I

16 0 0
                                    

"Setitik cahaya akan sangat berarti saat gelap menerpa tiba-tiba."
~~~

Hari-hari yang baik, selama sepuluh tahun aku menjalani hidup bahagia bersama kedua orangtuaku.

Ayahku bekerja sebagai PNS di Dinas Pekerjaan Umum di Kota Bandung, sedangkan ibuku seorang Dosen Manajemen dan Bisnis di Telkom University, Bandung. Kami tinggal di Kota Bandung sejak aku lahir, tepatnya daerah Buah Batu. Aku menjadi anak tunggal yang merasakan limpahan kasih sayang dari mereka.

Segala perkataan didengarkan, segala keinginan dikabulkan, segala kebutuhan terpenuhi, bahkan hal-hal yang tidak kuminta mereka berikan. Ah, indah bukan? Aku tidak ingin kehidupan ini berakhir. Namun, aku salah. Semakin aku tidak ingin kehilangan, maka kemungkinan besar akan muncul sesuatu yang tidak pernah kuinginkan.

***

"Nak, ibu sama ayah berangkat dulu ya",
"Elisa harus nurut sama oma, nanti secepatnya ibu sama ayah pulang dan bawa sesuatu buat kamu," ucap Ibu sambil memeluk erat tubuh mungil anak semata wayangnya.

"Sayang, jangan main terlalu jauh ya, jangan hujan-hujanan, kalau pulang sekolah tunggu mang doni jemput ke sekolah, dan gak boleh nangis kalau ayah sama ibu pergi, okay anak manis?" kata Ayah dengan mengusap rambutku.

"Ayah, ibu, jangan lama perginya. Aku sama oma nanti kangen, yaa?" Aku sebenarnya tidak mau ditinggalkan mereka untuk perjalanan dinas.

"Sebentar kok nak, cuma 3 hari. Kan nanti ibu sama ayah akan selalu telepon setiap hari, setuju?" jawab Ibu, aku pun mengangguk dengan lemah lalu memeluk ibu dan ayah bersamaan.

Oma tersenyum ke arah kami, setelah itu orangtuaku pamit dan mencium tangan oma. Oma pun meneteskan air mata, entah kenapa hari itu suasananya sangat berbeda. Padahal ibu dan ayah sering pergi keluar kota hanya saja, tidak seperti ini keadaannya.

Hari itu. Senin, pukul 17.00 WIB.

Ayah dan ibu berangkat menuju kota Surabaya mengendarai mobil. Untuk kali ini pun, ayah tidak meminta sopir kantornya untuk menemani perjalanan dinas dan untuk kali ini ibu terlihat sangat berat meninggalkanku. Aku menginap di rumah oma, lokasinya agak dekat dari Buah Batu. Semenjak opa sudah wafat dua tahun silam, oma pindah dari Kota Depok ke Bandung.

Aku senang tinggal di rumah oma yang terkesan klasik dengan halaman kecil penuh bunga mawar merah dan kuning, tetapi hari itu aku tidak bersemangat ketika menginap di sana. 

Aku tidak tahu persis, bagaimana perasaanku saat itu. Namun, yang selalu kuingat sampai sekarang, bahwa hari itu aku merasa sangat sedih melihat ayah dan ibu harus pergi.

---
Satu jam kemudian terdapat kabar di televisi.

"Kecelakaan Beruntun di Perbatasan Kereta Api, 12 orang tewas dan 15 orang luka-luka"

Aku dan oma sedang menonton berdua, selang berapa menit saat menyaksikan mobil yang tidak asing kulihat ternyata sangat rusak keadaannya. Oma langsung menjerit saat mengenali plat nomor mobil yang ditampilkan dan memelukku sambil menangis.

Aku belum benar mengerti sebelum oma bilang, "Ibumu.. Ibu.. Ayahmu sayang, mereka di sana."

Aku sangat terkejut, benar-benar tidak menyangka ini terjadi. Jika benar jasad yang diangkut keluar dari mobil itu adalah orangtuaku, maka ini adalah mimpi terburuk yang pernah kualami dalam hidupku. Namun, sayangnya ini bukan mimpi.

Sekitar pukul 18.30 WIB.
"Kriiing, kriiing, kriiing" dering telepon sangat nyaring di rumah kami yang sedang sepi.

Oma mengangkat telepon itu sambil menahan isak dan air mata yang bercucuran. Aku hanya diam, bungkam, entah harus bagaimana. Terlebih ketika oma menangis lagi saat menjawab telepon.

Dengan terburu-buru oma langsung menutup telepon itu, mengambil jaket, tas, dan memakai kerudungnya. Setelah itu, oma memakaikanku jaket. Lalu, oma mengajakku pergi.

