak memasukkan barisan perempuan dalam pementasan itu. Segera ia meminta teman-teman seangkatan mengenakan pakaian kebaya atau apapun dan segera bergabung dengan mereka.

“Arya! Angkat dong teleponnya,” gerutu Imran. Lelaki yang biasanya santai itu mendadak menjadi serius karena Arya. Dadanya berdegup semakin kencang, tangan dan kakinya terasa lemas tak bertulang. Ia sungguh takut, jika mereka gagal tampil sedangkan semua orang tahu mapala yang selalu mereka banggakan akan mempersembahkan sesuatu yang terbaik untuk kampus tercinta.

Lima belas menit menuju acara para gadis mulai berdatangan. Mereka mengumpat dan memukul manja Kamal yang meminta mereka segera datang untuk memeriahkan acara. Tak terkecuali Nirmala—gadis manis dengan tahi lalat di pipi itu diam-diam mengagumi Arya—adik kelasnya. Sifatnya yang tegas dan dingin pada wanita membuatnya terpesona. Mengetahui Arya belum datang kekhawatirannya melebihi teman-teman yang lain. Segera ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi.

Beberapa kali menekan nomor hasilnya masih tidak ada jawaban. Nirmala pun semakin penasaran. Hanya perintah meninggalakan pesan suara yang berulang kali ia dengar. Tanpa ragu, gadis manis itu pun mengikuti.

“Arya, kamu di mana? Aku membutuhkanmu.” Nirmala menutup ponselnya. Ada rasa bahagia setelah mengucap kalimat itu. Gunung semeru yang menghimpit dada seakan lenyap begitu saja. Ia tak peduli apakah pria yang ia kagumi itu akan mengatakan hal yang sama atau sebaliknya.

“Semua acara telah kita lalui. Tinggal satu penampil terakhir dari ekskul kita, tak lain dan tak bukan Mapala Raya! Teman-teman berikan tepuk tangan paling meriah untuk menyambut kedatangan mereka … Mapala Raya.” Pembawa acara dengan semangat menyambut grup mapala.

Mereka satu per satu menunjukkan kebolehannya. Gelak tawa riang mengiringi setiap gerakan yang mereka ciptakan. Sampailah di puncak acara di mana Arya harus mengucapkan ikrar Sumpah Pemuda. Mereka saling pandang dan memberi isyarat. Sejenak semua diam, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sorak-sorai penonton membuyarkan lamunan. Mereka menunggu detik-detik bersejarah itu. Mereka melempari botol kosong dan kertas membuat Kamal dan teman-teman mundur beberapa langkah. Di saat layar akan diturunkan dari balik pintu penonton, Arya muncul dengan balutan pakaian Aceh. Ia sungguh terlihat gagah dan berwibawa.

Semua bertepuk tangan menyambut kedatangan Arya. Dengan sedikit atraksi ia menghampiri teman-temannya. Mereka pun saling memeluk, tangis harus pun mewaranai panggung itu. Dengan diiringi penonton mereka bersama-sama menucap ikrar sumpah pemuda.

Mereka bersyukur acara berjalan lancar walau ada sedikit halangan. Arya meminta maaf datang terlamabt karena asma sang kakek kumat dan harus segera di rujuk ke rumah sakit. Arya sangat puas dan juga semua tim. Ucapan terima kasih terus mengalir untuk kekompakan dan juga penampilan mereka.

Di luar panggung Arya menemui Nirmala. Ia sangat berterima kasih gadis itu telah menghubunginya. Akan tetapi pria itu tidak bisa menjanjikan apapun, karen ia ingin fokus dengan kuliah dan masa depannya. Ia hanya menawarkan persahabatan untuknya. Nirmala tak keberatan bisa dekat dengan Arya saja, ia sudah bahagia.

Sejatinya sumpah pemuda itu bukan hanya membaca dan mengulang ikrar. Lebih dari itu sikap kita sebagai pemuda harus selalu bisa menjaga persatuan.

TAMAT

Kumpulan Cerpen GCPHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang