Goresan Satu:
Manusia-manusia yang Memuakkan
~O~Matahari sudah cukup tinggi ketika gadis dengan rambut panjang bergelombang itu menjajakkan kaki jenjangnya menelusuri koridor sekolah. Berjalan dengan santai, ujung mata gadis itu menangkap beberapa pasang mata asing menatapnya dengan kurang bersahabat. Biar Athira tebak, pasti dalam hati mereka sedang mengumpat pasal anak baru pindahan dari Jakarta yang dari tadi menolak senyum ramah mereka.
Seolah belum cukup, Athira mempertegas citra angkuhnya dengan jalan anggun dan tatapan dingin, yang membuat banyak pasang mata itu kian memanas.
"Dih, menih sombong pisan, euy."
"Ini yang katanya bakal ada anak baru dari Jakarta itu, ya?"
"Neng geulis jangan sombong-sombong atuh, Akang teh jadi serem liatnya."
"Orang Jakarta teh emang kurang tata krama, ya?"
Athira tak peduli pada sarkas-sarkas yang menembus telinganya sepanjang koridor, bahkan di hari pertama ia menginjakkan kaki di sini. Toh, ia memang tak berminat mencari teman.
Persimpangan dua arah di ujung koridor membuat langkahnya terhenti. Menghela nafas, Athira merutuki kebodohannya yang lupa bertanya di sebelah mana kelasnya.
"Ke kiri, nanti ada gedung 'Einstein', lantai tiga paling ujung, itu IPA 1."
Athira menoleh, mendapati cowok dengan lambang kelas XII di lengan, tengah menatap ke arahnya.
"Makasih," balas Athira sekenanya
"Jangan terlalu angkuh, mereka mungkin nggak akan suka kamu."
Athira hanya menghela nafas.
Cowok tadi masih berdiri di sampingnya selama beberapa saat, melihat Athira yang enggan menjawab ia memilih untuk berlalu ke arah berlawanan yang akan segera Athira tuju.
~O~
Setelah perkenalan singkat yang tidak berkesan, Athira dipersilakan duduk dan kelas dilanjutkan dengan belajar seperti biasa, karena Athira memang pindah tepat di satu minggu sebelum mid semester ganjil.
Athira tersentak halus mendengar bel tanda istirahat yang masih sedikit asing di telinga. Akhirnya, celoteh panjang guru tambun dengan kumis tebal itu berakhir. Merdeka sudah Athira dari bentuk-bentuk ikatan rangkap yang menurutnya tidak penting-penting amat.
"Thira, mau ikut ke kantin?"
Valerina- gadis dengan rambut sebahu yang mendapat anugerah menjadi teman sebangku Athira- masih belum menyerah rupanya. Sepanjang pelajaran tadi, sama seperti Athira yang tak punya minat pada penjelasan guru, ia juga tak punya minat pada ocehan Valerina.
Segala daya dan upaya, seperti tak menanggapi dan memasang wajah risih, yang diberikan Athira agar gadis itu berhenti bicara ternyata tak berhasil membuat gadis berlesung pipi kiri itu gentar. Entah gadis ini tak peduli dengan angkuhnya, atau memang bermuka dua.
"Ck, lama ihh." protesnya
"Udah hayuk, ikut aja!"
Athira terpaksa mengikuti setelah melihat Valerina menarik tangannya dengan antusias, menyeretnya keluar kelas dan mulai berjalan menjelajah sekolah.
Athira hendak menuruni tangga menuju kantin yang ia tahu, tapi Valerina mencekal tangannya dan menuntunya menaiki anak tangga yang lain.
"Mau kemana?"
Valerina tersenyum kikuk, "Nanti aja ke kantinnya. Sekarang school tour dulu, yuk ke rooftop!"
Athira mengekor. Ia memilih diam, tak menanggapi ocehan Valerina sepanjang perjalanan karena gadis itu terlalu banyak menggunakan bahasa Sunda yang tidak ia mengerti.
Sampai di rooftop, mata Athira dimanjakan oleh sebagian kecil pusat kota Bandung yang terlihat dari gedung sekolah ini.
Velerina tersenyum penuh kemenangan melihat wajah kagum yang tak mampu Atjira sembunyikan.
"Bagus, kan?"
Menyanggah tubuhnya dengan kedua tangan pada pagar pembatas rooftop, Valerina menarik nafas dalam sebelum menjelma pemandu wisata.
"Sini, kita school tour-nya dari atas sini aja, kalo mau jalan pegel soalnya."
Dan penjelajahan dimulai...
Gadis yang sedikit lebih pendek dari Athira itu menunjuk satu persatu bagian gedung sekolah, nama-namanya, serta ruang-ruang yang termuat di tiap gedungnya. Ada gedung Ki Hajar Dewantara yang memuat ruang guru, ruang BK, ruang TU, ruang kepala sekolah dan lainnya.
Gedung bernama para ilmuwan untuk tiap tingkatan kelas jurusan IPA, juga gedung bernama para sejarahwan untuk tiap tingkatan kelas jurusan IPS.
Usai menjelaskan itu semua, Valerina kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya. Ia menunjuk satu bangunan luas tak bertingkat yang berubah laksana lautan manusia seketika.
"Nah, yang lagi rame itu kantin utama. Di sana makanan paling lengkap, komplit, dan murah. Terus luas dan banyak bangkunya, mangkanya itu yang paling rame." jelas Valerina
Paling, ya?
"Memangnya ada yang lain?" tanya Athira penasaran
Valerina tersenyum, "Ihh, akhirnya kamu ngomong juga atuh. Kirain dari tadi aing teh cape ngomong, kamunya nggak denger."
Athira mendengus, memasang kembali wajah angkuhnya.
"Jangan jutek-jutek atuh! Tiap gedung ada kantin kecil kok, tapi cuma jual makanan ringan aja. Tadi pas naik kamu nggak liat?"
Athira menggeleng cepat. Pertama, ia tidak peduli. Kedua, mana sempat melihat sekitar kalau sejak masuk pekarangan saja ia sudah dijulid, mending Athira mempertegas citra angkuhnya saja.
Gantian, Valerina yang sekarang mendengus kesal. Biar Athira tebak lagi, mungkin gadis ini sudah kewalahan menanggapinya.
"Bentar lagi masuk, kita beli snack aja ya di kantin bawah!" Valerina mengusul
"Terserah."
Sebelum mereka menuruni anak tangga pertama, Valerina kembali menahan lengan Athira, menyuruhnya menoleh ke bangku di sudut rooftop itu.
Selama sepersekian detik, mata Athira bertatapan dengan mata pemilik wajah lelah yang dari tadi memandangi buku. Menyadari ditatap, cowok berambut cepak itu menoleh, kemudian tersenyum tipis kepada mereka, senyum yang dibalas manis oleh Valerina dan diabaikan setengah mati oleh Athira.
Valerina kemudian menarik Athira turun seraya membisikkan sesuatu.
"Nah, yang tadi itu Bagus, tahun kemarin dia nyambet medali perak di olimpiade sains se-Jabar. Kemarin aku denger dari Pak Franz, katanya kamu bakal jadi salah satu kandidat olim mtk juga tahun ini. Calon saingan, mangkanya aku kenalin, hehe."
Ada tawa renyah yang disampirkan Valerina di akhir kalimatnya. Yang gadis itu tidak tahu adalah bahwa ia juga meyampirkan sedikit sesak di dada Athira... dan sepanjang perjalanan menuju kantin, gadis itu memikirkannya. Calon saingan.
Calon saingan, ya?
Athira tersenyum miris, memang tak ada yang salah dengan pilihannya berekspresi rupanya. Biar Athira tebak sekali lagi, Valerina adalah tipikal bermuka dua ternyata, yang menginginkan Athira tak lebih sebagai piala.
Gadis itu tak butuh dan tak ingin teman. Ia benci, orang-orang macam Valerina. Orang-orang bermuka dua. Orang-orang yang menuntutnya menjadi seperti ekspektasi mereka.
~O~
Palembang, 1 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Seutas Kisah Tentang Luka (New Version)
Teen FictionAthira adalah segores luka yang tak terpelihara, dibiarkan menganga hingga kian parah, kemudian diabaikan begitu saja. ~O~