"Kita mau kemana oma?" tanyaku sambil memakai sandal bergambar kelinci dan mengikuti oma ke luar rumah. Di luar, hujan masih turun deras.

"Kita ke rumah sakit, sayang. Ayo," Oma menuntunku sambil membukakan payung.

Aku tidak berbicara lagi, sungguh hari itu aku masih belum sadar kenyataan yang terjadi. Kami menerobos hujan deras malam itu dan menunggu taksi di pinggir jalan dekat rumah.

Sekitar 15 menit kami menunggu, ada taksi yang lewat. Oma memberhentikan taksi itu, kemudian kami masuk ke dalam mobil.

"Tolong ke RS Permata Mulia, pak" ucap Oma kepada sang sopir.
"Baik bu, silakan pakai dulu sabuk pengamannya."

Perjalanan menuju Rumah Sakit Permata Mulia di Bandung sekitar 20 menit, dan setelah sampai sana oma langsung menuntunku dan memayungi hingga ke depan ruang UGD.

Malam itu sangat ramai orang-orang yang juga berdatangan sambil menangis. Aku rasa, bukan hanya oma yang sembari tadi terus bercucuran air mata. Kulihat di sana, ada ibu muda yang sedang mengandung terlihat histeris dan dituntun oleh perempuan yang lebih muda darinya.

Oma menerobos masuk ke ruang UGD, aku pun mengikuti oma sambil membawakan payung. Oma sedikit berlari mencari sesuatu, lalu bertanya ke penjaga di ruangan itu.

Entah bagaimana, sekilas aku melihat baju yang aku ingat itu seperti yang dipakai ibu saat pergi. "Oma, aku lihat ibu di sana."

Oma langsung menoleh ke arah yang kutunjuk dan berjalan dengan cepat bersamaku.

Ternyata, benar dugaanku, aku melihat tubuh ibu terbujur kaku dengan darah yang cukup banyak di bajunya. Aku menangis di sana, oma pun menjerit dan langsung terduduk lemas di dekat brankar. Aku menangis sambil mendekati tubuh ibu. Wajah ibu yang selalu ceria dan cantik, kini terlihat dingin dan pucat sekali.

Beberapa perawat dan seorang dokter berdatangan sambil menenangkan oma dan aku terus menangis sambil memanggil Ibu. Suasana di sana hening, aku tidak menghiraukan orang-orang yang kutahu saat ini aku ingin Ibu terbangun dan mengatakan semua baik-baik saja seperti biasanya. Namun yang kulihat saat ini, ibu hanya terdiam dan matanya tertutup. Bibirnya melengkungkan senyum sedikit.
"Ibuuu, ibuuu, ibuu bangun ibuu aku takut ibu,"

Oma pun masih duduk di lantai dan terus menangis. Aku pun tidak tahan, lalu memeluk tubuh ibu yang dingin. Tidak seperti biasanya, ibu tidak membalas pelukanku. Ia hanya diam. Aku benar-benar sangat terpuruk. Sampai-sampai dadaku terasa sesak dan penglihatanku kabur oleh air mata.

Suasana kalut mulai mereda. Oma bangkit dan memelukku erat. Lalu, salah satu perawat di sana memberitahu bahwa ayahku juga sudah tiada. Tangisku kembali pecag setelah mendengar kabar tentang ayahku. Oma juga menangis lagi dan semakin tersedu. Aku benar-benar merasa kacau. Kedua orang yang kusayangi dan sangat meyayangiku kini telah pergi secepat itu.

"Ayah, ibu, haruskah kita berpisah seperti ini? Bagaimana dengan aku setelah kalian pergi? Aku sungguh tidak percaya dengan semua yang terjadi." ucapku memandang kedua orangtuaku yang terbaring kaku dan diselimuti kain putih. Air mata yang terus mengucur ini, aku tidak tahu bagaimana menghentikannya.
***
7 tahun kemudian

Pletakk! "Aduuh, apa sih ini?!" aku merasa ada sesuatu yang cukup keras membentur kepalaku.

Aku sedang membaca buku di taman sekolah saat jam istirahat. Melihat ke sekeliling pun tidak ada orang. Aku kembali meneruskan aktivitas sambil menikmati roti selai coklat di bangku kayu, serta matahari yang mulai meninggi. Hah, orang bilang aku aneh?
Whatever, aku sangat enjoy dengan kesunyian seperti sekarang.

"Sorry, tadi saya gak sengaja ngelempar ini," ucap seseorang di depanku.

Aku mendongak ke arahnya. Sosok tinggi, kulit putih dan sedikit pucat, rambut hitam dan sedikit berantakan, dan bibirnya tersenyum.

"Siapa, kamu?" tanyaku.

~~~

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang