3

8 0 0
                                    

"Yang hilang akan kembali jika itu benar-benar milik kita. Kalau tidak kembali, itu bukan untuk kita."
~~~

Usia 17, anggapan orang-orang katanya sudah menuju dewasa. Apa-apa harus berpikir, harus berusaha sendiri, harus mandiri, harus berani, harus ini, harus itu, banyak lagi.

Perempuan usia 17, sepertiku sepertinya sangat jauh dari peraturan dan aku hanya menjalani kehidupan seperti biasa saja.

"El, udah ketemu belum sama guru wali kelas yang baru? Katanya bakal masuk hari ini, jam pertama." ujar perempuan yang duduk di kursi sebelahku.

Aku mengendikkan bahu, "Belum tuh, yang gantiin bu asri?"

"Iyyaaaa... Kata andin, hilmi, defi,  mereka kan lewat ke ruang guru. Tadi guru baru itu lagi ngobrol sama pak ruli, terus kedengaran dia jadi wali kelas kita".

Aku mengangguk saja, "Ya udah kita liat aja nanti, sen".

"Semua siswa harap masuk kelas masing-masing. Pembelajaran akan segera dimulai."
~~~

"Selamat pagi!" ucap seorang laki-laki dengan perawakan tinggi. Berpakaian rapi, kemeja tangan panjang biru muda, dan celana hitam. Memakai kacamata bulat tipis, dia tersenyum ramah ke arah kami.

"Selamat pagi, pak!" ujar kami kompak sambil memperhatikan orang yang baru ditemui hari ini.

"Ini kelas 11-3 ya?" ucap laki-laki itu lagi.

"Iya pak," kami menjawab lagi.

"Hm.. Sebelum pembelajaran, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu,"

"Nama saya Alif Lukman Hermawan. Saya di sini akan mengajar untuk mata pelajaran Fisika, sekaligus menggantikan bu Asri menjadi wali kelas. Saya berasal dari kota Semarang dan sekarang menetap di Bandung. Sampai sini saya rasa sudah cukup ya perkenalannya," ujar guru baru yang bernama Alif itu sangat terlihat tenang.

"Pak, boleh saya bertanya?" kata Sera, selaku ketua kelas.

"Boleh, bertanya apa?" ucap Pak Alif.

"Bapak, sudah lama tinggal di Bandung?" tanya Sera.

"Terbilang sebentar, saya tinggal di Bandung baru 2 tahun. Oh iya, nama kamu siapa?" ujar Pak Alif.

"Saya Sera Sherlita pak, saya ketua kelas di sini." jawabnya.

"Hm.. Baik Sera, ada lagi yang mau kamu tanyakan?" tanya Pak Alif.

"Tidak ada, pak, sudah cukup," jawab Sera lagi.

"Iya, karena sudah selesai perkenalan dari saya. Kita lanjutkan agenda untuk hari ini. Saya rasa kita akan terus lebih banyak berkomunikasi bahkan di luar pembelajaran, bukan?"

"Untuk itu, saya sangat terbuka jika ada sesuatu yang menyangkut seluruh anggota kelas ini dan membutuhkan bantuan atau solusi, saya akan berusaha membantu. Siap?" ucap Pak Alif.

"Siap pak," jawab kami secara bersamaan.

Lalu Pak Alif memulai pembelajaran dengan diskusi dan tanya jawab. Sesuai materi yang telah dipelajari. Semua saling berebut untuk mendapat poin dari Pak Alif. Suasana kelas semakin ramai.

Namun aku hanya memperhatikan keadaan kelas tanpa berniat untuk melakukan apapun. Jujur, aku sangat kesusahan untuk bertahan sejauh ini. Aku tetap merasakan hal yang asing dan janggal.

Entah, aku merasa seperti sedang berada di ambang kebingungan. Aku berada di tempat, tetapi jiwaku sedang berkelana memikirkan banyak hal.

"Woy, ngelamun aja el?" ucap Gio yang duduk di samping kursiku.

"Apa sih, biasa aja kok," jawabku, sambil mencoret-coret kertas di buku bagian belakangku.

"Aku perhatiin, kamu sering ngelamun el. Ngapain sih? Kan aku ada di sini, haha..." kata Gio sambil tertawa kecil.

"Gak peduli, lagian bukan mikirin kamu kok," jawabku lagi.

"Terus mikirin apa?" tanya Gio dengan memelankan suaranya.

"Ada pokoknya, kamu gak akan tahu yo," jawabku.

"Makanya kasih tahu dong," ucap Gio.

Aku hanya menggelengkan kepala, dan tidak menghiraukan racauannya Gio di sampingku.
~~~

Setelah selesai urusanku di sekolah, aku langsung pulang dan menuju halte bus. Di dekat lapangan basket, aku melihat laki-laki yang misterius itu sedang bersandar di bawah pohon.

Aku buru-buru pergi dari sini karena khawatir kalau dia akan melihatku. Sejak kejadian waktu itu, aku selalu merinding setiap mengingat dia.

"El, mau pulang?" suara yang tidak asing aku dengar.

"Pasti mau ke halte kan? Mending bareng aku yuk," ucapnya lagi.

"Gak deh, makasih, aku mau pulang naik bus aja," aku menolaknya kesekian kali.

"Dih, ditolak terus kapan diterimanya nih? Haha..." kata Gio sambil berjalan lebih cepat, dan dia berdiri di depanku.

"Udah deh, minggir, lain kali aja ya," aku berusaha sabar karena beberapa kali dia agak memaksa untuk pulang bersama.

"Kapan el?? Sekarang yuk,"

"Sekalian aku mau minta tolong, bisa gak? Kalau kamu gak sibuk sih." ucap Gio.

"Minta tolong apa?" tanyaku.

"Mau bantu gak cariin bunga yang cocok buat ibu aku? Dia ulang tahun hari ini." ujar Gio sambil menatapku.

Aku menimbang-nimbang, "Oke deh, ayo."

"Yes! Akhirnya." kata Gio dengan semangat.

"Tapi beneran kan? Ke toko bunga?" tanyaku memastikan lagi.

"Iya lah, masa ke toko baju, haha..."

"Tunggu sini ya, aku ambil dulu motor ke parkiran." ujar Gio sambil berlari kecil.

Aku pun menunggunya di dekat gerbang depan sekolah. Banyak siswa yang berlalu lalang karena masih jam bubar sekolah.

"Halo el, apa kabar?" ucap seorang laki-laki di belakangku.

DEG! Aku mengenali suara ini, orang yang sangat aku hindari. Aku bahkan ragu untuk menoleh kepadanya.

"El, ayo!" Gio sudah datang dengan motornya di hadapanku.

"Ayo, cepet!" aku langsung naik ke motor Gio dan tidak berani menoleh ke arah laki-laki itu.

Kami pun berangkat menuju toko bunga. Sepanjang perjalanan aku jadi kepikiran terus tentang hal itu, dan aku teringat mimpi semalam.

Seolah-olah sedang memutar ulang kejadian yang aku alami, tetapi aku tidak ingat sama sekali.
~~~

"El, kamu benar-benar lupa ya, aku harap tidak akan kehilangan kamu lagi..."

Langkahnya semakin gontai karena orang yang ingin sekali dia, tetapi tidak meliriknya sedikitpun.

"Tenang saja. Kata kamu dulu, sesuatu yang hilang akan kembali kan? Dan kalau tidak kembali, aku akan berusaha menerima kenyataannya,"

"Meskipun... Harus kehilangan lagi." ucapnya lirih sambil memejamkan mata dan duduk halte bus.

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang